Politik Pengosongan
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, suasana kehidupan bangsa saat ini menyerupai situasi pasca-perang Jawa. Kelas penguasa tersedot pusaran kolonialisme-kapitalisme, membiarkan rakyat hidup tanpa pemimpin. Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat.
Ketika Sarekat Islam muncul dengan pembelaannya pada kaum tertindas, pemimpin utamanya, seperti HOS Tjokroaminoto, sontak disambut bak ratu adil.
Sekarang, dari manakah sumber kepemimpinan itu bisa diharapkan? Partai politik, yang mestinya menjadi lahan persemaian intelektual organik yang dapat mengartikulasikan amanat hati nurani rakyat, berhenti sebagai pusat percaloan kekuasaan dan proksi oligarki.
Civil society, yang mestinya jadi pusat pembibitaan para penjaga keadaban (societas civilis), kini berhenti sebagai arena perpanjangan dan perebutan proyek. Bahkan para pemimpin keagamaan, yang mestinya menjadi tumpuan terakhir dalam mengawal misi profetik, berlomba menghancurkan dirinya sendiri lewat politisasi dan komersialisasi agama.
Dalam ketiadaan figur, harapan tinggal bertumpu pada penguatan otonomi individu. Seperti sabda Nabi, “Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Pada tahap ini, setiap individu harus memasuki fase “pengosongan". Suatu momen transenden untuk menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme; membiarkan diri telanjang demi menemukan pencerahan tentang hakikat persolan dan kunci kekuatan transformasi.
Situasi "pengosongan" merupakan pangkal pemulihan adikrisis. Sebab, tantangan terberat dalam situasi krisis tanpa kepemimpinan pemersatu adalah bagaimana menemukan basis spiritualitas yang mendorong ke arah unifikasi politik.
Dari momen transendensi, yang meluluhkan sekaligus memperkuat diri, berturut-turut diharapkan bisa terengkuh pengetahuan/visi baru, ketegaran asketik, kemampuan empati, kelapangan altruistik dan akhirnya kesadaran bahwa semua adalah satu.
Krisis, dalam simbol China, merupakan kombinasi dari kata “bahaya” dan “peluang”. Zaman aksial, dilukiskan Karl Jaspers, sebagai fase jeda di antara dua momen kegemilangan.
Dengan mengukuhkan komitmen etis dan daya spiritual, kita pun berpeluang menemukan cahaya di ujung terowongan gelap. (*)