Mendukung Usulan DPD Dibubarkan: Tidak Memberi Manfaat

Wacana amendemen UUD 1945 kembali mencuat setelah usulan tersebut disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dalam Sidang Tahunan MPR pada Rabu pagi (16/8/2023).

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

SARAN Prof Jimmy Asshiddiqie, mantan Ketua MK, patut di pertimbangkan. Bahkan lebih dari itu, wajib diperjuangkan, agar DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dibubarkan saja. Karena (ternyata) keberadaannya sama dengan kebertiadaannya. Alias tidak berguna.

Timing pembubaran DPD sangat penting, jangan sampai mengganggu agenda nasional pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres), yang segera terlaksana dalam 6 bulan lagi, pada 14 Februari 2024.

Anggota DPR dan DPD hasil pemilu 2024 akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Setelah itu, MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, bisa bersidang untuk menentukan nasib DPD, dan MPR.

MPR yang baru bisa membubarkan DPD pada pemilu selanjutnya, 2029. Sementara itu, DPD tetap bisa berfungsi “tiada guna” hingga masa jabatan 5 tahun ke depan, sampai 19 Oktober 2029, untuk kemudian diganti dengan utusan daerah dan utusan golongan, seperti usulan Prof Jimly.

Jika perlu, MPR juga bisa kembali menjadi lembaga tertinggi negara, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, seperti dimaksud UUD 1945 asli.

Dalam hal ini, MPR harus pastikan, bahwa peraturan pembatasan masa jabatan presiden, yaitu dua kali, tetap berlaku.

Semoga utusan daerah dan utusan golongan seperti diusulkan Prof Jimly bisa jauh lebih bermanfaat bagi negara, daripada hanya menghabiskan uang negara tanpa kontribusi yang jelas.

Dengan jadwal amandemen konstitusi terkait DPD dan MPR seperti diusulkan di atas, di mana pelaksanaannya dilakukan oleh MPR yang akan datang, maka agenda perubahan konstitusi akan terbebas dari para petualang politik yang mau mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Sebelumnya, Jimly mengusulkan agar DPD dibubarkan lewat amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena tidak ada gunanya.

Menurut Jimly, selama menjabat sebagai anggota DPD untuk empat tahun, DPD tidak ubahnya seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena hanya memberi usul tapi usulnya itu tidak pernah didengar.

"Saya sudah empat tahun di sini, ini kayak LSM saja. Dia hanya memberi saran, pertimbangan, dan usulan, tapi enggak pernah didengar, jadi dia tidak memutuskan, padahal ini lembaga resmi," kata Jimly di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

"Maka harus dievaluasi, bisa enggak dia bubar saja, karena adanya sama dengan tiadanya. Bubarin saja," ujarnya lagi.

Jimly berpendapat, fungsi DPD sebagai wakil daerah bisa digantikan dengan membentuk fraksi utusan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dengan demikian, menurut Jimly, perwakilan daerah itu bisa berperan dalam melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran yang merupakan kewenangan DPR.

Selain itu, ia juga mengusulkan adanya utusan golongan yang menjadi fraksi sendiri di MPR untuk mewakili kelompok yang tidak direpresentasikan partai politik, misalnya organisasi masyarakat.

"Tapi, khusus untuk fraksi utusan golongan hanya adhoc, hanya ikut rapat kalau ada sidang MPR, tapi kalau perwakilan daerah itu harus dilembagakan di DPR supaya dia ikut mengambil keputusan. Itu kira-kira esensinya," kata Jimly.

Sebelumnya, Jimly mengatakan, struktur parlemen Indonesia saat ini yang terdiri dari MPR, DPR, dan DPD adalah hal yang tidak lazim. Di negara-negara lain, parlemen hanya terdiri dari dua kamar, yakni MPR sebagai upper house dan DPR sebagai lower house.

"Nah bisa enggak ini dipikir ulang, cukup dua saja, ada MPR upper house, ada DPR lower house. MPR ditambah satu fraksi namanya perwakilan golongan, di DPR tambahin satu fraksi namanya perwakilan daerah. Dengan demikian DPD dibubarin, masuk ke DPR," ujar Jimly.

Melansir Kompas.com, Rabu (16/08/2023, 14:04 WIB), Jimly pun berpandangan bahwa penguatan DPD tidak mungkin terwujud karena selalu terhambat oleh DPR yang tidak ingin DPD menjadi kuat.

"Itu kan memindahkan kekuasaan, jadi susah, susah. Jadi, kita bilang sama orang DPR, ya sudah DPD bubar saja deh, cuma perwakilan daerah masuk," kata Jimly.

"Mudah-mudahan para pimpinan parpol bisa menerima ide ini semata-mata untuk kita (bisa) menata ulang, jangan biarkan ada lembaga adanya sama dengan tiadanya," ujarnya lagi.

Wacana amendemen UUD 1945 kembali mencuat setelah usulan tersebut disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dalam Sidang Tahunan MPR pada Rabu pagi (16/8/2023).

Semoga semua pihak sabar menunggu sampai Oktober 2024, sampai terbentuk MPR yang baru.

Jangan gegabah, amandemen konstitusi sembarangan bisa berakibat fatal, bisa ditunggangi oleh kepentingan sesaat. Mari suarakan, tolak keras amandemen konstitusi oleh MPR saat ini! Sebab, mereka sulit dipercaya! (*)