Abraham Accords : Berpotensi Lenyapkan Solusi Dua Negara di Tanah Palestina

Di Ghetto dulu, orang-orang Yahudi menjadi objek pembunuhan random tentara Nazi. Sekarang, yang dulu objek sekarang menjadi subjek pelaku pembunuhan random atas orang-orang Palestina di Ghetto Gaza.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) dan Dewan Pembina FPN (Front Pergerakan Nasional)

ABRAHAM Accords adalah serangkaian perjanjian antara Israel dengan sejumlah negara Arab, antara lain Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko.

Perjanjian-perjanjian ini diperantarai oleh Amerika Serikat dan dimaksudkan untuk menormalisasi hubungan diplomatik dan ekonomi antara Israel dan negara-negara Arab. Perjanjian-perjanjian ini diharapkan melandasi terciptanya suatu lansekap geopolitik baru di Timur Tengah yang lebih stabil dan damai.

Presiden Donald J. Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Dr. Abdullatif bin Rashid Al-Zayani, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed Al Nahyan menandatangani Abraham Accords pada Selasa, 15 September 2020, di Halaman Selatan Gedung Putih.

Kelemahan dari Abraham Accords adalah bahwa perjanjian tersebut mengabaikan nasib Negara Palestina. Abraham Accord diketahui mengakui keberadaan Israel tanpa persyaratan yang secara langsung terkait dengan permasalahan Palestina. Hal ini telah mendapat kritik dari sejumlah pakar yang berpendapat bahwa perjanjian ini tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap isu Palestina.

Dengan diabaikannya tuntutan Negara Palestina maka normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab, di bawah panji Abraham Accord, berpotensi melenyapkan Solusi Dua Negara di tanah Palestina.

Padahal Palestina sendiri masih belum mendapatkan pengakuan penuh sebagai negara merdeka oleh banyak negara di dunia. Isu Palestina tetap menjadi salah satu isu yang kompleks dan penting dalam politik dan diplomasi internasional.

Dengan kata lain, Negara Palestina yang sekarang menduduki wilayah Gaza dan Tepi Barat itu terancam lenyap dengan hilangnya dukungan negara-negara Arab setelah mereka menormalkan hubungan dengan Israel.

Abraham Accords diperkirakan akan semakin mulus bila Israel berhasil mengajak Arab Saudi, negara paling berpengaruh di Timur Tengah, menandatangani perjanjian itu. Hal tersebut rupanya sudah sangat dekat. Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, pada bulan Juni lalu mengatakan bahwa perjanjian dengan Saudi akan ditandatangani awal tahun 2024.

Para pakar menduga bahwa rencana perjanjian itulah yang memicu Hamas melancarkan serangan 7 Oktober 2023 ke Israel.

Serangan ini sangat mengejutkan karena sangat terkoordinir, terorganisir dan mengincar posisi-posisi Israel yang rawan. Serangan itu menimbulkan kerugian yang masif (1400 korban jiwa) di pihak Israel. Kerugian itu tidak terbayangkan sebab Hamas dikenal sebagai kelompok gerilyawan bersenjata ringan yang melawan Israel, notabene dikenal sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia.

Selain itu serangan itu selektif, tidak menyasar objek-objek sipil, perempuan dan anak. Berbeda dengan serangan balasan Israel yang bersifat random, menyasar rumah sakit, sekolah, dan juga menimbulkan korban perempuan dan anak yang sangat besar.

Apa yang sebenarnya terjadi dan apa implikasi konflik Hamas – Israel saat ini?

Implikasi 1: Yahudi Manusia Biasa

Dampak terbesar Serangan 7 Oktober adalah patahnya paradigma Abraham Accords. Paradigma itu didasarkan kepada anggapan bahwa bangsa Palestina sudah kalah dalam perangnya melawan Israel. Mereka hanya membutuhkan belas kasihan, bukan pengakuan.

Namun, dengan Serangan 7 Oktober dunia tersadarkan bahwa anggapan itu tidak benar. Palestina masih ada dan mampu melakukan serangan yang mengguncangkan Israel. Serangan itu memiliki makna yang sama dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang membuktikan, Republik Indonesia masih berdaulat dan berjuang.

Selain itu terdapat mitos yang kuat bahwa Yahudi adalah bangsa superhuman. Dalam mitos itu dikatakan bahwa Yahudi adalah satu-satunya bangsa yang memiliki hak istimewa (privilege) untuk membuat perjanjian dengan Tuhan.

Siapapun bangsa atau orang yang melawan kehendak Yahudi harus disingkirkan, atas nama Tuhan. Hal itu terjadi pada bangsa Palestina yang disingkirkan oleh Yahudi karena menghalangi realisasi janji Tuhan “memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi”.

Serangan 7 Oktober juga mematahkan mitos “bangsa pilihan” itu. Angkatan Darat Israel ternyata sudah bisa dikalahkan. Demikian juga badan-badan intelijen Israel yang tersohor, bisa dikelabui. Serangan 7 Oktober adalah pendadakan yang sangat memalukan pejabat-pejabat pertahanan Israel.

Implikasi 2: Bergesernya Opini Dunia

Sekarang orang-orang Amerika dan Eropa yang dulu mendukung Israel mulai tersadarkan akan sifat rasis bangsa Yahudi. Demonstrasi besar pecah di seluruh penjuru dunia yang menentang serangan random Israel ke Gaza.

Pada hari Sabtu yang lalu demonstrasi dukungan terhadap Palestina diadakan di seluruh Eropa – di Roma, Barcelona, beberapa kota di Perancis, Düsseldorf, Jerman, Pristina ibu kota Kosovo, Sydney dan di kota-kota Amerika termasuk Los Angeles dan Houston. Demikian juga demonstrasi pecah di Istanbul Turki, Kuala Lumpur Malaysia, Bandung dan Jakarta di Indonesia.

Opini berkembang di seluruh dunia bahwa Israel sedang melancarkan genosida di Gaza. Publik dunia kesal bahwa setelah diberi kesempatan 75 tahun membangun negara yang kuat Israel gagal menciptakan kestabilan dan kedamaian di kawasan.

Perubahan opini publik dunia pada akhirnya akan mempengaruhi kotak-kotak suara. Presiden Joe Biden telah menggeser sikapnya, bila semula ia mendukung Israel melakukan serangan balasan, sekarang ia menyerukan perlindungan kepada penduduk sipil Gaza.

Implikasi 3: Petaka Serangan Darat Israel

Penundaan serangan darat yang diminta Joe Biden beberapa waktu lalu tidak berkenaan dengan kekhawatiran akan terjadinya pembantaian massal kepada rakyat Palestina. Penundaan itu dipicu oleh kekhawatiran akan petaka lebih masif yang bisa terjadi kepada IDF (Israel Defense Forces). Mengapa demikian?

Jalur Gaza adalah wilayah sempit seluas 362 km2, hanya sedikit lebih besar dari Kota Surabaya (326 km2). Secara teknis Israel sekarang telah mengepung Gaza, karena itu Israel setiap saat bisa melancarkan serangan darat besar-besaran. Namun, bisakah Israel memenangkan perang melawan Hamas.

Perlu diketahui Hamas bukan sekadar organisasi perlawanan, Hamas lebih mirip dengan ideologi. Hamas adalah ideologi yang ingin memerdekakan Palestina dari penindasan Israel. Oleh karena itu setiap bom yang jatuh di Gaza tidak akan melemahkan ideologi Hamas, justru tambah menguatkan.

Lain dari itu, terkepung tidak berarti kalah. Tobruk misalnya, hanya dipertahankan oleh 30.000 tentara Australia dan Inggris namun berhasil bertahan dari serbuan 150.000 tentara Jerman lebih dari 8 bulan lamanya. Begitu juga Jerman yang bertahan di reruntuhan Biara Monte Cassino, Italia, mampu mengubah biara itu menjadi pertahanan militer yang kokoh, dan bertahan 4 bulan dari serbuan kekuatan Sekutu yang masif.

Pengepungan Leningrad dalam Perang Dunia II juga memberi pelajaran bagaimana spirit dan mentalitas kebangsaan mampu menahan penderitaan seberat apapun yang diakibatkan oleh pengepungan.

Serangan darat Israel atas Gaza jelas bukan tantangan militer yang mudah. Hamas dipastikan telah mengubah Gaza menjadi benteng pertahanan yang kokoh dengan jaringan bawah tanah yang juga kokoh. Jaringan bawah tanah seperti itu telah mengalahkan AS dalam Perang Vietnam. Serangan darat Israel dipastikan tidak dapat mengalahkan Hamas, apalagi bila Israel harus berburu waktu mengingat kecaman dunia internasional akan semakin sulit dihadapi.

Israel, tidak bisa tidak, akan dituduh melakukan genosida. Genosida sangat mungkin terjadi namun hal itu tidak akan menggentarkan Hamas. Hal itu sudah menjadi resiko yang diperhitungkan Hamas. Hamas paham sekali perilaku Israel yang otomatis menjalankan politik Collective Punishment bila ada serangan sekecil apapun kepada properti dan warganya.

Serangan 7 Oktober itu menunjukkan bahwa Hamas tidak khawatir kepada Collective Punishment. Sebaliknya Hamas akan memanfaatkan serangan random Israel untuk keuntungannya.

Terakhir, konflik Israel vs Palestina tersebut harus diakui adalah tragedi kemanusiaan. Kita tidak bisa membenarkan suatu bangsa yang pernah mengalami Holocaust untuk melakukan Holocaust kepada bangsa lain. Wilayah Gaza sekarang ini dapat disetarakan dengan ghetto yaitu wilayah pemukiman khusus Yahudi yang diciptakan Nazi.

Di Ghetto dulu, orang-orang Yahudi menjadi objek pembunuhan random tentara Nazi. Sekarang, yang dulu objek sekarang menjadi subjek pelaku pembunuhan random atas orang-orang Palestina di Ghetto Gaza.

Berhentilah mengulang sejarah kelam itu. Palestina berhak menjadi kawasan yang damai dan stabil, untuk bangsa Yahudi, Palestina, dan bangsa-bangsa lainnya. (*)