Islamophobia: Fakta, Faktor dan Solusinya (2)

Dari dua contoh di atas jelaslah bahwa salah satu faktor Islamophobia itu adalah ketidaktahuan atau kebodohan (ignorance). Dan lebih buruk lagi seringkali kebodohan itu dibangun di atas berbagai asumsi-asumsi (pre-assumptions) yang seolah menjadi kebenaran mutlak.

Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi, Diaspora Indonesia dan Imam di Kota New York

PADA bagian yang lalu disampaikan bahwa Islamophobia sesungguhnya bukan fenomena baru. Melihat Islamophobia sebagai fenomena baru dunia, apalagi sekedar dikaitkan dengan peristiwa tertentu, seperti apa yang dipropagandakan selama ini sebagai serangan teror ke US atau lebih dikenal dengan peristiwa 9/11 itu kurang akurat.

Apalagi kalau sekedar dikaitkan dengan tampilnya politisi-politisi dukungan neo konservatif seperti Donald Trump.

Sesungguhnya Islamophobia adalah respon alami yang terjadi terhadap hadirnya Islam itu sendiri. Dan itu dalam sejarahnya akan selalu ada. Sebuah hukum alam atau lebih tepatnya “sunnatullah” jika ada cahaya pastinya akan ada kegelapan walau tidak selalu menampakkan diri. Tapi, itulah hukum alam yang ada untuk keseimbangan dalam kehidupan alam semesta.

Lahirnya Islam (istilah historis, bukan agama) di semenanjung Arabia secara alami membangkitkan ketakutan, kebencian dan prilaku destruktif dari kekuatan yang ada pada masanya. Saat itu ada dua kekuatan dunia. Roma di dunia bagian Barat (West). Persia di dunia bagian Timur (East). Keduanya sangat terusik dan merasa terancam dengan kebangkitan kekuatan baru itu (Islam).

Secara domestik juga sesungguhnya fenomena ini bersifat alami. Dengan kehadiran Islam di Makkah para pembesar kota tua itu merasa terancam sehingga juga merespon dengan perilaku destruktif. Pengikut Islam saat itu mendapat perlakuan kejam, termasuk Rasulullah SAW, yang kerapkali mengalami perlakuan yang tidak semestinya.

Kenyataan bahwa Islam pernah berkuasa di Dunia Barat (berpusat) di Andalusia sekitar 700-an tahun. Kejatuhan kekuasaan Islam direspon dengan respon kejam dengan inquisisi di bawah komando Ratu Isabel. Ditambah lagi ekspansi Khilafah Utsmaniyah (Ottoman Empire) ke Eropa besar-besar. Kalau saja tidak tertahankan dan terkalahkan di peperangan Vienna yang terkenal itu, Eropa Barat keseluruhan pastinya akan dikuasai.

Semua hal di atas sekaligus menyimpulkan bahwa secara umum Islamophobia seringkali terjadi dengan faktor politik sebagai faktor dominan dan terutama. Namun faktor politik (kekuasaan merasa terancam) tersebut bukanlah faktor tunggal. Ada beberapa faktor lain yang bisa didapati pada setiap masyarakat dan negara sesuai dengan keadaan spesifiknya.

Ada enam faktor utama yang ingin saya garis bawahi pada tulisan ini.

Satu, Ketidaktahuan (Ignorance).

Kita semua tahu bahwa walaupun sekarang ini perhatian kepada agama mulai tumbuh juga di dunia Barat, bahkan ada fenomena lebih berkembang dibandingkan di beberapa dunia Islam. Sebenarnya hingga pertengahan abad ke-20 agama, saya maksudkan semua agama, bukan hanya Islam, Tidak saja tidak menarik dan dianggap tidak perlu.

Agama justeru dipandang sebagai halangan kemajuan, dan bahkan racun kehidupan (life poison). Karenanya dunia Barat tidak saja tidak peduli. Justeru melahirkan konsep kehidupan “sekularisme” yang menutup semua pintu untuk agama memainkan peranan dalam kehidupan publik manusia.

Sikap dunia Barat terhadap Islam itu melahirkan “kebodohan” bahkan “kebencian” kepada Islam. Kebodohan atau ketidaktahuan tentang agama, lebih khusus lagi kepada agama Islam menjadikan mereka di saat agama Islam tampak dan berkembang menjadi ketakutan. Ketakutan yang berdasar kebodohan itulah sesungguhnya arti dari “Phobia”. Biasanya lebih dikenal dengan “irrational fear” (ketakutan yang tidak rasional).

Contoh yang ingin saya sampaikan kali ini adalah seorang Pendeta Kristen yang bernama Pastor Jones dari Florida. Pendeta ini lebih dikenal dengan “the burning Qur’an pastor” atau Pendeta pembakar Al-Qur’an. Pendeta ini pernah ingin membakar Al-Qur’an karena asumsinya Al-Qur’an adalah sumber Syariah, hukum yang barbarik dan anti Amerika.

Setelah menjadi pendeta yang bangkrut, konon jamaahnya hanya sekitar 50-an orang, dia kemudian mengakui bahwa dia yang sangat anti Al-Qur’an itu tidak pernah sama sekali membaca Al-Qur’an. Bahkan, belum pernah sama sekali bertemu dan berkomunikasi dengan orang Islam. Dia adalah personifikasi Islamophobia (ketakutan dan kemarahan) yang disebabkan oleh ketidaktahuan tentang Islam.

Contoh lain Islamophobia yang pernah saya temukan langsung adalah ketika Komunitas Muslim Sheepshead Bay Brooklyn New York ingin mendirikan Masjid di sebuah daerah yang banyak Komunitas Yahudi. Saya masih ingat, rumah yang akan dijadikan Masjid itu didemo oleh mereka yang anti Islam hampir setiap hari. Hal ini dijadikan kesempatan bagi beberapa politisi yang anti Islam untuk menjadi gandengan kepentingan.

Suatu hari diadakan demo oleh mereka yang anti proyek masjid. Kemudian Komunitas Muslim mengadakan “counter rally” atau demo tandingan. Saya diundang hadir untuk orasi di demo tandingan Komunitas Muslim itu. Sebelum gabung dengan komunitas Muslim, saya sengaja mendatangi pendemo anti Masjid (anti Islam) itu.

Mereka mungkin tidak tahu kalau saya adalah Muslim. Karena wajah dan pakaian saya ketika itu tidak seperti apa yang mereka asumsikan sebagai Muslim. Di antara pendemo anti Islam itu ada seseorang yang membawa spanduk dengan tulisan: “Shariah” yang dikelilingi gambar tetesan darah.

Melihat itu saya mendekatinya dan bertanya: “do you know what that word means?” (Tahukah anda apa arti kata itu?). Maksud saya tahukah dia arti kata syariah? Dia hanya kebingungan dan tidak menjawab. Saya kemudian tanya: “had you ever read Qur’an and had you met any Muslim?). Dia hanya mengangguk.

Dari dua contoh di atas jelaslah bahwa salah satu faktor Islamophobia itu adalah ketidaktahuan atau kebodohan (ignorance). Dan lebih buruk lagi seringkali kebodohan itu dibangun di atas berbagai asumsi-asumsi (pre-assumptions) yang seolah menjadi kebenaran mutlak.

Asumsi-asumsi yang seolah kebenaran tersebut menjadi landasan kesimpulan yang mengantarkan mereka kepada perasaan takut (fear) dan benci (hate) yang tidak berdasar.

Di Amerika kebodohan inilah yang seringkali dipakai oleh para pemangku kepentingan untuk meraup dukungan demi meraih kepentingannya. Sentimen anti Islam dan ketakutan kepada Islam dan pemeluknya seringkali dipakai oleh para pemburu kepentingan politik di musim-musim politik. Hal yang akan saya elaborasi pada lanjutan tulisan yang akan datang… insya’ Allah! (*)