Jokowi Tidak Layak Kembali ke Solo
Zaman Kalabendu digambarkan sebagai periode konflik dan ketegangan di antara berbagai komponen bangsa. Konflik ini dipicu oleh manipulasi dari figur tak terlihat yang mengendalikan peristiwa dari belakang layar (bisa dimaknai kekuatan Taipan Oligarki).
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
PADA masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana IV (Raden Mas Subadya) yang memerintah Kasunanan Surakarta pada tahun 1788-1820, lahirlah si jabang bayi Bagus Burhan di Kampung Yasadipuran pada hari Senin 15 Maret 1802. Kelak jabang bayi ini dikenal dengan Raden Ngabehi Ranggawarsita III. Sang pujangga pamungkas dari Surakarta.
R. Ngabehi Ranggawarsita III ini secara simbolis digambarkan dalam Serat Kalabendu yang telah mengatakan bahwa tanda-tanda zaman keemasan nusantara itu akan mulai terlihat sejak kisah Pandhita (7), Ambuka (9), Wiwaraning (9), Naraka (1), yang sesekali menunjuk matahari pada 1977.
Berlanjut pada peristiwa reformasi (1998), kiranya memberikan gambaran bahwa meletusnya suatu gerakan reformasi tersebut merupakan tanda-tanda akan datangnya masa kejayaan nusantara.
Tentu saja di dalam proses menuju titik kejayaan itu, nusantara akan diwarnai tiga ciri utama dalam jaman kalabendu, yakni:
Jago tarung neng kurungan. Ucapan sang pujangga bermakna harfiah "ayam jantan bertarung di dalam kurungan" tersebut menyiratkan pengertian, bahwa jaman "Kalabendu" diwarnai dengan pertikaian sesama tokoh di dalam kelompoknya sendiri.
Dhalang ngungkurke kelir. Ucapan sang pujangga yang bermakna harfiah menunjukkan bahwa jaman "Kalabendu" akan diwarnai oleh ulah banyak provokator siluman yang membikin keonaran-keonaran di berbagai wilayah di Indonesia.
Sing nonton padha nangis. Ucapan sang pujangga yang bermakna harfiah "yang menyaksikan (itu) semuanya menangis" melukiskan, bahwa banyak rakyat tak berdosa yang dilanda berbagai musibah politis tersebut akan hidup dalam penderitaan.
Masa kejayaan nusantara yang diprediksikan R.Ng. Ranggawarsita III pada saat Pandhawa (5), Mulat (2), Sirnaning (0), Pengantin (2) (tahun: 2025) tersebut harus ditebus terlebih dahulu dengan keprihatinan bangsa.
Ramalan di atas tidak bisa serta merta dimaknai Prabowo Subianto karena hukum cakra mang gilingan, mala petaka merupakan ambang kesejahteraan tersebut masih berjalan dan berlaku di Nusantara yang fana ini.
Zaman Kalabendu digambarkan sebagai periode konflik dan ketegangan di antara berbagai komponen bangsa. Konflik ini dipicu oleh manipulasi dari figur tak terlihat yang mengendalikan peristiwa dari belakang layar (bisa dimaknai kekuatan Taipan Oligarki).
Zaman Kalabendu saat ini sangat melekat dengan masa kepemimpinan era Presiden Joko Widodo, era di mana segala macam konflik vertikal maupun horisontal berbaur menjadi hingga terciptalah Era Kalabendu.
Era Jokowi sangat dekat dengan ramalan Prabu Jayabaya. Seluruh tatanan baik di pemerintahan maupun kehidupan masyarakat porak-poranda. Yang semestinya nilai-nilai adi luhung dan juga adi budaya harus dijaga dan menjadi cara berpikir masyarakat kota Solo pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Sebuah kenyataan pahit rasanya mengetahui kebenaran serta kenyataan ini, sebagai masyarakat Solo merasa malu mengakui kalau Jokowi asal dan keberadaannya di kota Solo.
Kota Solo dan masyarakatnya merasa tercoreng kehormatannya yang terkenal dengan adi luhung serta adi budaya merasakan bahwa Jokowi pakem masyarakat Solo.
Atas kejadian ini Jokowi rasanya tidak layak pulang ke Solo setelah berakhir masa jabatannya sebagai Presiden. (*)