Surat Terbuka: Waktunya Perubahan

Karena itu, saya mengimbau agar kita semua berpartisipasi aktif dalam mengawal suara rakyat. Salah satu persimpangan krusial yang wajib kita awasi adalah TPS. Kedaulatan di bilik suara inilah kemewahan tertinggi yang kita miliki sebagai warga negara.

Oleh: Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI

SAUDARA-saudariku, Anda adalah bagian dari mata rantai perubahan negeri. Surat terbuka ini sampai ke tangan Anda, kelompok kecil masyarakat yang punya akses terhadap informasi. Anda mendapatkan kesempatan untuk menyandingkan, serta membandingkan para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden sebelum mengambil keputusan untuk memilih.

Smartphone yang sedang Anda pegang, sambungan internet yang Anda gunakan, atau siaran TV yang tersaji di ruang keluarga Anda sepanjang hari, adalah sarana mewah berdemokrasi. Dengan fasilitas-fasilitas tersebut, maka reputasi, rekam jejak, hingga janji-janji para kandidat dapat Anda gali dan uji.

Anda, bukan tipe pembeli kucing dalam karung. Anda pemegang suara berbobot tinggi. Anda, juga pemilik hak pilih. Melek pada data dan fakta. Dan juga, tidak mudah tergiring oleh pariwara. Peranti komunikasi yang Anda miliki adalah penapis manipulasi citra. Ditakuti oleh mereka yang bertendensi mengelabui dengan semantik, permainan warna dan cahaya.

Saatnya Anda mengambil keputusan tepat nan jernih, kepada siapa mandat memimpin negeri ini diberikan. Keputusan kecil Anda di bilik suara nanti, akan terakumulasi menjadi kebijakan di mana kita semua akan terimplikasi. Jangan remehkan suara Anda. Meski hanya dihitung satu. Namun bisa jadi suara Anda itu penentu.

Saudara-saudariku, Saya menulis surat terbuka ini ketika beras di warung, pasar, dan minimarket menghilang. Sulit dicari. Pun pasokan gula pasir ke kios-kios di pasar, diperebutkan karena kendala suplai dan distribusi. Sesak dada ini. Menyaksikan kebutuhan pokok rakyat menjadi barang langka di tengah deru kontestasi demokrasi berbiaya tinggi.

Rakyat berpacu dengan waktu, berburu sembako yang harganya menjadi-jadi. Tapi, para pengambil kebijakan yang diberi mandat lima tahun sebelumnya, malah melontarkan aneka alibi. Selalu berkelit kesana-kemari. Bahkan terkesan meremehkan persoalan kebutuhan primer ini dengan menganggap kelangkaan beras adalah berkah kenaikan harga bagi petani. Padahal, kelangkaan pangan adalah problem suplai dan distribusi. Masalah tataniaga yang tidak pernah selesai. Tidak ada hubungannya dengan tingkat pendapatan petani.

Saudara-saudariku, kita mungkin tidak bisa menebak sampai kapan periuk nasi di rumah-rumah kita, atau di rumah orang tua kita, atau di kiri kanan rumah kita, berkurang porsinya karena terpaksa harus menyesuaikan dengan harga beras yang melambung. Tapi, yang bisa kita pastikan saat ini adalah mengambil keputusan. Apakah ingin mempertahankan situasi seperti ini, atau ingin berubah!

Indonesia memasuki masa-masa genting dalam menentukan nasib. Mempertaruhkan masa depan ratusan juta rakyatnya. Keputusan kita di bilik suara, tidak hanya mengubah jalannya bangsa ini dalam lima tahun ke depan. Tapi berimplikasi pada sepuluh, lima belas, atau bahkan seratus tahun lagi. Karena itu, tempatkanlah pilihan kita hari ini, sebagai fondasi untuk menata kembali Indonesia.

Dalam perjalanan sepanjang tiga bulan terakhir, kita telah bersama-sama menempuh ikhtiar untuk menyebarkan semangat perubahan. Bertemu dan berdialog dengan rakyat. Belanja masalah rakyat. Merangkum kemelut hidup yang dihadapi, dan merangkum harapan rakyat pada perubahan ke arah yang lebih baik.

Dalam tiga bulan terakhir ini, kita telah menorehkan warna baru di panggung politik. Senyampang dengan elektabilitas yang menanjak. Kita menjumpai berbagai lapisan masyarakat, berbaur menyatu dengan denyut kehidupan rakyat, sembari mengorkestrasi pendidikan politik. Mengangkat muruah demokrasi sehingga tak lagi dipandang apatis. Namun disambut optimis.

Dari perjalanan tanpa henti tersebut, kita menemukan fakta, bahwa animo rakyat sangat tinggi pada agenda perubahan. Anak-anak muda berbondong-bondong untuk menghadiri dialog terbuka dengan capres dan cawapres. Pertanyaan tajam dilayangkan. Argumen kritis dilontarkan. Pikiran artikulatif dan nalar rakyat berjalan beriringan. Rakyat berada pada frekuensi perubahan, ingin mengkalibrasi bangsa ini kembali pada koridor konstitusi.

Pendidikan politik yang kita tempuh ternyata membuahkan partisipasi masif. Mulai dari yang ikut menyuarakan agenda perubahan, mendaftar menjadi saksi, menginisiasi dapur rakyat untuk TPS, menjadi satuan tugas mengawal surat suara, dan berbagai bentuk dukungan lainnya. Semua kontribusi tersebut dilakukan swadaya. Digerakkan oleh cita-cita yang sama. Bukan dimotori iming-iming materi berpelumas rupiah.

Realitas optimistik yang kita jumpai di lapangan, membuat tim ini merasa tidak berjalan sendirian. Meski berulang kali ditempatkan di posisi kunci oleh beberapa lembaga survei, namun kita meyakini dukungan rakyat tidak sebatas sampel acak kuesioner. Kita tentu saja tetap percaya pada metode ilmiah yang murni dari tendensi.

Agenda perubahan yang kita usung bahkan mengarusutamakan kepemimpinan dan kebijakan yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Sambutan riuh di setiap kunjungan capres ke daerah adalah bukti empirik bangkitnya gairah perubahan.

Saudara-saudariku, kini kita tiba di salah satu etape penting dari kontestasi ini. Hari H pencoblosan. Hari di mana komitmen perubahan itu kita buktikan di bilik-bilik suara. Tak hanya sampai di situ, kita pun diharapkan mampu memperkuat spektrum perubahan itu di lingkungan kita. Baik itu di keluarga maupun di lingkungan sosial masyarakat. Setelah tunai menitipkan mandat, maka suara yang murni dari rakyat tersebut wajib kita kawal. Jangan ada yang tercecer. Apalagi dimanipulasi.

Patut dicatat pula, jelang hari menentukan ini, eskalasi politik kita mulai mendidih karena tersulut oleh anasir-anasir kecurangan. Rentetan artikulasi kritis dari mahasiswa, cendekiawan dan juga akademisi disuarakan sebagai pengingat tentang situasi genting yang mengancam masa depan demokrasi. Apalagi, pemilu ini diwarnai dengan pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi. Belum lagi pelanggaran etik berat Ketua KPU sebanyak tiga kali. Pemilu dimulai dengan kepercayaan yang rendah pada penyelenggara.

Sudah terbukti berkali-kali, saban pemilu, kecurangan selalu mewarnai. Namun, dalam pemilu kali ini, dipertontonkan secara vulgar dari pusat kekuasaan. Pengerahan aparat terjadi sampai ke level desa. Pun politisasi bansos, penyalahgunaan jabatan, serta berbagai jenis aktivitas yang terindikasi pelanggaran terencana seolah dilumrahkan. Situasi tersebut bukan cuma mencederai sendi-sendi demokrasi, tapi menggadaikan nasib bangsa.

Karena itu, saya mengimbau agar kita semua berpartisipasi aktif dalam mengawal suara rakyat. Salah satu persimpangan krusial yang wajib kita awasi adalah TPS. Kedaulatan di bilik suara inilah kemewahan tertinggi yang kita miliki sebagai warga negara.

Kemewahan yang terdistribusi merata untuk semua. Karena itu, setiap satu suara rakyat itu, harus dipastikan sampai ke yang dimandatkan. Jangan sampai ada yang tercederai. Pelototi setiap gerak-gerik di TPS.

Menutup surat terbuka ini, saya kutipkan ekspresi kemarahan media menyaksikan kecurangan seperti dituangkan oleh Majalah Tempo dalam opininya berikut ini: “Terang-terangan curang dan tak netral, Jokowi mendorong demokrasi Indonesia ke tubir jurang. Anda, pemilik suara, melawanlah di bilik pencoblosan”. (*)