Bahaya Konspirasi dan Kejahatan Konstitusional dalam Pemilu – Pilpres
Selanjutnya adalah bahwa pemimpin dan pemerintahan yang dilahirkan oleh sebuah Pemilu/Pilpres yang cacat hukum, cacat moral, bahkan cacat etik tidak akan mendapatkan “legitimasi” dari rakyat sampai kapanpun. Dan, kondisi sosial ini akan selalu menjadi bom waktu dan duri dalam daging bagi pemerintahan.
Oleh: DR. Anton Permana, SIP, MH, Direktur Tanhana Dharma Mangrva (TDM) Institute
FILOSOFI hukum menurut Max Weber itu adalah “Mengatur dan memaksa”. Aturan sebagai alat navigasi tertib hukum, dan hukuman (sanksi) sebagai alat pemaksa setiap warga negara untuk tertib hukum.
Begitu juga Emil Durkheim dalam bukunya “Social of Law”. Menjadikan positioning hukum sebagai “Law as a tool of social engineering”. Hukum sebagai alat rekayasa sosial dalam implementasi aturan dalam masyarakat.
Seperti contoh sederhananya, untuk mengurangi resiko mati (meninggal dunia) dalam kecelakaan berkendaraan motor. Maka dibuatlah aturan lalu lintas: setiap pengendara “wajib” menggunakan helm dalam berkendara, untuk melindungi kepala si pengendara dari benturan ketika mengalami kecelakaan.
Karena, dalam sebuah riset menyatakan, penyebab utama kecelakaan yang menimbulkan kematian adalah akibat benturan pada kepala si pengendara. Supaya aturan ini terlaksana maka dibuatlah norma aturan, sanksi dan penegakan hukumnya oleh polisi lalu lintas.
Sedikit berbeda dengan Jerremy Bentham dalam bukunya “American Law”. Di mana penekanan perilaku penegakan hukum tidak selalu pada aturan dan hukum positif (tertulis). Tapi lebih untuk menekankan kepada “etic”. Etic, menurut Bentham, adalah bahagian dari puncak norma sebuah sosial peradaban kehidupan manusia di suatu tempat.
Tertib dan alat ukur perilaku dan budaya hukum sebuah negara menurut Bentham, bisa dilihat pada “etic” bukan banyaknya aturan hukum (tertulis) yang dibuat. Bahkan, menurutnya, semakin banyak aturan hukum menyatakan justru sebuah negara itu ada masalah dalam budaya hukumnya.
Makanya secara quantitas, Amerika saja yang umur negaranya sudah 400-an tahun, hanya memiliki 400-an Undang-Undang. Jauh berbeda dengan Indonesia yang telah melahirkan 1700-an Undang-Undang.
Artinya adalah, hukum dalam negara demokrasi itu, adalah salah satu pilar utama. Dan, konstitusi menjadi dasar hukum utama yang menjadi payung hukum tertinggi di dalam sebuah negara hukum. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 adalah menjadi konstitusi di mana Pancasila sebagai “filosofi grondslag” (pandangan hidup) bangsa Indonesia. (Prof Sri Soemantri. 2001).
Kembali kepada judul dan pembahasan kita di atas. Penerapan hukum dalam negara demokrasi itu ibarat dua mata pedang. Sangat tergantung kepada “sistem politik” dan perilaku kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan.
Karena bisa saja (sudah banyak terjadi), konstitusi yang secara filosofis sebagai “alat pengekang kekuasaan” dimana hukum sebagai “alat untuk mengatur dan memaksa” disalahgunakan atas nama kekuasaan negara. Apalagi, secara sistem hukum menurut Bentham itu tidak berdiri sendiri. Tapi terdiri dari tiga bagian yaitu; Legal Structure (Actor penegak hukum), legal substante (Norma aturan hukum yang tertulis), dan legal culture (budaya dan perilaku dari para stake holders hukum itu sendiri).
Pemahaman ini memberikan makna kepada kita, bahwa ketika sebuah negara itu pemerintahannya stabil, mandiri, tertib, berbudaya karena menjadikan hukum sebagai panglima. Namun juga bisa terjadi sebaliknya. Justru menjadikan instrumen hukum sebagai “alat kekuasaan” dalam mencapai tujuan politik kepentingan pribadi dan kelompok kekuasaan. Dan inilah yang bisa kita sebut dengan “Kejahatan Konstitusional”.
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana sebuah kejahatan konstitusional tersebut bisa terjadi? Sedangkan secara azas, norma, hukum itu harus tegak lurus berdiri dan bebas dari kepentingan?
Jawabannya adalah, itulah sering kita sebut dengan “konspirasi”. Ketika para pengambil kebijakan, serta penyelenggara pemerintahan ketika memegang kekuasaan melakukan persekongkolan jahat dalam mengatur, membuat, mengkondisikan aturan-aturan dalam pemetintaham sesuai dengan arah dan kepentingan kelompoknya.
Misalnya, ketika kelompok ini tidak berkuasa, maka mereka akan menyuarakan sebuah kebebasan dalam berpendapat, mengkritik, sampai hak “imunitas” bagi kekuatan civil society seperti pers, kampus, dan legislatif. Sehingga mereka bebas “mendegradasi” bobot nilai kekuasaan meskipun dengan cara fitnah secara bebas.
Namun sebaliknya, saat kelompok ini berkuasa, mereka justru melakukan hal sebaliknya. Membuat aturan-aturan yang mengekang kebebasan berpendapat, dan melegitimasi menggunakan tangan aparat keamanan untuk membungkam para kelompok yang berseberangan dengan kepentingannya.
Tarik menarik antara urgensi hukum dan kepentingan politik inilah yang selalu menjadi tantangan dalam negara demokrasi. Jadi wajar ada anekdot dalam dunia hukum yang mengatakan, “Lebih bagus orang baik namun sistem hukum nya buruk, dari pada orang jahat dalam sebuah sistem hukum yang terbaik sekalipun”. (Soepomo. 1990).
Kesimpulannya adalah ketika sebuah negara di pimpin oleh seorang pemimpin yang berkelakuan buruk, dalam sistem hukum sebaik apapun, maka akan membuka peluang kepada si pemilik kekuasaan itu dalam melakukan kejahatan.
Kejahatan yang dimaksud adalah bisa berupa “Abuse of Power” menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bisa juga melakukan konspirasi bersama-sama kelompok politik dan “anak buahnya” di dalam struktur pemerintahan. Bahkan dengan kelompok “asing” dalam hubungan mutualisme dukungan politik dan bargaining pengelolaan konsensi sumber kekayaan alam sebagai kompensasinya.
Selanjutnya adalah tentang korelasi dengan Pemilu dan Pilpres, dimana dua hal ini adalah sebuah proses rekrutmen kepemimpinan nasional terbesar baik untuk eksekutif dan legislatif. Di mana masa depan dan hajat hidup rakyat ditumpangkan dalam hasil perhelatan demokrasi ini.
Sejatinya, sistem demokrasi ini terbentuk sebagai antitesanya dari konspirasi model kekuasaan absolut dan otoriter. Kekuasaan tirani yang diganti dengan demokrasi. Karena hanya dengan demokrasi, sistem kekuasaan absolut yang sudah pasti ada (konspirasi) di dalamnya bisa dilawan. Sebab, dalam demokrasi itu ada transparasi, keterbukaan, dan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Kemewahan dalam demokrasi itu adalah: rakyat bisa mengkritisi, bahkan memarahi para penyelenggara pemerintahannya yang dianggap tidak becus dan gagal.
Tapi sayang, kekuatan demokrasi itu ada pada kekuatan “civil society” dan “niat baik” pemimpinnya ketika berkuasa. Apabila kekuatan civil society-nya kuat, pemimpinnya baik maka negaranya akan makmur dan stabil. Tapi kalau sebaliknya? Maka yang akan berkuasa itu adalah para komprador, kelompok opportunis, politisi yang berkonspirasi dengan kekuatan oligarki.
Dalam proses pemilu/pilpres inilah dua kekuatan itu akan bertarung. Yaitu kekuatan civil sociey Vs oligarki yang ada proxy di depannya. Jadi sangat wajar, Pemilu/Pilpres 2024 di Indonesia ini nanti sangat dinamis dan cukup menegangkan. Karena ada tiga pasang kandidat yang sama/sama mereseprentasikan basic politik di belakangnya. Yaitu, Kekuatan Civil Society, Kekuasaan dan Oligarki.
Untuk itulah kita tentu sangat berharap. Bahwa jangan sampai, proses demokrasi dalam hal proses rekrutmen kepemimpinan nasional melalui Pemilu/Pilpres ini dinodai, dicurangi, oleh pihak siapapun. Karena, rekam jejak dan upaya untuk itu sudah sangat terang benderang terjadi dan akan terus terjadi. Ini sangatlah berbahaya.
Sangat berbahaya karena apabila terjadi konspirasi kejahatan oleh kekuasaan melalui aturan-aturan yang dibuatnya sendiri? Maka, hal itu kita sebut dalam judul di atas yaitu “kejahatan konstitusional”. Sebuah kejahatan yang atas nama tangan kekuasaan dipaksakan seolah legal.
Karena konsekuensinya adalah kejadian ini akan menjadi catatan sangat buruk perjalanan bangsa ini. Dan, pasti akan rentan menimbulkan gejolak sosial dan perlawanan rakyat.
Selanjutnya adalah bahwa pemimpin dan pemerintahan yang dilahirkan oleh sebuah Pemilu/Pilpres yang cacat hukum, cacat moral, bahkan cacat etik tidak akan mendapatkan “legitimasi” dari rakyat sampai kapanpun. Dan, kondisi sosial ini akan selalu menjadi bom waktu dan duri dalam daging bagi pemerintahan.
Ketika legitimasi dari rakyat sudah Tidak ada, itu sama saja demokrasi di negara itu sudah runtuh dan rentan konflik sosial. Maka, di sinilah letak “etic” dari sebuah negara itu bisa kita ukur. Karena etic inilah yang secara moral, azas, dan norma menjadi alat sosial kontrol kekuasaan oleh kekuatan Civil Society.
Etic ini bagi kekuatan civil society bisa menjadi “bahan bakar” perlawanam untuk mementahkan konspirasi dan kejahatan konstitusional yang dilakukan penguasa. Karena pasti sudah, sebuah kejatahan konstitusional akan didukung oleh kekuatan aparat hukum sebagai bumper dan alat “gebuk” kepada yang dianggap musuh kekuasaan.
Dan percayalah, apabila ini terjadi, kekuasaan berkonspirasi dalam bentuk kejahatan konstitusional, maka kekuasaan itu akan tumbang dan dijatuhkan rakyatnya sendiri. Karena, kekuatan dari civil society dalam sebuah negara demokrasi itu adalah etic dan moralitas. Apabila ini sudah dikangkangi kekuasaan dan menindas rakyatnya, maka justru di situlah titik letup perlawanan rakyat itu sendiri. Wallahu’alam. (*)