Politik Semakin Acakadut
Pelanggaran fatal ini menjadi dasar Jokowi memang harus segera dimakzulkan. Menunda ini berarti membiarkan terjadinya pembusukan dan peracunan demokrasi oleh Jokowi. Indonesia secara terus-menerus berantakan atau acakadut berada di bawah sepatu Jokowi.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
SETELAH deklarasi Joko Widodo yang siap memihak dan beralasan itu adalah hak warganegara, maka iklim politik terasa semakin acakadut. Di belakangnya Jokowi berdiri bak "ajudan" Prabowo Subianto didampingi “sekretaris” Grace Natalie.
Bandara Halim Perdana Kusuma menjadi tempat "deklarasi" politik acakadut yang mengingatkan bahwa tempat ini dahulu pernah menjadi "pangkalan" PKI, tempat penyiksaan Jenderal dan Lubang Buaya.
Deklarasi Halim ternyata dikritisi banyak pihak, bagaimana bisa seorang Presiden secara vulgar memihak dan mendukung satu paslon dengan alasan sebagai hak politik. Ia lupa ketika menjadi Presiden maka ia adalah Presiden Republik Indonesia.
Pemimpin semua rakyat termasuk pemimpin ketiga Capres. Bukan Presiden Capres – Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi yang masih menjabat Walikota Solo.
Bila mau bebas berpolitik, mendukung, memihak, menjilat atau merangkul bahkan merekayasa dan memelintir, maka tanggalkan dulu baju Presidennya. Menjadi warga negara biasa yang bebas dan berada dalam semau-mau kubu atau kutub. Jika berbaju Presiden maka Jokowi tidak bisa berbuat seenaknya. Ada moral, etika, dan hukum yang membatasi dan mengatur.
Presiden yang bebas memihak dan berkampanye disusul pernyataan bahwa Menteri juga boleh, maka lanjutannya adalah Kepala Daerah hingga Kepala Desa, ASN, Polisi, dan TNI bebas pula. Betapa acakadut-nya negara pimpinan Jokowi ini. Fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Membuka peluang untuk terjadinya desintegrasi dan kerusuhan politik.
Main bola tanpa wasit akan membuat pemain saling sikut dan tendang, penonton bebas turun untuk mendukung. Memukul dan ikut menendang pula. Sepakbola acakadut.
Politik acakadut tidak boleh terjadi. Jokowi harus dihentikan. Jokowi itu biang dari kekacauan. Tidak menghargai moral, etika, dan hukum. Apa beda Jokowi dengan Fir'aun, Hitler, Mussolini, Lenin dan Mao Tse Tung? Jika ia tetap nekad untuk seenaknya dalam memimpin negara, maka Jokowi berada dalam rumpun yang sama.
Awalnya Jokowi bilang akan netral eh ujungnya terjun langsung dukung anak. Dalam agama, hal itu munafik namanya. Pagi dan sore beda.
Dalam Hadits Bukhori, tiga ciri munafik tampaknya ada pada Jokowi, yaitu bilamana ngomong pasti bohong (idza hadatsa kadzab), jika berjanji maka ingkar (idza wa'ada akhlaf) dan jika diberi amanat khianat (idza tu-mina khoona). Pemimpin munafik tidak boleh ditoleransi. Stop sampai sini!
Kepemimpinan di bawah perilaku munafik akan kacau alias acakadut. Esensinya adalah rakyat yang selalu dibohongi atau ditipu oleh pemimpin. Jokowi menjadi contoh penipu dan pembohong. Setelah berbohong soal putera yang tak tertarik politik, kemudian menipu rakyat dengan Putusan MK Nomor 90 berstempel "sayang anak", mengkhianati sumpah, serta berwajah "negara adalah aku", maka perlawanan harus dilakukan lebih masif dan massal.
Pembangkangan sosial, politik, budaya dan keagamaan bisa jadi penekan sekaligus penyelamatan atas penyanderaan birokrasi, TNI, Polisi, politisi, dan akademisi oleh seorang Jokowi. Jokowi sudah melanggar sekurangnya Tap MPR No VI tahun 2001, Pasal 7A UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.
Pelanggaran fatal ini menjadi dasar Jokowi memang harus segera dimakzulkan. Menunda ini berarti membiarkan terjadinya pembusukan dan peracunan demokrasi oleh Jokowi. Indonesia secara terus-menerus berantakan atau acakadut berada di bawah sepatu Jokowi.
Cuma omon-omon atau cuap-cuap saja Pemilu itu bersih, jujur, dan adil selama masih ada Jokowi. (*)