Jurus Begal Penguasa Hadapi Perubahan
Tapi percayalah bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan dan tak bisa dihentikan, apalagi kalau rakyat sudah berkehendak. Maka di sinilah kita bisa memahami syarat nomor nol cawapres Anies, tidak bermasalah dan berani.
Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi
TAMPAKNYA situasi politik menjelang 2024 berlangsung dalam dua model, satu berpolitik santun dan beradab yang dipertontonkan oleh Anies Baswedan dan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dan satunya oleh kelompok lain yang tak suka Anies maju menjadi capres.
Politik telanjang tak lagi malu dipertontonkan, politik tukang begal, mengambil paksa milik orang lain dan memaksakan kehendak.
Politik itulah yang dipertontonkan oleh Istana, dengan segala cara dilakukan asal kemauannya bisa dilaksanakan. Boleh saja Istana mengelak dan beretorika, tapi faktanya bisa dibaca seperti itu.
Hobi begal tampaknya menjadi jurus pamungkas ketika calon korbannya sulit dibendung, hal ini tampaknya dilakukan kepada Anies Baswedan dan siapapun yang diindikasikan membantu untuk memuluskan Anies menjadi bakal capres.
Seperti yang terjadi pada Partai Demokrat. Usaha membegal partai Demokrat meski masih dalam proses, tapi sepertinya mengalami jalan buntu, upaya lain yang dilakukan adalah dengan membujuk Partai Demokrat untuk masuk dalam koalisi pemerintah, namun sayangnya iman Partai Demokrat belum bisa diluluhkan.
Perlakuan kasar dan keras dialami oleh Partai Nasdem. Partai Nasdem yang jelas-jelas dan terang-benderang telah mencalonkan Anies dianggap telah berkhianat pada Istana, padahal Partai Nasdem sudah menjelaskan beliau akan mengawal kekuasaan sampai tuntas, meski Nasdem tahu program yang digaungkan pemerintahan Jokowi, seperti Revolusi Mental, mengalami kegagalan.
Harga mahal harus dibayar Partai Nasdem, menterinya yang sekaligus Sekjend Partai Nasdem, dicopot dengan sangkaan korupsi, padahal masih banyak mereka yang mendapatkan sangkaan yang sama, masih aman-aman saja, karena masih berada dalam koalisi yang sama.
Apel Siaga Perubahan Partai Nasdem bisa dipahami sebagai bentuk show of force kekuatan Partai Nasdem di hadapan Presiden Joko Widodo dan Istana, tak kurang 200 ribu kader hadir di Jakarta. Apalagi pernyataan Surya Paloh, Ketum Nasdem, dalam pidatonya yang tak akan surut mengawal perubahan bersama Anies Baswedan.
Tampaknya taktik Surya Paloh dengan apel perubahan ini membuat Jokowi harus berpikir ulang lagi memperlakukan Surya Paloh dan Partai Nasdem. Sehari setelah itu, Surya Paloh diundang ke Istana, sebuah pemandangan yang tak lazim selama ini, karena Surya Paloh dan Partai Nasdem dianggap Jokowi telah membangkang Istana.
Apalagi dalam pernyataannya, Surya Paloh menjelaskan bahwa Jokowi juga sempat menanyakan siapa sebenarnya bakal cawapresl Anies. Dengan berkelakar dia jawab bahwa itu semua biarlah Anies yang jawab. Pertanyaannya adakah keberanian Jokowi mengundang Anies ke Istana untuk bicara perubahan yang diperjuangkan oleh Anies dan Koalisinya?
Kehadiran utusan Partai Golkar dalam acara apel perubahan yang diadakan Nasdem, tampaknya membuat Istana terusik. Sehingga menertibkan mulailah Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto diganggu dengan kasus-kasus yang dianggap berpotensi menjeratnya. Tak lama setelah kehadiran utusan partai Golkar itu, Kejaksaan Agung mulai mengungkit kasus yang pernah menyanderanya, terkait kasus ekspor CPO.
Pemeriksaan ini tak bisa tidak membuat publik mencoba mengkaitkan dengan arah politik Golkar setelah KIB dirasa tidak mengalami kemajuan dan cenderung bubar. Perilaku inilah yang membuat Istana kuatir bahwa arah politik Golkar akan cenderung sama sebagaimana Partai Nasdem.
Tak tanggung-tanggung apa yang dilakukan oleh Airlangga Hartarto dengan membiarkan kehadiran beberapa pengurusnya mengikuti apel perubahan Partai Nasdem, dihantam dengan dua peluru mematikan, isu Munaslub dengan menyodorkan Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagai penggantinya dan pemeriksaan dia oleh Kejaksaan Agung.
Menghadapi ancaman seperti itu, tampaknya Airlangga Hartarto tak diam, bahkan dia membuat pernyataan yang membuat Istana panas, ada 54 proyek yang digagas Jokowi yang cenderung bermasalah dan sulit untuk diselesaikan pada tahun 2024.
Pernyataan inilah yang mungkin akan menjawab statement Budi Arie, Ketua Projo yang diangkat sebagai Menkominfo. Bahwa kalau Pilpres 2024 tidak dimenangkan Koalisi Istana, bisa dipastikan akan masuk penjara semua. Inilah yang mungkin menjadi kekuatiran Istana dan oligarki yang selama ini saling menikmati.
Partai Golkar tampaknya bukanlah partai yang cenderung bisa begitu saja menerima perlakuan kasar, mereka sudah teruji menghadapi tekanan dan menjadi pemenang. Maka usaha yang telah dilakukan adalah mendekati PDIP dan membangun tim teknis sebagai sebuah pesan bahwa dia masih dalam koalisi yang sama.
Namun yang harus dipahami adalah, dengan membangun koalisi bersama PDIP, dipastikan bahwa Jokowi sudah tak bisa cawe cawe, karena PDIP sudah menegaskan urusan bakal capres dan bakal cawapres adalah hak prerogatif Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dibutuhkan nyali besar untuk melawan kehendak Megawati. Kini Ganjar Pranowo pun sudah semakin jauh dari Jokowi.
Harapan Jokowi kini hanya tinggal pada Prabowo Subianto, Ketum Partai Gerindra. Jokowi bisa memaksakan kehendaknya, misalkan memasangkan Prabowo dengan Erick Thohir atau bahkan dengan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi yang juga Walikota Solo.
Apalagi sikap Prabowo yang cenderung tidak mau berkonflik, sehingga akan memungkinkan Jokowi mengajukan pilihannya menjadi bakal cawapres Prabowo. Meski tentu ini akan membuat Muhaimin Iskandar, Ketum PKB dan partainya marah. Namun hal ini bisa dilakukan karena Cak Imin dan PKB menurutnya cenderung akan mudah dikendalikan, karena kasus Kardus Durian di KPK sendiri yang dianggap menyandera.
Dinamika politik menjelang pendaftaran bakal capres dan bakal cawapres akan cenderung keras dan dinamis, dibutuhkan nyali dan kecerdasan untuk menghadapi. Jurus begal tentu akan semakin telanjang dan keras dilakukan terhadap siapapun yang dianggap akan mengancam kemapanan yang selama ini dinikmati.
Tapi percayalah bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan dan tak bisa dihentikan, apalagi kalau rakyat sudah berkehendak. Maka di sinilah kita bisa memahami syarat nomor nol cawapres Anies, tidak bermasalah dan berani.
Karena syarat itulah yang membuat jurus mereka tak berarti. Di sinilah terlihat kecerdasan Anies Baswedan mengelola konflik yang dia hadapi, mengalahkan lawan tanpa harus mempermalukan dan mengeluarkan tenaga yang besar.
Bravo Mas Anies, Bravo Perubahan! (*)