Pada 2024 Sebagai Fase Penentu Arah Kiblat Politik Indonesia
Namun sayang, konsepsi ini hanya manis di bibir saja, faktanya ada kelompok yang gerah dengan masih adanya nama “agama dan keTuhanan” dalam kehidupan bernegara. Dan itulah komunisme. Yang anti dan jijik terhadap keberadaan Agama.
Oleh: DR. Anton Permana, Direktur Tanhana Dharma Mangruva Institute
JARANG yang melihat kompleksitas akar permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini secara utuh. Hampir kebanyakan terkecoh dengan permainan isue “Digital Distraction” media massa dan para buzzerRp, sehingga wajar kalau di beberapa kalangan masyarakat mulai muncul rasa pesimisme, acuh, skeptis, inferior bahkan menuju aliena (disorientasi alias labil). Yaitu, sudah sulit melepaskan Indonesia dari cengkraman kekuasaan Oligarkhi dan Elit Global.
Indonesia dalam keadaan tidak baik-baik saja, kalau kita merujuk kepada pondasi dasar berdirinya bangsa dan negara ini. Yaitu sesuai dengan Visi dan Misi negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Mewujudkan Masyarakat Yang Berdaulat, Adil, dan Makmur” sebagi Visi, serta “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Memajukan Kesejahteraan Umum, dah Ikut dalam Menjaga Perdamaian Dunia” sebagai Misi Negara.
Kondisi hutang negara yang menurut Misbahkun, politisi Golkar, sebanyak Rp 20 ribu triliun, tingkat korupsi yang semakin gila-gilaan, kehidupan demokrasi yang dibajak otoritarianisme oleh kelompok oligarkhi serta, serta semakin hilangnya rasa keberpihakan rezim saat ini terhadap kehidupan rakyat yang semakin ringkih, adalah bentuk komparasi bahwa Indonesia memang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bangsa ini telah dibajak.
Tentu untuk membaca hal ini tidak bisa hanya dari parsial emosional perdebatan Kadrun Vs Cebong semata, atau data-data indah yang disajikan sepihak pemerintah, tanpa kritikan dan pengawasan pihak legislatif yang sudah dicabut taringnya, ataupun penegak hukum bahkan kekuatan civil society sekalipun yang dikooptasi di bawah cengkraman pasal-pasal kekuasaan.
Hal ini hanya bisa dibaca dan dilihat melalui kaca mata ilmu geopolitik dan geostrategi global, di mana Indonesia salah satu dari bahagian puzzle permainan itu.
Dalam ilmu geopolitik (ruang hidup) dan geostrategi (cara mempertahankan ruang hidup), setiap negara maupun kelompok elit minority global, di mana Indonesia hanyalah objek dari sebuah perebutan sumber daya melalui kebijakan-kebijakan “aneh” seperti UU Ciptaker, UU Minerba, yang orientasinya memberikan keuntungan seluas-luasnya bagi kelompok elit dan oligarkhi semata.
Ketika sebuah negara, terbatas dalam memenuhi kebutuhan lokal negaranya, maupun ambisi dari para “non state actor” maka invansi dan kolonialisasi (penjajahan) adalah solusi untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan bernegaranya. Dan itu sesuatu hal yang “sah” dan lazim dalam ilmu geopolitik. Siapa yang kuat, maka akan memangsa yang lemah dan bodoh.
Namun, tentu bukan dengan cara kolonialisasi fisik cara “jadul” penguasaan gaya era abad 15 sampai dengan 19 lagi. Tetapi dengan sebuah taktik strategi tatanan dunia baru, yang sedang berjalan dan mereka (kelompok negara maju) namakan “the new world order”. Menguasai sebuah negara dengan cara berbeda, yaitu ada yang melalui penguasaan ekonomi (debt trap), politik ideologi, adu domba perang saudara, serta infiltrasi proxy agen yang sengaja dikirim disusupkan untuk menjadi pejabat dan penguasa di suatu negara tertentu.
Pemahaman sederhananya adalah silakan dibaca kembali buku “The Clash of Civilization” karangannya Samuel P Huntington. Tentang pertarungan tiga peradaban dunia yaitu; Barat (Kapitalis), Timur (Sosialis-Komunis), dan Islam.
Di mana dari tiga poros arus besar ideologi (peradaban) itu terwakili oleh: Barat dengan Amerika dan sekutunya mengusung konsep kapitalisme – liberalisme, Timur dengan Rusia – China dengan Sosialisme dan Komunismenya, lalu baru kelompok Islam yang terpecah-belah, ada yang menjadi sekutu barat seperti Arab Saudi Cs, ikut China dan Rusia seperti Iran, Pakistan, dan kelompok kekuatan baru seperti Turkey serta baru Indonesia, Mesir, yang masih terombang-ambing di antara dua arus besar itu.
Singkat kata, kalau kita baca juga pendapat filosof dan ahli ilmu sosial Rusco Poun, menyatakan bahwa “ Ke depan, dunia akan terbelah menjadi dua kelompok besar yaitu ; Kelompok Coorporate State dengan kelompok Religion State “. Yaitu kelompok negara koorporasi kapitalis-liberalis yang disatukan oleh prinsip matrealistis hedonis dengan kelompok konservatif agama.
Kelompok koorporasi ini, muatan ideologisnya adalah Uang, harta, kesenangan, kebebasan, dan dunia. Sedangkan kelompok konservatif keagamaan ini orientasinya adalah hari akhir, nilai KeTuhanan, dan syurga. Khususnya Islam.
Di Indonesia tarik menarik, dan benturan dua pusaran arus besar ini sudah lama terjadi. Faktanya sejak perdebatan pasca proklamasi kemerdekaan ketika membuat konsensus awal bernegara hal ini sudah terjadi. Perdebatan antara anak bangsa yang otak pikirannya terbentuk dari sekolah di Belanda (Sekuler), dengan tokoh nasional yang mewakili pribumi mayoritas Islam.
Seperti di kemudian hari hilangnya frasa 7 kata dalam pembukaan UUD 1945 atau dikenal dengan Piagam Jakarta. Dan lahirlah sila pertama KeTuhanan Yang Maha Esa sebagai jalan tengah dari tarik-menarik dua pusaran arus besar peradaban dunia itu. Menjadikan Indonesia bukan negara Agama, tetapi juga bukan Negara tanpa Agama. Namun, Indonesia adalah negara yang mengakui keberadaan Agama sebagai salah satu sumber nilai kehidupan bernegaranya. Selesai.
Jadi tidak heran, kalau kita petakan secara sederhananya, sudah menjadi kodrati bahwa Indonesia ini akhirnya terbagi dari tiga kelompok besar yang dalam rezim Orde Baru di namakan kelompok: Kanan (Islam Kultural dan Fundamental), Tengah (Nasionalis-Borjuis) dan Kiri (Liberalis-Sosialis-Komunis). Ini menurut peta pemahaman Orde Baru.
Ketika era Orde Lama yang cenderung ke kiri, maka Soekarno melalui pemikirannya bernama Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) mencoba menyatukannya. Namun gagal total akibat agresifitas revolusioner kelompok PKI ketika itu yang tidak sabar menjadikan Indonesia jadi Komunis. Maka terjadilah tragedi G/30/S/PKI yang berdarah-darah itu.
Lalu setelah OrLa jatuh, OrBa mulai berkuasa sebagai kelompok tengah (Nasionalis) yang didukung Amerika karena dianggap berhasil mematahkan arus perkembangan Komunis di Asia Tenggara, namun karena ada rekam sejarah perseteruan dengan kelompok kiri (Komunis) tahun 1965, pada 10 tahun akhir masa jabatannya Soeharto mulai cenderung berpihak kepada kelompok kanan. Di mana hal inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok kiri (komunis China) melalui agennya bernama JR untuk bersatu dengan barat pada era Presiden Amerika Bill Clinton dalam menjatuhkan Soeharto melalui skenario krisis ekonomi 1998.
Sampai pada akhirnya muncullah era reformasi yang kemudian hari baru kita sadari bahwasanya; Reformasi adalah maha karya kombinasi kelompok kiri dan tengah, yang didukung oleh para elit global untuk menjatuhkan pemerintahan Orde Baru. Kekuatan China dan barat Amerika, bersama-sama memaksa Soeharto untuk turun dari jabatannya. Maka jadilah Indonesia bak anak ayam kehilangan induk, karena reformasi telah memutar balik secara radikal haluan bernegara kita melalui Amandemen UUD 1945, menjadi UUD 10 Agustus 2002.
Sekarang, 25 tahun reformasi telah berlalu, mencari ujung titik puncak kulminasi pertarungan antara kelompok kanan dan kiri plus tengah opportunis yang tanpa rasa malu dan semakin terang-terangan.
Pengaruh politik PKC di Indonesia sudah tidak menjadi rahasia umum lagi. Bangkit dan berhasilnya “anasir kelompok Neo-Nasakom” (para anak-anak keturunan PKI) masuk dalam sendi pemerintahan juga sudah bukan omong kosong lagi. Kepres nomor 17 tahun 2022, Inpres nomor 2 Tahun 2023, adalah jawaban dan fakta otentik dari itu semua.
PKI diputar-balik seolah jadi korban, dapat santunan dan Presiden atas nama negara meminta maaf. Walaupun hal itu dianggap para pakar ilmu hukum dan tokoh nasional sangat tidak relevan dan justru menabrak aturan hukum yang lebih tinggi di atasnya.
Pergeseran nilai dan perang narasi atas hegemoni dan kendali nilai (Value) tata kelola kehidupan masyarakat juga sangat terasa sekali benturan dan arah orientasinya saat ini. Upaya Sekulerisasi dan liberalisasi kehidupan berbangsa kita juga sangat kuat dan memaksa.
Mulai dari instrumen politik identitas, isu radikalisasi, intoleransi, de-populisme Islam, modernisasi Islam, hingga viral istilah Islam Nusantara, sudah menjadi instrumen negara bagaimana untuk menjauhkan pengaruh agama dari pusaran kekuasaan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ini agenda siapa lagi kalau bukan kombinasi agenda kelompok kapitalis liberal dan neo-komunis.
Kalau di era Soeharto musuh negara itu diistilahkan dengan EKA (Ekstrim Kanan) dan EKI (Ekstrim Kiri), yaitu komunis dan Islam fundamentalis.
Saat ini justru terbalik. Istilah EKI yang termanifestasikan dengan komunisme sudah hilang tidak terdengar lagi suaranya, walaupun TAP/MPR/XXV/1966 dan UU nomor 27 Tahun 1999 masih ada. Namun di satu sisi, Islam sebagai anti tesa komunis saat ini diobok-obok dan banyak para tokoh serta ulamanya di kriminalisasi mirip era tahun 1960an.
Saat ini, yang jadi bulan-bulanan adalah para kelompok Islam atas nama radikalisme dan terorisme. Dengan berbagai macam instrumen stigmanisasi, menggunakan kekuasaan negara.
Pertarungan dua pusaran ideologi ini jugalah yang akan menjadi trigger kontestasi Pemilu dan Pilpres 2024 ke depan nantinya.
Kelompok saat ini yang berkuasa tentu tak akan rela dan mau kekuasaannya lepas. Karena masih banyak target, capaian, yang belum diwujudkan. Apalagi pondasi sosial ideologis dan strukturalnya sudah semakin menguat. Kelebihan kelompok ini adalah adanya back up dari negara induk seperti China (komunis) dan Amerika (liberalis) yang notabonenya ada para negara adi daya dan super power dunia.
Begitu juga untuk kelompok kanan. Hampir 10 tahun babak belur diintimidasi, dikriminalisasi, tentu juga akan melakukan perlawanan keras. Karena selain mayoritas tentu juga tak akan mau kedepan berubah garis ideologi anak cucu dan keturunannya. Kelemahan kelompok ini (Islam) adalah terpecah-belah politik adu domba, dan saat ini tidak mempunyai negara induk seperti dalam era ke-Khalifahan. Maka tercerai-berai pasca runtuhnya ke-Khalifahan Utsmani Ottoman pada tahun 1924.
Cuma, tentu tidak mudah untuk melawan rezim yang saat ini sudah begitu kuat cengkramannya. Namun disinilah letak kelebihan para kelompok kanan tersebut, yaitu mereka punya sumber keyakinan akan kuasa Tuhan, yang melebihi atas segala kuasa yang ada di muka bumi ini.
Keyakinan kuat ini tidak bisa dianggap remeh, karena keyakinan ini jugalah yang sudah 14 abad lamanya membuktikan Agama ini tetap eksis di muka bumi sampai saat ini. Dan pernah memimpin 1/3 luas dunia selama 1333 tahun lamanya.
Secara normatif, para kelompok elit global sejatinya tak begitu peduli dengan pertarungan ideologi tersebut. Yang penting bagi mereka adalah “cuan”, money, dan kendali power (kenikmatan dunia). Tuhan mereka adalah nafsu dan dunia. Liberalisme-Sekulerisme-Komunisme dan Atheisme hanyalah taktik instrumen saja. Alias kebatilan akan sebuah keingkaran akan nilai ketuhanan (Agama).
Namun sejarah membuktikan pula bahwa, kendali dan motivasi kendali (power) itu akan berbahaya bagi mereka kalau kembali direbut oleh kelompok konservatif agama. Apabila kelompok Agama yang kembali memegang kekuasaan.
Apalagi Islam. Kalau Islam kembali berkuasa, maka tatanan dunia matrealistis-hedonisme yang menjadi ruh kapitalisme ideologi mereka akan runtuh dan hancur. Ibarat ikan kehilangan air. Dan itulah sunatullah.
Oleh karena polemik inilah maka para pendiri bangsa kita dahulu, mencoba menjadikan Pancasila sebagai konsensus jalan tengah, bukan negara Agama, namun mengakui keberadaan Agama sebagai sumber hukum.
Namun sayang, konsepsi ini hanya manis di bibir saja, faktanya ada kelompok yang gerah dengan masih adanya nama “agama dan keTuhanan” dalam kehidupan bernegara. Dan itulah komunisme. Yang anti dan jijik terhadap keberadaan Agama.
Kembali kepada kondisi geopolitik dan geostrategi Indonesia, mau tak mau, Pemilu 2024 akan menjadi penentu, apakah itu akan menjadi pintu lepas landasnya dari rezim hari ini mewujudkan cita-cita lamanya, atau menjadi titik awal kelompok tengah/kanan untuk mengembalikan Indonesia sesuai dengan cita-cita luhur para pendiri Bangsa kita di tahun 1945 yang lalu?
Yaitu: Indonesia yang telah menjadikan Pancasila sebagai konsensus jalan tengah dalam kehidupan bernegaranya? Atau melalui alibi “Kebenaran Baru” mau merubah arah kiblat negara Indonesia sesuai dua kekuatan negara induk di dunia saat ini yaitu super liberalis atau neo-komunis? Wallahu’lam. (*)