Politik Gentong Babi Rezim Jokowi dan Hancurnya Revolusi Mental

Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ma'ruf Amin dan lainnya, serta tokoh-tokoh NGO atau LSM mengecam politik gentong babi. Sementara Jokowi dan rezim pendukung 02 semakin semangat mempolitisasi bansos.

Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

POLITIK Gentong Babi (PGB) atau "Pork Barrel Politics" telah menjadi persoalan serius di Indonesia. PGB ini adalah menyuap rakyat dengan bansos dan berbagai program sosial serta asuransi sosial yang didesain untuk mendulang suara pada pemilihan umum. (Lihat Koran Tempo dalam Apa Itu Politik Gentong Babi?, 6/1/24).

Untuk memperkuat pemahaman kita tentang PGB ini beberapa berita berikut perlu dicermati, yakni "Kenapa Bansos Hanya Untuk Satu Kubu" (Tempo, 27/1/24), "Hati-hati Politik Gentong Babi" (Kumparan, 21/12/23), dan "Politik Gentong Babi Menjelang Pemilu" (Seknasfitra.org, 9/1/24).

Modus operandi politik kotor ini adalah membuat berbagai program dan bantuan sosial yang dipertukarkan dengan kewajiban pemilih untuk mendukung pemberi bansos, dalam hal ini pemerintah berkuasa. Seknas Fitra, sebuah NGO yang mengkritisi anggaran negara, mencium aroma politik kotor ini mulai dimainkan oleh rezim Joko Widodo.

Aroma bansos dan sejenisnya saat ini, dalam politik kotor, dapat kita saksikan dengan adanya program pemerintah seperti 1,2 juta ton beras, bantuan uang 600 ribu rupiah pada bulan depan, yang rappel 3 bulan (Februari adalah bulan pencoblosan suara), program PKH (Program Keluarga Harapan), program Indonesia Pintar, dan lain sebagainya.

(lihat: "5 Bansos Jokowi Cair Awal 2024, Ini Daftarnya", CNBC Indonesia, 21/1/24). Mengapa jadi bagian politik kotor? Karena pada saat bersamaan, Jokowi mengumumkan dia berpihak. Dia tidak lagi netral sebagai negarawan. Akibatnya adalah penyalahgunaan bantuan sosial berpotensi sangat besar diarahkan pada kepentingan suara pasangan calon 02, di mana anaknya ada di sana.

Rakyat Miskin dan Revolusi Mental

Jokowi, dahulu ketika maju sebagai capres, berjanji akan membebaskan Bangsa Indonesia dari mentalitas budak dan ketertindasan. (Revolusi Mental, Kompas,10/5/2014). Ini adalah cita-cita mulia. Tapi, membuat rakyat tergantung dengan bantuan sosial, seperti saat ini, adalah kejahatan besar. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden, mengatakan hal itu adalah praktik-praktik melanggengkan kemiskinan.

Ketergantungan itu akan semakin jahat jika pemerintah memanipulasi image bahwa bantuan itu adalah tanda pertolongan presiden kepada rakyat susah. Indikasi ke arah itu tentunya jelas terlihat, seperti adanya viral bansos bertanda paslon 02, temuan lembaga survei Indopol bahwa masyarakat takut disurvei karena takut tidak diberi bansos, dan terakhir pernyataan Menteri Zulkifli Hasan dalam kampanyenya di Kendal.

Pernyataan Zulkifli Hasan, yakni dia bertanya "yang kasih bansos sama BLT siapa?", di sini bukti dia mengasosiasikan pemberian bansos dengan Jokowi dan meminta rakyat miskin dukung Gibran. (CNBC Indonesia, 4/1/24).

Bagaimana Bansos di Belanda?

Politik Gentong Babi telah ditinggalkan negara-negara eropa ratusan tahun silam. Sejak kebangkitan humanisme di Barat, manusia tidak lagi dianggap sebagai budak. Barter kepentingan antara rakyat dan kapitalis, tidak lagi terikat pada tataran mirip binatang. Melainkan perjanjian upah, pendidikan dan kesejahteraan. Saat ini selain kesejahteraan, rakyat meminta "green life", yang menunjang "Leisure" mereka.

Pada tahun 1990an, di Belanda, misalnya, kaum tak mampu mendapatkan bantuan pemerintah sebesar 1200 Gulden perbulan. Bantuan itu langsung ditransfer setiap bulan ke rekening penerima. Cara memperoleh bantuan mudah sekali. Penerima cukup mendaftarkan di dinas sosial setempat.

Setiap orang kurang mampu akan ditransfer langsung, saat itu, minimum 1200 Gulden. Jika punya anak akan mendapatkan tunjangan anak, tunjangan pendidikan anak, tunjangan kesehatan dan juga tunjangan untuk pergi berlibur (vacantiegeld). Bantuan tidak ada berupa beras maupun barang lainnya. Tidak ada pertemuan antara pemberi maupun penerima. Semuanya transfer bank.

Bantuan ini akan dihentikan pada saat inkom penerima sudah mencapai basis sejahtera, ketika kemudian mereka mendapatkan pekerjaan. Sebab, semua orang harus mendaftar di biro tenaga kerja (uitzendbureau) untuk segera mendapatkan pekerjaan. Selain itu setiap orang harus terdaftar di dinas pajak dan dinas sosial. Karena setiap pekerja nantinya dianggap sebagai pembayar pajak (tax payer), yang menunjukkan dia sebagai "stake holder" dalam bernegara.

Dalam mencari kerja juga tidak perlu mengemis-ngemis atau tidak butuh "ordal". Karena sistem "supply-demand" tenaga kerja direncanakan secara sistematis oleh negara. Terakhir yang perlu dicatat adalah setiap pekerja mempunyai hak-hak yang sama tinggi dengan pemberi kerja.

Penerima bantuan sosial tidak perlu membalas budi kepada pemerintah yang berkuasa. Tugas presiden hanya menjadi penyalur saja, tidak lebih. Hal yang sama dalam urusan bansos seperti di Belanda itu, harusnya sudah terjadi era Jokowi. Sebagaimana maksud Jokowi dengan "Revolusi Mental" nya.

Di Barat, sejak Welfare State diterapkan secara luas, sebagaimana diinginkan Proklamator Muhammad Hatta, kemiskinan bukan pula dijadikan komoditas politik. Pemerintah hanyalah alat untuk menjalankan fungsi negara, yakni melindungi rakyatnya. Sehingga, pemberian bansos itu, sekali lagi, seperti kata Hadist, "Jika tangan kanan memberi, pastikan tangan kiri tidak tahu". Jika mengumbar Bansos sebagai pemberian Jokowi, maka dipastikan itu sebagai penghinaan dan pembohongan terhadap rakyat.

Penutup

Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ma'ruf Amin dan lainnya, serta tokoh-tokoh NGO atau LSM mengecam politik gentong babi. Sementara Jokowi dan rezim pendukung 02 semakin semangat mempolitisasi bansos.

Padahal Jokowi berjanji Revolusi Mental adalah membebaskan manusia dari perbudakan dan penindasan.

Rakyat sudah seharusnya menjadi pemilik sah negeri ini. Jika pemerintah membagi adil hasil pajak dan pengerukan sumber daya alam kita, maka pembagian bansos itu adalah keharusan negara.

Pada era Anies dan Muhaimin ke depan, maka pelayanan bansos akan disempurnakan menjadi BANSOSPLUS, artinya negara hanya menjadi pelayan terbaik bagi rakyat penerima bansos. Istilah bansos juga sebaiknya dirubah namanya menjadi, seperti di Belanda, tunjangan sosial, tunjangan pendidikan, tunjangan kesehatan, tunjangan liburan dan lainnya, bukan bantuan.

Jika politik Gentong Babi terus berjalan, saatnya bagi segenap rakyat melawan. Ambil bansosnya, jangan pilih Prabowo – Gibran! (*)