Awalnya Revolusi Mental, Nyatanya Jokowi Merusak Mental
SEMUA masih ingat jargon kampanye Joko Widodo alias Jokowi tentang 'revolusi mental', sejak masa kampanye Pilpres 2014. Revolusi mental, menurut Jokowi, harus dimulai dari mengenal karakter asli bangsa Indonesia, yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong.
Guna mewujudkannya, Presiden Jokowi pun menandatangani Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, pada 16 Desember 2016.
Hal itu dimaksudkan dalam usaha guna memperbaiki dan membangun karakter bangsa Indonesia dengan melaksanakan Revolusi Mental yang mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.
Nah, apa yang terjadi dengan jargon politik revolusi mental itu? Apakah mental Jokowi dan sejumlah pejabatnya mencerminkannya? Atau sebaliknya?
Di atas kertas, Inpres tersebut bagus. Apalagi, jika kita baca dan pelajari, akan menyangkut semua lini kehidupan bangsa. Mulai dari agama, budi pekerti, hukum, ekonomi, budaya, kehidupan sosial dan lainnya.
Isi Inpres tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental hampir semuanya bertentangan dengan kenyataan. Tentang ekonomi yang digembar-gemborkan meroket, hanya tumbuh semu. Sebab, banyak rakyat yang serba kekurangan.
Kalaupun ada pertumbuhan, itu hanya dinikmati segelintir orang atau dinikmati para penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai). Yang tidak menerima BLT, harus gigit jari, sambil menunggu Kartu Indonesia Sabar yang tak kunjung dikeluarkan Jokowi.
Revolusi mental. Apa ada yang merasakannya. Malah, mental korupsi, berbohong, dan lainnya yang kita jumpai. Para pejabat di negeri Pancasila ini telah banyak yang rusak, mengikuti langkah Jokowi, berbohong.
Sepuluh tahun Jokowi ditandai dengan semakin tumbuh suburnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi dimandulkan Jokowi lewat pelemahan Undang-Undangnya.
Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) yang diharapkan mengkritisi pemerintahan Jokowi hanya bisa membebek, karena hampir semua pimpinan partai politik (parpol) tersandera kasus.
Anda tidak percaya? Lihat saja Airlangga Hartarto yang dipaksa mundur dari Ketua Umum Partai Golkar. Beredar berita, dia diberikan dua pilihan, dipaksa mundur sebagai Ketum partai berlambang beringin itu atau dijemput paksa oleh pihak Kejaksaan Agung dalam kasus minyak goreng.
Revolusi mental. Itu hanya kalimat ilusi. Ibarat pepatah, "Jauh panggang dari api". Anda tahu sendiri, antara yang diucapkan Jokowi hampir selalu bertolak belakang dengan kenyataan.
Revolusi mental ala Jokowi itu sebenarnya adalah merusak mental rakyatnya, terutama generasi muda atau generasi Z (Gen Z). Hal itu dilakukan dengan mengubah kurikulum pendidikan nasional di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Para murid, pelajar dan mahasiswa di bawah Menteri Nadiem Anwar Makarim, coba dijauhkan dari hal-hal yang berbau agama.
Sedangkan Kementerian Agama juga terus melakukan pelemahan pendidikan di pesantren. Dengan berbagai cara dilakukan Kemenag di bawah menteri Yaqut Cholil Qoumas supaya pesantren lebih mengambang dalam akidah. Jika pengajaran di sebuah pesantren dinilai 'keras' dalam akidah, bisa-bisa dituduh pesantren intoleran.
Revolusi mental. Itu adalah mimpi Jokowi. Sebaliknya, ia malah merusak mental. Berbudi pekerti yang tertuang dalam revolusi mental ternyata semakin jauh dari harapan.
Jokowi malah sebaliknya, justery merusak mental gen Z. Buktinya, pada penghujung jabatannya, ia mengizinkan para pelajar menggunakan alat-alat kontrasepsi.
Tidak tanggung-tanggung. Penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Bukan lagi dalam bentuk Inpres. Ini adalah salah satu bukti Jokowi ingin merusak akhlak, moral dan akidah pelajar dan remaja, khususnya yang beragama Islam.
Revolusi mental sama dengan merusak agama, akhlak, mental dan moral. Contoh terakhirnya, 18 anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) dipaksa melepas jilbab saat pengukuhan oleh Jokowi, di Istana Garuda Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, pada Selasa 13 Agustus 2024.
Padahal, mereka sudah memakai jilbab sejak SD (Sekolah Dasar) maupun SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Ini jelas salah satu cara merusak mental pelajar dan remaja. Sekaligus penghinaan terhadap umat Islam, karena jilbab itu perintah Allah Azza Wa Jalla di dalam Al-Qur'an surah Al Ahzab ayat 59, Al-A'raf ayat 26 dan An-Nur ayat 31. (*)