Setelah Mundur, Mahfud Harus Berani Sebut Dalang Pembunuh Laskar FPI

MAHFUD MD resmi pamit kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Ia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Menko Polhukam (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) yang telah diembannya sekitar 4,5 tahun.

Pengunduran diri itu dilakukan 14 hari menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden (Pemilu dan Pilpres) 2024 yang akan digelar Rabu, 14 Februari ini. Lawan Mahfud, khususnya pendukung Paslon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menyebut langkah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu sebagai manuver politik.

Pengunduran diri itu jelas merupakan langkah politik, selain merupakan upaya Mahfud menjaga etika dan moral, karena ia ikut bertarung mendampingi Capres Nomor Urut 03 Ganjar Pranowo. Semestinya, sejak awal ditetapkan jadi Cawapres oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) atau bahkan sebelum mendaftar, Mahfud sudah mengundurkan diri.

Tapi, karena aturan masih membolehkan tidak harus mundur – hanya cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara – maka Mahfud masih tetap bertahan. Sama halnya dengan Prabowo yang sampai sekarang masih Menteri Pertahanan. Juga, Gibran yang masih bertahan menjadi Walikota Solo, Jawa Tengah. Enak toh, kalau kalah bisa kembali ke posisi semula.

Mahfud sudah lama ingin mengundurkan diri, yaitu ketika akan mulai Debat Pertama Capres, 12 Desember 2023.

Salah satu alasan Mahfud mundur dari Menko Polhukam adalah agar bisa leluasa membuka data dan menyampaikan kritik kepada pemerintahan. Dengan tidak bergabung di pemerintahan Jokowi – Ma'ruf Amin, ia merasa lebih etis membuka data itu.

Toh tanpa mundur pun, Mahfud sudah membuka berbagai kebobrokan pemerintah dalam dua kali Debat Cawapres. Antara lain ia mengatakan pedang hukum tumpul, tidak ada investor yang masuk ke calon IKN (Ibu Kota Negara), di Kalimantan Timur, food estate gagal dan merusak lingkungan. Juga menyebutkan adanya beking aparat dan pejabat dalam pertambangan ilegal.

Kita patut mengacungkan jempol kepada Mahfud yang menunjukkan etika ketika mengundurkan diri. Dipanggil dan diangkat menjadi Menko Polhukam baik-baik, demikian juga pamit baik-baik. Padahal, banyak yang menilai Jokowi tidak beretika dalam Pilpres 2024 ini, karena sebagai presiden sudah terang-terangan mendukung salah satu pasangan.

Kita patut mengapresiasi Mahfud yang mengatakan lebih leluasa membuka data pemerintah setelah mundur. Lebih leluasa memiliki makna atau arti, masih banyak data kebobrokan Jokowi yang ada di kantong Mahfud. Sewaktu menjabat Menko Polhukam, mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu tentu mendapatkan laporan banyak hal tentang ketidakberesan yang terjadi, tidak hanya di kementerian atau lembaga di bawah koordinasinya, tetapi juga lainnya.

Dengan data yang ada di kantongnya, semua berharap putera Madura tersebut benar-benar mau mengritik pemerintahan Jokowi. Semua berharap supaya ia kembali ke jatidiri aslinya, yaitu seorang akademisi dan politisi yang bersuara lantang dan nyaring. Sebagai pendekar hukum, ia diharapkan keteguhannya dalam menjelaskan betapa pentingnya menghargai hak-hak rakyat yang tertindas.

Mahfud mengatakan, lebih etis membuka data setelah tidak bergabung dengan pemerintahan era Jokowi. Berarti juga, Mahfud merasa lebih etis 'memojokkan' Gibran seperti pada Debat Cawapres sebelumnya. Ia bisa membuka data itu pada saat kampanye, diskusi dan bahkan menggelar jumpa pers.

Nah, Profesor Mahmud, setidaknya ada lima data yang ditunggu-tunggu rakyat supaya bisa dibuka. Pertama, beranikah Anda membuka data siapa dalang pemenjaraan Habib Rizieq Syihab? Kedua, siapa dalang dan eksekutor pembantaian enam laskar FPI (Front Pembela Islam) yang kini menjadi Front Persaudaraan Islam?

Ketiga, siapa (perorangan, kelompok dan pengusaha) yang diperkaya karena Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)? Mengapa di saat rakyat dibuat susah ada yang memperkaya diri selama pandemi itu? Bahkan, ada dugaan korupsi setengah triliun lebih atau Rp 625 miliar yang sedang diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keempat, siapa yang membiayai buzzer dan siapa yang 'memeliharanya'. Sebab, bukan rahasia umum, mereka diduga 'dipelihara' institusi penegak hukum, dan diduga selain dibiayai pemerintah juga oleh kelompok oligarki.

Kelima, siapa yang memerintahkan penangkapan ulama, aktivis dan oposisi yang mengkritisi pemerintahan Jokowi? Walau mereka sudah menjalani hukuman lewat pengadilan, tetapi rakyat lebih percaya mereka ditangkap karena 'pesanan' penguasa.

Begitu saja Prof. Jika Anda berani mengungkapkannya, nama Anda semakin harum dan akan bisa mendongkrak elektabilitas capres nomor urut 03. Jika tidak berani, sebaliknya, turun atau stagnan. (*)