Mulyono, “Raja Jawa” Tukang Ngibul

MENGGANTI nama anak biasa dilakukan para orangtua dahulu sampai sekarang. Hal tersebut karena nama tidak cocok atau serasi, sehingga yang si empunya sering sakit.

Mengganti nama, bukan hanya berlaku dalam adat dan budaya Jawa. Tetapi, hampir merata di seluruh tanah air. Tidak usah berdebat apakah hal itu musyrik atau tidak. Itu sudah menjadi kelaziman. Berdasarkan pengalaman, setelah seseorang berganti nama, biasanya menjadi sehat dan banyak keajaiban yang diperoleh.

Barangkali, karena secara umum mengganti nama seseorang berhasil, menjadi serasi atau cocok, maka banyak orangtua yang melakukannya. Sampai sekarang pun mengganti nama seorang anak masih saja terjadi. Bahkan, mengganti nama orang yang sudah dewasa, karena faktor pindah agama, dan paling menjijikkan mengubah nama karena mengganti jenis kelamin tetap ada.

Begitu juga yang dialami Joko Widodo alias Jokowi. Belakangan, nama yang disematkan kepadanya sewaktu masih bayi ramai kembali diperbincangkan rakyat. Nama Mulyono yang kemudian diganti menjadi Joko Widodo. Diganti, karena ia sering sakit-sakitan.

Purnomo, paman Jokowi dari garis ayah membenarkan pergantian itu. "Iya, dulu nama Jokowi itu Mulyono. Karena saat balita (bawah umur lima tahun) sering sakit-sakitan, namanya diganti jadi Joko Widodo," ucap Purnomo kepada DetikX, pada Januari 2017.

Pengasuh Jokowi saat masih kecil, Mukiyem, berdasarkan arsip yang sama menerangkan makna nama 'Widodo", yang berarti sejahtera dan sehat selalu. "Saya pengasuh Jokowi sejak dia masih merangkak sampai TK (Taman Kanak-kanak)," ucap Mukiyem.

Dari makna Widodo, seperti dituturkan Mukiyem itu, jelas terpancar soal sejahtera dan sehat selalu. Paling tidak bagi diri Jokowi sendiri dan juga keluarganya.

Mestinya, makna nama Jokowi itu terpancar lebih luas kepada rakyat Indonesia. Sebab, ia menjadi presiden selama dua periode (10 tahun dan berakhir 20 Oktober 2024). Mestinya, pancaran nama itu memantul kepada rakyat Indonesia. Tapi, itu jauh dari harapan. Ibarat pepatah, "Jauh panggang dari api".

Sehat selalu juga masih dipertanyakan. Betul, Jokowi secara fisik terlihat sehat. Tapi, secara mental belum tentu, apalagi beberapa saat lagi akan segera lengser.

Rakyat pun dibuat tidak sehat oleh Jokowi. Politik pecah-belah dan adu-domba dilaksanakannya sejak berkuasa. Buzzer atau pendengung dipelihara. Akibatnya, tiap hari terjadi 'perang' medsos. Rakyat dibuat pusing sama Jokowi dan para buzzer. Sehingga tidak heran ada kalimat, "Rakyat pusing dan ribut karena Jokowi, tetapi ia tidak ambil pusing".

Yang sejahtera adalah Jokowi, keluarga, dan kroni-kroninya. Keluarganya sejahtera, baik secara politik dan ekonomi. Sebab, begitu mudahnya anak dan menantu menjadi walikota. Bahkan, sang anak, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wakil Presiden terpilih mendampingi Prabowo Subianto.

Kroni semakin sejahtera karena pembiaran KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang merajalela. Hal itu terjadi setelah Jokowi berhasil mengobrak-abrik KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga menjadi lemah dan bahkan lumpuh tak berdaya.

Jokowi yang semasa balita bernama Mulyono memang hebat dan kuat. Segala keinginannya hampir lolos. Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, Polri (Kepolisian Republik Indonesia), Kejaksaan Agung dan semua lembaga penegakan hukum bertekuk-lutut di hadapannya.

Demikian juga partai politik, berhasil diobok-obok, sehingga tidak berani lagi menjadi oposisi atau melakukan perlawanan. Itu tidak lain, karena Jokowi menyandera para ketua umunnya. Melawan, pasti disikat.

Ingat, Airlangga Hartarto yang hanya hitungan jam dipaksa mundur dari Ketua Umum Partai Golkar. Jika tidak mundur, sejumlah masalah yang dihadapi Airlangga, termasuk kasus minyak goreng yang menjeratnya akan dinaikkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan atau dari saksi menjadi tersangka.

Sejumlah petinggi parpol lainnya masih disandera Jokowi, termasuk di PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Padahal, partai berlambang kepala banteng ini yang membesarkannya, mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta sampai menjadi presiden dua periode.

Itulah hebatnya Jokowi. Sehingga berbagai sebutan pun dialamatkan kepadanya. Mulai dari sebutan raja bohong, raja utang, raja ngibul, dan lainnya. Tapi, sebutan negatif itu membuatnya tetap 'diam'. Hanya sesekali dia menjawab. Misalnya, sebutan Pak Lurah yang dia jawab, "Saya Presiden RI."

Belakangan, sebutan 'Raja Jawa' pun dilayangkan kepadanya. Itu terjadi setelah Bahlil Lahadalia mengingatkan agar berhati-hati terhadap Raja Jawa.

"Kita harus lebih paten lagi. Soalnya, Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini,” kata Bahlil, di depan para kader Partai Golkar saat Munas lalu, yang dihadiri Jokowi dan beberapa pimpinan parpol, di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.

Meski Bahlil tidak menunjuk langsung ke Jokowi, rakyat sudah paham siapa yang dimaksudnya itu. Sekarang, tidak ada lagi Raja Jawa yang berkuasa penuh. Tanpa menyebutkan nama, rakyat sudah tahu yang dimaksud Raja Jawa itu adalah Jokowi.

Tapi, dalam sejarah yang bisa dibaca, raja-raja di Jawa pada masa lalu bukan pembohong. Mereka itu juga tidak tunduk pada penjajah. Raja Jawa masa lalu melakukan perlawanan sengit terhadap penjajah Belanda yang menindas rakyat.

Berbeda dengan Raja Jawa yang dimaksud Bahlil. Sangat tunduk pada penjajah ekonomi asing dan aseng, terutama Republik Rakyat China. (*)