Hari Kebebasan Pers Dunia: Israel Matikan Siaran Al Jazeera dan 140 Wartawan
JARINGAN Televisi Al Jazeera tidak lagi mengudara di Israel pada Ahad, 5 Mei 2024 setelah Kabinet Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu memutuskan menangguhkan lembaga penyiaran tersebut.
Keputusan itu menyusul adanya undang-undang (UU), yang disebut sebagai "UU Al Jazeera", yang disahkan oleh Knesset Israel (parlemen Israel) yang mengizinkan penutupan lembaga penyiaran asing yang dianggap menimbulkan ancaman keamanan negara pada saat perang Hamas-Israel di Jalur Gaza berkecamuk.
"Pemerintahan saya memutuskan dengan suara bulat: saluran penghasut Al Jazeera akan ditutup di Israel," kata Netanyahu dalam unggahannya di akun X/Twitter.
Bersamaan dengan itu, sebuah kamar hotel di Yerussalem yang dijadikan sebagai kantor stasiun televisi milik Qatar ini digrebek aparat kepolisian negara Yahudi itu. Penggerebekan itu merupakan rangkaian penutupan operasional Al Jazeera oleh zionis karena dianggap mengancam keamanan nasional Israel.
Berdasar laporan media internasional, seperti Al Arabiya dan Reuters, Senin, 6 Mei 2024, sebuah video yang beredar secara online menunjukkan sejumlah personel kepolisian berpakaian preman membongkar peralatan kamera di dalam sebuah kamar hotel. Pihak Al Jazeera menyebutkan kamar yang digrebek itu berada di wilayah Yerusalem Timur.
Tindakan Israel tersebut sangat pengecut, biadab dan penakut. Zionis tidak mau perilaku tentaranya selama perang melawan Hamas sejak 7 Oktober 2023 lalu dilaporkan secara kasat mata dan apa adanya melakukan genosida, sehingga memicu kemarahan masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat (AS) yang menjadi sekutu utamanya.
Al Jazeera menjadi salah satu jaringan televisi dan media online yang setia dan berani menyiarkan berita perang Hamas-Israel secara kasat mata. Jaringan media tersebut juga menjadi salah satu sumber berita yang sering dikutip sejumlah media internasional, termasuk media di Indonesia karena keberanian dan kehebatan wartawannya melaporkan peristiwa dari kancah perang.
Dalam tanggapannya, pihak Al Jazeera menilai keputusan Israel itu sebagai "tindakan kriminal". Al Jazeera menegaskan, tuduhan Tel Aviv soal jaringan media mereka mengancam keamanan Israel adalah "sebuah kebohongan yang berbahaya dan konyol" yang menempatkan para jurnalisnya dalam bahaya. Al Jazeera menegaskan, pihaknya memiliki hak "mengupayakan setiap langkah hukum".
"Jaringan media Al Jazeera mengutuk keras dan mengecam tindakan kriminal yang melanggar hak asasi manusia dan hak dasar mengakses informasi. Al Jazeera menegaskan haknya untuk terus menyampaikan berita dan informasi kepada khalayak global," tegas Al Jazeera dalam pernyataannya.
Selama ini, Al Jazeera mengkritik keras operasi militer Israel di Jalur Gaza, yang juga menjadi lokasi media asal Qatar itu melaporkan perang yang berkecamuk. Tentara negara Yahudi itu melakukan tindakan brutal terhadap penduduk sipil di Jalur Gaza, Palestina, termasuk menembaki mereka yang sedang antre menunggu pembagian makanan di tempat pengungsian.
Sejak perang berkecamuk, militer Israel telah membunuh sedikitnya 34.596 warga Palestina, dan 70 persen di antaranya bayi, anak-anak, dan wanita.
Selain itu, lebih dari 77.816 orang terluka, sementara lebih dari 10.000 orang dikhawatirkan terkubur di bawah puing-puing bangunan yang dibom. Sedangkan di pihak Israel, sedikitnya 1.200 orang tewas dan 240 menjadi tawanan Hamas. Sebagian sandera sudah dibebaskan, dan tiga sandera mati karena ditembak sendiri oleh tentara Israel.
Israel bersikukuh ingin membebaskan warganya yang masih ditawan Hamas. Dengan alasan itulah sehingga membuat tentara zionis melakukan serangan membabi-buta, baik serangan udara maupun darat.
Rumah sakit, sekolah, masjid, gereja, tempat pengungsian dan tempat tinggal menjadi sasaran bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur Israel. Kemudian diikuti pengerahan pasukan darat dengan kekuatan penuh senjata tank dan peralatan perang lainnya.
Tindakan biadab dan membabi-buta Isael itu juga telah menyebabkan 140 wartawan tewas sejak 7 Oktober 2023. Itu artinya rata-rata 20 orang dalam sebulan atau 5 orang wartawan dalam sepekan gugur dalam liputan perang Hamas-Israel.
Menurut laporan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), lebih dari 140 wartawan telah terbunuh sejak Oktober 2023. CPJ atau Committee to Protect Journalists, sebuah badan global berfokus pada kebebasan pers di seluruh dunia mengatakan, jurnalis di Gaza menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka meliput konflik selama serangan Israel, termasuk serangan udara Israel yang menghancurkan.
Komite yang berkedudukan di New Nork City, AS itu Sabtu, 4 Mei 2024, mengatakan, mereka sedang menyelidiki semua laporan mengenai jurnalis dan pekerja media yang terbunuh, terluka, atau hilang dalam perang tersebut. Kematian wartawan dalam perang Gaza merupakan periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada 1992.
Berdasarkan data yang tercatat dalam CPJ pada 3 Mei 2024, terdapat 97 jurnalis dan pekerja media dipastikan telah tewas dengan rincian 92 orang Palestina, dua orang Israel, dan tiga orang Lebanon. Sedangkan 16 jurnalis dilaporkan terluka, 4 jurnalis dilaporkan hilang, dan 25 jurnalis dilaporkan ditangkap.
Kekerasan terhadap wartawan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap konflik. Tetapi, seperti disebutkan CPJ, kekerasan dalam perang Hamas-Israel merupakan periode yang sangat mematikan bagi wartawan. Bisa disebut juga sebagai periode yang sangat biadab, mengerikan dan memilukan.
Kebrutalan Pasukan Pertahanan Israel atau IDF (Israel Defense Forces) terhadap penduduk sipil Palestina sangat jelas dan sering terlihat, baik di media arus utama (mainstream), terlebih lagi di media sosial (medsos). Perempuan dtangkap, ditendang, dipukul. Demikian juga anak-anak remaja yang terlihat diseret karena tidak mau berpisah dengan keluarganya.
Ikhwal kekerasan terhadap wartawan pun sudah diwanti-wanti IDF. Kepada kantor berita Reuters dan Agence France Press pada Oktober 2023, mereka tidak bisa menjamin keselamatan wartawan yang beroperasi di Jalur Gaza. Jurnalis di Gaza menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka mencoba meliput konflik selama serangan darat Israel, termasuk serangan udara Israel yang sangat menghancurkan, gangguan komunikasi, kekurangan pasokan, dan pemadaman listrik yang ekstensif.
Perang di Gaza menjadi konflik paling mematikan bagi wartawan, dan kebebasan pers selama setahun terakhir disoroti. Kematian 140 wartawan dalam perang Gaza menjadi peristiwa yang sangat pilu yang dialami ketika tiap tahun pada 3 Mei, UNESCO atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Badan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia. (*)