Teror Densus 88 ke Kejagung Ibarat Buaya Lawan Buaya
AHAD, 19 Mei 2024 malam, anggota polisi dari satuan Densus 88 atau Detasemen Khusus Antiteror diduga menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaaan Agung (Jampidsus Kejagung) Febrie Adriansyah yang sedang makan malam di salah satu restoran di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.
Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 20.00 sampai 21.00 itu hampir lolos dari pemberitaan media. Empat hari berita tersebut 'mengendap' andaikan dua orang yang mengetahui peristiwa tersebut tidak berani menceritakannya kepada wartawan.
Tempo.co memberitakan, dua anggota Densus 88 tertangkap basah saat memantau makan malam Febrie. Kemudian satu orang berhasil dibekuk anggota Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (PM TNI) yang mengawal Febri. Satu orang lagi berhasil meloloskan diri.
Belakangan ia dikawal PM atas bantuan pengamanan dari Jaksa Agung Muda Bidang Militer karena Jampidsus sedang menangani kasus korupsi besar, seperti kasus tambang timah. Terlebih lagi setelah penyidik Kejagung mendapatkan intimidasi ketika melakukan penggeledahan di Bangka Belitung.
Hingga kini, teror yang diduga dilakukan Densus 88 tidak jelas ujungnya. Tidak ada keterangan resmi yang datang dari Kejagung maupun Mabes Polri yang membawahi Datasemen Antiteror itu. Kedua institusi tersebut saling menutup diri.
Padahal, setiap kejadian penangkapan teroris, Divisi Humas Mabes Polri pasti mengeluarkan keterangan pers. Demikian juga Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, selalu menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait temuannya.
Pertanyaannya, jika betul anggota Densus 88 menguntit pejabat Eselon I Kejagung, tujuannya apa? Diperintah siapa? Apakah Kejagung, khususnya Febri yang sedang menangani kasus korupsi kakap Rp 271 triliun adalah seorang teroris?
Kasus PT Timah Tbk. sedang digarap Kejagung. Isu yang beredar, kasus tersebut diduga dibekingi perwira polisi bintang empat. Menurut isu yang beredar, perwira tinggi itu sudah purnawirawan, tapi masih sangat berpengaruh di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Langkah yang dilakukan anggota Densus 88 itu salah total, meskipun ada perintah dari atasan atau dari institusi tertentu. Salah karena Polisi Antiteror kok meneror penegak hukum. Perangai anggota Densus 88 jelas memperburuk tambah citra institusi yang cukup berhasil dalam menangani teroris di Indonesia (?)
Kabarnya, selain dua orang yang minta ruang khusus bisa merokok di restoran tersebut, masih ada beberapa orang lain lagi yang dicurigai menyebar di tempat Febrie makan malam. Benar-benar ini sangat mengerikan! Seorang pejabat negara penegak hukum menjadi sasaran teror.
Ada apa dengan Densus 88? Jika benar ada kaitan dengan penanganan kasus-kasus korupsi besar oleh Kejagung, kenapa melibatkan anggota Densus 88? Apakah ada pejabat atau anggotanya yang sudah ditersangkakan dan ditahan penyidik Kejagung?
Sejauh yang bisa dibaca di media arus utama (mainstream) belum ada. Baru isu-isu liar di media sosial yang menyebut dugaan beking dari perwira tinggi bintang empat Polri (itu pun sudah pensiun sebagai polisi).
Masyarakat menunggu keterangan resmi dari dua institusi penegak hukum di Negara Pancasila yang sama-sama kita cintai ini.
Teror seperti itu sangat mengerikan dan menakutkan. Jika sesama penegak hukum, bahkan pejabat tingginya saja diteror, bagaimana dengan rakyatnya yang sudah lama dan sering diteror, terutama ketika berurusan dengan penggusuran tanah.
Nah, polisi meneror sesama penegak hukum bukan yang pertama terjadi. Masih ingat kasus Cicak versus Buaya? Ingat gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dikepung oleh aparat kepolisian?
Barangkali kasus Densus 88 versus Kejagung mirip. Hanya saja sama-sama besar. Sehingga lebih pantas disebut Buaya versus Buaya! (*)