Janji Bohong dan Bualan Gibran Tentang Dana Pesantren

GIBRAN Rakabuming Raka seakan menjadi bayi yang baru lahir di kalangan pendukungnya. Dia disanjung, dipuja-puji dan "digendong" persis seperti bayi baru lahir. Jika perlu 'diceboki".

Anak Presiden Joko Widodo itu pun seakan larut dalam puja-puji. Supaya terus dipuja, janji-janji manis pun sudah mulai bertebaran dari mulutnya.

Baru sebagai bakal calon presiden, Gibran sudah mengobral janji. Tidak peduli janji itu bohong atau tidak. Yang penting, dengan janji itu pujian makin selangit, terutama dari partai pendukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran.

Gibran menyebutkan beberapa progran unggulan jika terpilih. Meliputi dana abadi pesantren, kredit start-up milenial, Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk lansia, dan kartu anak sehat untuk pencegahan stunting atau anak kerdil (kurus) karena kekurangan gizi.

Tidak ayal lagi, program unggulan yang disampaikan tukang martabak melalui Markobar - sering dipelesetkan menjadi Mari Korupsi Bareng - itu menjadi cemoohan. Apalagi, setelah Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto mengatakan semua program yang disebut Gibran itu, terutama dana abadi pesantren sudah ada dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Dana abadi pesantren dikelola Kementerian Agama . Dana tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari dana abadi pendidikan yang saat ini berjumlah Rp 106,1 triliun.

Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Agama, anggaran sebesar Rp 250 miliar digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pesantren pada 2023. Anggaran tersebut disiapkan melalui skema dana abadi pesantren yang bersumber dari dana abadi pendidikan.

Lalu mengapa Gibran menyebutkan dana abadi pesantren menjadi program unggulannya? Padahal, sudah ada dalam APBN.

Ya, namanya juga anak Jokowi, ya pastilah mengikuti bapaknya yang sering mengeluarkan kebohongan, termasuk janji kampanye yang tidak ditepatinya. Anda masih ingat janji Jokowi yang tidak akan utang atau menambah pinjaman luar negeri, pertumbuhan ekonomi tujuh persen, tidak menempatkan partai dalam kabinet dan sederet lainnya. Tak satu pun dari tiga janji itu ditepatinya.

Bahkan, utang luar negeri semakin menggunung, APBN digunakan membiayai pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Padahal, awalnya dia janjikan tidak. Demikian juga pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang pada akhirnya menggunakan uang rakyat (APBN) Rp 7, 3 triliun.

Gibran mencoba mengadopsi berbagai kebohongan Jokowi. Ibarat kata pepatah, "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Itu jugalah yang sedang dilakoni Gibran.

Dana abadi pesantren menjadi titik perhatiannya. Kenapa? Karena Gibran dan Prabowo ingin mendulang suara dari pesantren yang notabene umumnya dilelola kalangan nahdhiyin.

Ia ingin merebut simpati kalangan nahdiyin yang banyak tersebar di seluruh pelosok tanah air, khususnya di Pulau Jawa, lebih khusus lagi di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Akan tetapi, dia lupa dan tidak sadar, pengelola pesantren tidak mudah diiming-imingi. Kalangan pesantren, apalagi yang berbasis modern, tak mudah lagi dibuai janji. Bahkan, sudah banyak pesantren modern maupun tradisional yang berani menolak bantuan pemerintah, apalagi bantuan berbau kampange Pileg dan Pilpres.

Gibran. Anak ingusan yang awalnya mengatakan tidak tertarik politik, akhirnya jatuh ke kubangan politik. Gibran bisa menjadi Wali Kota Solo, karena mendapatkan berkah dari Jokowi, sang Bapak yang kini masih presiden.

Andaikan Gibran bukan anak presiden, dia pasti akan tetap menekuni bisnis martabak dan lainnya. Karena anak presiden, maka para ketua umum partai pendukungnya yang sudah berusia senja harus membungkukkan badan kepada pria berusia 36 tahun itu.

Ya, karena Gibran anak presiden, maka bantuan pembangunan pusat pun bertubi-tubi dialirkan ke Solo, agar citranya berhasil sebagai wali kotanya. Tidak hanya itu, para menteri Jokowi pun silih-berganti mengunjunginya atau sowan ke Solo.

Aneh, karena selama ini tidak pernah seperti itu, . Bahkan, selama Presiden Soeharto berkuasa 32 tahun. Padahal, istrinya Siti Hartinah atau Ibu Tien Soeharto berasal dari Surakarta yang masuk dalam Solo Raya. *