Dipecat, Jokowi dan PDIP Sama-sama Perusak Demokrasi
JOKO Widodo alias Jokowi dipecat dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Alasannya, karena selama 10 tahun alias 2 periode menjadi presiden, ia menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi MK (Mahkamah Konstitusi) yang menjadi awal rusaknya sistem demokrasi, sistem hukum, dan sistem moral-etika kehidupan berbangsa dan bernegara, dan merupakan pelanggaran etik dan disiplin partai, dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
Surat keputusan pemecatan Jokowi itu ditandatangani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristianto pada tanggal 4 Desember dan baru diumumkan Senin, 16 Desember 2024.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP juga memecat anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution.
Pemecatan itu disampaikan Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP Komarudin Watubun. Bersama keluarga Solo itu, turut dipecat 24 orang lainnya. Total, 27 orang karena pelanggaran terkait dengan pemilihan umum presiden (Pilpres) dan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).
Beragam alasan sehingga kader tersebut dipecat. Tapi, umumnya dipecat karena tidak mendukung calon yang telah diusung partai, atau maju dari partai lain. Gibran Rakabuming Raka maju menjadi Calon Wakil Presiden yang diusung gabungan partai dalam Koalisi Indonesia Maju. Demikian juga Boby Nasution yang maju dan terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Jokowi dipecat! Hal itu bukan berita yang sangat menarik lagi. Lain halnya jika ia dipecat saat masih berkuasa.
Mengapa baru sekarang Jokowi dipecat? Alasannya, kata Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, karena partai tersebut masih mempunyai nilai etik dan moralitas menjaga martabat Jokowi sebagai presiden yang harus dihormati semasa menjabat.
Menjaga etika dan moralitas? Apa ia Jokowi yang juga sempat disebut petinggi partai berlambang kepala banteng hitam bermoncong putih sebagai pengkhianat masih perlu dijaga kehormatannya?
Apakah orang yang disebut BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) sebagai The King of Lip Service ini masih perlu dijaga etika dan moralnya?
Sederet sebutan telah disematkan kepada Jokowi selama 10 tahun berkuasa. Perusak demokrasi, konstitusi, pembohong, pengkhianat, dan pengokoh politik dinasti adalah beberapa sebutan yang dialamatkan kepadanya. Bahkan, alumni UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta menggelarinya dengan tulisan, "Alumnus UGM Paling Memalukan".
Mengapa PDIP lambat mengeluarkan pemecatan terhadap Jokowi? Padahal, pengkhianatan yang dilakukannya sudah lama dirasakan rakyat. Sejak periode pertama (2014-2019) berkuasa, dia sudah melabrak berbagai undang-undang, sehingga membuat kegaduhan.
Dan, pada periode kedua (2019-2024) semakin menjadi-jadi, karena merasa PDIP mendukungnya secara all out atau habis-habisan.
Awalnya, antara Jokowi dan PDIP itu, 'Setali tiga uang'. Ya, sama saja, tidak ada bedanya dan mirip, karena sama-sama mabuk kemenangan dan kekuasaan.
Keduanya juga seiring sejalan dalam merusak demokrasi, hukum, serta kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Tidak percaya? Coba dibuka berapa banyak orang PDIP yang melaporkan aktivis dan ulama ke polisi. Ulama yang berseberangan dengan Jokowi dan PDIP dihajar habis-habisan hingga masuk penjara.
Demikian juga sejumlah aktivis prodemokrasi. Tidak hanya itu HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam) dibubarkan tanpa proses peringatan apalagi pengadilan. Mari kita ingat-ingat berapa partai yang diacak-acak. Partai Demokrat mau dibegal Moeldoko diduga atas restu Jokowi.
Siapa yang melakukan itu? Ya, Jokowi yang masih kader PDIP. Makanya, tidak heran PDIP terlibat dalam berbagai perusakan hukum, demokrasi, kebebesan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Hukum dirusak. Contoh nyata, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mereka lemahkan. Akibatnya, Harun Masiku pun sampai sekarang belum tertangkap. Ada beberapa kasus korupsi yang diduga melibatkan pengurus, kader dan anggota legislatif dari PDIP yang tidak tersentuh.
Contohnya, dalam kasus korupsi yang melibatkan Juliari Peter Batubara yang ditetapkan sebagai tersangka saat menjabat Menteri Sosial. Kasusnya merupakan pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19 (Coronavirus Disease 2019).
Juliari yang saat ditangkap adalah Wakil Bendahara Umum PDIP dan kemudian divonis 12 tahun penjara.
Kalau mau contoh dugaan persekongkolan Jokowi dan PDIP banyak. Tetapi, PDIP marah setelah Jokowi meninggalkan mereka tanpa pamit dan ucapan terima kasih.
Beruntung Jokowi dan PDIP cepat berpisah. Jika masih seiring sejalan, kehidupan berbangsa dan bernegara bisa semakin rusak. Demokrasi kemungkinan hanya tinggal sebagai sebuah kata. (*)