Jadi Presiden, Prabowo Langsung Buka Kebobrokan Jokowi
AHAD, 20 Oktober 2024 kemarin, Prabowo Subianto sudah resmi menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia. Ia dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka mengucapkan sumpah jabatan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, di Gedung Nusantara (gedung kura-kura), Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Sebanyak 709 dari total 732 anggota MPR RI menyaksikan prosesi pengucapan sumpah jabatan itu. Sidang paripurna juga dihadiri para tokoh nasional, pimpinan partai politik, dan perwakilan negara sahabat.
Berdasarkan keterangan Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal MPR, Siti Fauziah, sekitar 1.100 orang berada di ruang sidang paripurna.
Tidak ketinggalan, puluhan juta rakyat Indonesia menyaksikan prosesi pengambilan sumpah jabatan itu melalui siaran televisi.
Setelah menjadi presiden, Prabowo menyampaikan pidato perdana. Sebagai seorang purnawirawan militer, ia berpidato dengan penuh semangat.
Ada harapan besar yang disampaikannya terhadap Indonesia ke depan. Dalam mewujudkan cita-cita besar bangsa Indonesia, diperlukan suasana kebersamaan dan persatuan di tengah pemimpin dan masyarakat Indonesia.
"Di tengah cita-cita yang begitu besar, yang begitu kita idam-idamkan, kita perlu suasana kebersamaan, kita perlu suasana persatuan, kita perlu kolaborasi, kerja-sama, bukan cekcok berkepanjangan," kata Prabowo dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MPR Ahmad Muzani itu.
Kita perlu menggarisbawahi kalimat di atas, terutama kalimat, "bukan cekcok yang berkepanjangan". Kebersamaan dalam membangun bangsa sangat dibutuhkan. Semangat gotong-royong harus terus ditingkatkan. Gotong-royong dalam arti positif, bukan tolong-menolong menyolong uang rakyat alias korupsi.
Kebersamaan, terutama harus dicontohkan para pemimpinnya, mulai dari presiden dan wakilnya, para ketua lembaga tinggi negara, anggota MPR/DPR, para gubernur, bupati, walikota sampai ke lapisan paling bawah. Juga kebersamaan yang dicontohkan para tokoh agama, tokoh nasional dan pimpinan/tokoh partai politik.
Tidak ketinggalan kebersamaan itu harus ditunjukkan aparat penegak hukum dalam melaksanakan hukum yang berkeadilan. Dalam hal ini, jangan sampai ada penegakan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.
Jangan sampai pengalaman 10 tahun pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi terulang kembali. Yaitu, laporan yang disampaikan buzzer (pendengung) dan pendukungnya langsung ditindaklanjuti, bahkan ada yang dijemput paksa di tengah malam. Sedangkan laporan yang disampaikan kaum pengkritisi dan oposisi banyak yang terpental alias tidak ditanggapi atau ditolak dengan berbagai alasan.
Prabowo kini sudah menjadi presiden. Semua harus mengakuinya, kecuali dia bukan rakyat Indonesia dan tidak mengerti demokrasi. Soal dugaan hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) curang dan wakilnya lahir dari "kecacatan" konstitusi dan demokrasi, kita abaikan dan tinggalkan terlebih dahulu.
Ketika periode kedua Jikowi jadi presiden, Probowo menjadi Menteri Pertahanan. Meski tidak bisa berkata apalagi berbuat atas ketimpangan penegakan hukum yang berkeadilan terjadi, tetapi kita yakin nuraninya membaca itu semua. Kita percaya, dalam pikirannya ingin menegakkan hukum yang berkeadilan, karena ia sendiri sempat menjadi korbannya.
"..... bukan cekcok yang berkepanjangan". Penggalan kalimat tersebut mengisyaratkan, keadaan itulah yang terjadi selama 10 tahun Jokowi memimpin. Bahkan, fakta sejarah yang dapat kita baca, percekcokan itu terjadi sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Mereka cekcok dengan rakyatnya sendiri, terutama dengan para ulama, dan tokoh-tokoh nasional yang kritis.
Tetapi, percekcokan itu sangat terasa selama 10 tahun Jokowi, terutama akibat cawe-cawenya di berbagai bidang. Borok Jokowi yang paling dalam dan senantiasa diingat adalah percekcokan yang dalam di tengah masyarakat.
Tiada hari tanpa aksi demonstrasi atau unjuk rasa. Juga, tiada hari tanpa caci-maki. Di media sosial (medsos) kita tonton dan baca "perang" antara kubu Jokowi dengan oposisi dan rakyat biasa. Hal itu terjadi karena tidak ada wibawa pemimpin.
Paling pasti, hal itu terjadi karena pemerintah memelihara buzzer atau pendengung yang selalu saja berisik. Mereka diduga dilindungi oleh rezim dan aparat penegak hukum, serta dibayar dalam jumlah besar.
Buktinya dilindungi, kenapa Deny Siregar aman saja, padahal sudah dilaporkan berkali-kali. Kenapa Abu Janda masih aman berkoar-koar, dan terakhir membela Israel pada saat sebagian besar rakyat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia, termasuk Amerika Serikat dan Eropa membela Palestina. Bahkan, terakhir pun ia masih menghina Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi hanya karena tidak diangkat lagi oleh Prabowo.
Banyak pendengung dan pendukung Jokowi yang menggunakan nama samaran di medsos. Aparat penegak hukum, terutama kepolisian sebenarnya mudah mendeteksinya. Tapi, tidak melakukannya, karena semuanya diduga dilindungi dan pendengung buatan orang dalam lingkaran penegak hukum sendiri.
Secara samar rakyat merasakan itu, meski tidak bisa dilihat secara kasat mata. Ibarat pepatah, "Tak dilihat mata, tapi dilihat/dirasakan hati".
Jika Prabowo ingin suasana sejuk dan tidak terjadi percekcokan yang semakin dalam, maka ia harus merangkul semua pihak, terutama merangkul lawan-lawan politiknya, meski tidak mudah dilakukan.
Selain itu, Prabowo harus tegas dalam menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentu tidak ketinggalan menghilangkan buzzer yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Sudahilah sikap arogan kepada rakyat, kepada tokoh-tokoh pengkritisi, terutama menzalimi para ulama. Sudahi juga ketidaksukaan terhadap pers yang tiap hari akan memberitakan ketidakberesan dalam pengelolaan negara. (*)