Jokowi, Kacang Lupa Akan Kulitnya

PEPATAH, "Kacang lupa akan kulitnya", sangat pantas disandangkan kepada Joko Widodo alias Jokowi. Artinya, dia adalah orang yang tidak tahu diri dan tidak berterimakasih kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang telah melahirkan, merawat dan membesarkannya hingga menjadi presiden.

Tidak tahu diri! Saat partai yang dipimpin Megawati itu merayakan ulang tahun ke-51, ia tidak hadir. Lebih memilih berkunjung ke luar negeri, ke Filipina dan kemudian dilanjutkan ke Vietnam. Seingat kami, sejak menjadi presiden, baru kali ini Jokowi absen dalam perayaan partai berlambang banteng moncong putih dan mata merah itu.

Ada apa sampai tidak menghadiri perayaannya? Okelah, karena tugas negara. Tetapi, berdasarkan keterangan dari petinggi PDIP, kok menyampaikan ucapan selamat saja tidak.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mempertanyakannya, apakah kebetulan atau tidak. Pihak Istana Kepresidenan diminta menjawab hal tersebut.

"Ya, Pak Presiden Jokowi sejak awal kan menyatakan ada tugas ke luar negeri, ya itu yang dihormati PDI Perjuangan," kata Hasto saat perayaan HUT PDIP, di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu, 10 Januari 2024.

"Apakah itu kebetulan atau tidak (ke luar negeri pada saat HUT PDIP)? Ya, Istana yang menjawab," ucapnya.

Ketidakhadiran Jokowi itu merupakan puncak ketegangannya dengan partai yang telah berjasa membesarkannya. Tidak hadir menjadi pertanda jelas dan tegas dia sudah berpisah total, alias 'talak tiga'.

PDIP adalah partai yang membesarkan Jokowi mulai menjadi Walikota Solo dua periode, menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang dia tinggalkan karena menjadi Calon Presiden (Capres) 2014. Ia meninggalkan DKI-1 memasuki tahun kedua menjabat.

Dia menjadi capres yang diusung PDIP dua kali, 2014 dan 2019. Sayangnya, Ketua Umum PDIP, Megawati menyebutnya sebagai petugas partai. Bahkan, Jokowi disebut kerempeng.

"Sekarang saya kasih si kerempeng (Jokowi), tapi dia bertenaga banteng," ujar Mega dalam orasi di depan ribuan massa pendukung partai tersebut, di Gedung Olah Raga (GOR) Pancasila, Surabaya, Jawa Timur, Senin, 17 Maret 2014.

Pernyataan tentang petugas partai sering dikemukakan dalam acara resmi. Padahal, ucapan itu dihadiri Iriana, istri Jokowi. Karena sebutan tersebut, masyarakat pun ikut mengolok-oloknya.

Sebutan petugas partai dan kerempeng ditengarai menjadi bibit awal perpecahan, karena kabarnya Iriana tidak suka suaminya dipermalukan seperti itu. Kemudian memuncak, ketika PDIP jelas dan tegas menolak usulan perpanjangan masa jabatan Jokowi menjadi tiga periode.

Usulan menambah masa jabatan presiden tiga periode itu bukan isapan jempol. Jokowi pun dikabarkan sudah mendapatkan restu, meski selalu menjawab tidak berkeinginan perpanjangan tersebut.

Semua sudah tahu, jika ia mengatakan ke atas itu berarti ke bawah. Contoh, tidak mau anak dan menantu digadang-gadang jadi walikota, ternyata direstuinya. Tidak mau Gibran diusulkan menjadi cawapres karena usia, nyatanya direstui setelah iparnya, Anwar Usman, merusak konstitusi, yang diberhentikan dari Ketua Mahkamah Konstitusi karena melanggar “etika berat”.

Perseteruan antara PDIP dan Jokowi semakin panas, ketika Gibran Rakabuming Raka dipanggil pengurus partai tersebut. Ya, lagi-lagi Iriana dikabarkan tidak suka anaknya diperlakukan seperti itu. Puncak perseteruan itu, saat Gibran menjadi cawapres mendampingi Prabowo yang sudah tiga kali kalah dalam pemilihan presiden (Pilpres).

PDIP marah, karena anak ingusan yang juga dibesarkannya itu pergi tanpa pamit ke sang Ketua Umum.

Padahal, ketika akan menjadi calon Walikota Solo, Gibran menghadap dan mendapat restu dari Megawati. Sama seperti halnya Jokowi. Demikian juga menantunya, Bobby Nasution yang juga menjadi Walikota Medan.

Akan tetapi, Gibran tidak lagi sowan ke Megawati saat mau menjadi cawapres. Jokowi pun dicap sebagai pengkhianat. Gibran disebut pembangkang. (*)