Ini Respons Malaysia usai WTO Tolak Gugatan soal Kampanye Anti Kelapa Sawit Uni Eropa

Jakarta, FreedomNews - Malaysia menanggapi keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menolak gugatan atas kebijakan Uni Eropa bahwa biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak dapat dianggap sebagai bahan bakar nabati terbarukan. Melansir Reuters, Kamis, 7 Maret 2024, WTO menolak gugatan Malaysia terkait keputusan Uni Eropa bahwa bahan bakar nabati yang menyebabkan deforestasi tidak dapat dianggap sebagai energi terbarukan. Namun, WTO juga menuntut perubahan-perubahan dalam cara UE mengimplementasikan keputusan tersebut.

Putusan WTO ini merupakan yang pertama terkait deforestasi. Keputusan menolak gugatan ini diambil setelah panel yang beranggotakan tiga orang memberikan suara dua lawan satu untuk menolak klaim substantif Malaysia. WTO meminta Uni Eropa melakukan penyesuaian, namun tidak perlu menarik tindakannya setelah putusan pertama WTO terkait perlakuan yang berbeda terhadap produk sesuai dengan risiko emisi gas rumah kaca.

Menanggapi keputusan ini, Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani mengatakan bahwa pemerintah Malaysia akan memantau setiap perubahan pada peraturan Uni Eropa untuk menyesuaikannya dengan temuan WTO dan melakukan proses kepatuhan jika diperlukan. Malaysia menganggap kebijakan energi terbarukan UE tersebut sebagai tindakan diskriminatif. Malaysia meminta WTO pada 2021 untuk memeriksa peraturan yang membatasi penggunaan bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit di negara tersebut.

Johari menuturkan bahwa laporan WTO menemukan kesalahan dalam peraturan Uni Eropa mengenai perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung yang melarang penggunaan bahan bakar nabati dari kelapa sawit. Selain itu, UE juga bersalah karena pendekatan aturan tersebut tidak berkonsultasi dengan negara-negara lain. "Keputusan WTO ini menunjukkan bahwa klaim diskriminasi Malaysia memang benar adanya," ujarnya seperti dikutip Reuters.

Johari menambahkan bahwa pemerintah akan terus membela kepentingan para pelaku industri bahan bakar nabati kelapa sawit dari berbagai hambatan perdagangan. Untuk diketahui, perselisihan ini berpusat pada peraturan Uni Eropa yang menetapkan target 10% bahan bakar transportasi dari sumber-sumber terbarukan. Bahan bakar nabati yang berbasis tanaman dapat dianggap terbarukan jika memenuhi kriteria berkelanjutan.

Namun, Uni Eropa mengecualikan tanaman yang ditanam di lahan deforestasi atau di mana ada risiko tinggi tanaman tersebut menggantikan tanaman pangan, yang kemudian ditanam di lahan yang telah dibersihkan. UE kemudian menetapkan bahwa bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit harus dihapuskan sebagai bahan bakar terbarukan pada 2030. Sementara itu, tanaman yang ditanam di wilayah Uni Eropa, seperti bunga matahari atau rapa tidak perlu dihentikan.

Adapun, Malaysia dan Indonesia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang menyumbang 86% dari ekspor global, juga menggugat Uni Eropa di WTO. Panel WTO kemudian juga melakukan hal yang sama untuk kedua kasus tersebut, dan diperkirakan mengeluarkan keputusan bersama pada Selasa, 5 Maret 2024. Namun, Indonesia meminta penangguhan kerja panel tersebut pada Senin, 4 Maret 2024. Pihak-pihak yang bersengketa di WTO biasanya mengetahui hasil panel sebelum dipublikasikan.(dtf/ekon/inter)