Investasi Qurban

Ada gula, ada semut. Begitulah hukum investasi. Di mana ada prospek bagus, di situlah modal mengalir. Begitu pun yang terjadi di Peternakan Wedhus Lemu, yang dirintis Lazismu Grobogan.

Oleh: Joko Intarto, Pengurus Waqafmu PP Muhammadiyah

‘’Selesai salat Idul Adha saya telepon ya Pak. Mau konsultasi karena ada beberapa orang mau berinvestasi di Peternakan Wedhus Lemu,’’ kata Andi Waluyo, Manager Lazismu Grobogan, Rabu pagi.

Saya lihat jam di layar handphone. Jadwal salat masih satu jam lagi. Masih cukup untuk diskusi 30 menit. ‘’Sekarang saja,’’ jawab saya. Kata Andi, Peternakan Wedhus Lemu sekarang semakin dikenal. Perkembangannya yang pesat dalam usia dua tahun mendorong beberapa pemilik modal menyatakan niatnya untuk berinvestasi. ‘’Kami belum bisa menjawab: Boleh apa tidaknya. Sementara saya jawab akan kami bahas lebih dulu dengan para pengurus,’’ lanjut Andi.

Kemungkinan bakal masuknya investor, sebenarnya sudah saya perkirakan sejak awal. Tawaran modal pasti akan datang setelah peternakan bisa membuktikan dirinya sanggup mengembangkan usahanya.

Pertanyaannya, benarkah Peternakan Wedhus Lemu memerlukan investor? Bagaimana pola imbal hasil bagi investor? Apakah masuknya investor akan berdampak positif bagi peternak?

Tujuan Peternakan Wedhus Lemu sejak awal adalah untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa yang berstatus dhuafa melalui usaha penggemukan kambing dan domba qurban. Kendala utama yang dihadapi warga desa maupun Lazismu Grobogan selama ini adalah keterbatasan modal: Biaya investasi, biaya pokok dan operasional.

Biaya investasi digunakan untuk mengadakan lahan, kendang dan fasilitas dasarnya. Biaya pokok diperlukan untuk membeli bibit, pakan, obat-obatan, perawatan dan honor tenaga kerja. Biaya operasional untuk memenuhi kebutuhan promosi, pemasaran dan administrasi.

Dengan system ‘’pre-order’’ lunas H-150, masalah modal kerja (biaya pokok dan operasional) sudah teratasi. Biaya bibit, pakan, obat-obatan, perawatan dan honor tenaga kerja sudah ditanggung sohibul qurban 150 hari sebelum Idul Adha. Biaya tersebut sudah termasuk keuntungan yang lumayan bagi peternak.

Sedangkan biaya untuk mengadakan kandang dan fasilitasnya diperoleh dari infak para donatur yang digalang Lazismu. ‘’Logikanya, Peternakan Wedhus Lemu tidak membutuhkan investor baru. Satu-satunya investor untuk Peternakan Wedhus Lemu adalah para sohibul qurban, melalui proses bisnis biasa dengan cara membayar lunas kambing atau domba 150 hari sebelum Idul Adha,’’ jawab saya.

Konsep Peternakan Wedhus Lemu adalah memutus ‘’jasa perantara’’ menjadi hubungan langsung antara sohibul qurban selaku pembeli dengan peternak sebagai penjual. Keterlibatan Lazismu dalam proses bisnis peternakan ini semata-mata sebagai penjamin agar transaksi antara pembeli dengan penjual berlangsung aman, sekaligus memastikan pelaksanaan qurban berjalan dengan baik.

Kedudukan Lazismu adalah operator qurban. Bukan broker alias makelar hewan qurban. Harga kambing atau domba yang ditawarkan Lazismu akan diterima penuh para peternak. Tidak ada keuntungan dalam hubungan ini, karena Lazismu merupakan lembaga amil zakat, bukan lembaga bisnis. Kelak, peternak akan berinfak melalui Lazismu untuk membiayai pemotongan ternak qurban dan mendistribusikan dagingnya kepada para penerima yang tersebar di berbagai pelosok hutan.

Maka, masuknya investor dalam Peternakan Wedhus Lemu akan mengubah konsep pemberdayaan. Keuntungan 100% yang selama ini dinikmati peternak, akan berkurang karena harus berbagi dengan para investor. ‘’Peternakan Wedhus Lemu, tidak perlu mengundang investor. Satu-satunya investornya adalah para sohibul qurban itu,’’ jelas saya.

Meski demikian, usaha peternakan kambing atau domba bisa saja dikelola bersama investor, kalau tujuannya 100 persen bisnis. Misalnya, peternakan kambing atau domba yang ditujukan untuk menyediakan ternak untuk rumah makan atau perusahaan catering. Namun, operator yang tepat bukan Lazismu melainkan Wakafmu.

Wakafmu adalah brand baru lembaga wakaf yang resminya bernama Majelis Pendayagunaan Wakaf Muhammadiyah. Wakafmu dibentuk untuk mengembangkan aset wakaf milik Muhammadiyah yang begitu banyak. Aset lahan saja, Muhammadiyah memiliki lahan seluas 20 juta meter persegi. Sebagian besar berstatus ‘’tidur’’.

Wakafmu bertugas menjalin kerjasama dengan sebanyak mungkin investor untuk membangun bermacam-macam bisnis di atas lahan tersebut. Boleh untuk rumah makan, kos-kosan, ruko, hotel, sekolah, klinik, rumah sakit, makam, peternakan, pertanian, perkebunan, perikanan dan pabrik. Yang penting produktif dan jenis usahanya halal.

Kelak, kalau usahanya sudah berhasil, Wakafmu akan menyalurkan keuntungannya melalui Lazismu untuk diteruskan kepada maukuf alaih yang sesuai dengan asnaf penerima zakat, infak dan sedekah. Begitulah instrumen keuangan syariah zakat, infak, sedekah dan wakaf menggerakkan ekonomi. Yang besar tidak dikecilkan, tetapi diajak membesarkan yang kecil.(*)