Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Hari Ini, Pantau Data Inflasi
Jakarta, FreedomNews - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diramalkan melanjutkan pelemahan terbatas pada Jumat (1/12/2023) karena keperkasaan dolar AS. Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menuturkan bahwa hari ini mata uang rupiah diprediksi fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.500 hingga Rp15.570 per dolar AS. Rupiah ditutup anjlok 0,75% atau 115 poin ke level Rp15.510 per dolar AS, Kamis (30/11/2023) pukul 15.00 WIB,. Sementara itu, indeks mata uang Negeri Paman Sam terpantau naik 0,21% ke posisi 102,98 pada sore ini.
Mayoritas mata uang Asia terpantau melemah terhadap dolar AS, misalnya dolar Hongkong turun 0,04%, dolar Singapura turun 0,05%, dolar Taiwan melemah 0,27%, dan won Korea terkoreksi 0,17%. Selain itu, peso Filipina melemah 0,23%, rupee India turun 0,06%, yuan China terkoreksi 0,08%, ringgit Malaysia turun 0,22%, dan baht Thailand turun 0,66%. Hanya yen Jepang yang terpantau naik tipis 0,08%. Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, pejabat The Fed mengatakan bahwa penurunan inflasi AS baru-baru ini dan tanda-tanda melemahnya pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa bank sentral kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunga lebih lanjut. "Bahwa pelonggaran inflasi lebih lanjut juga dapat mendorong bank sentral tersebut untuk menurunkan suku bunganya pada awal tahun 2024," ujar Ibrahim dalam riset, Kamis, (30/11/2023).
Akan Tetapi, pelaku pasar saat ini menunggu isyarat lebih lanjut mengenai inflasi AS dari data indeks harga PCE untuk bulan Oktober, yang akan dirilis hari ini. Ia juga mengatakan bahwa angka tersebut merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, dan kemungkinan akan menjadi faktor dalam sikap bank sentral terhadap suku bunga dalam beberapa bulan mendatang.
Selain itu, pasar juga sedang menunggu data pembacaan kedua produk domestik bruto (PDB) AS kuartal III/2023 yang juga akan dirilis hari ini, sementara angka PMI untuk bulan November dan pidato Ketua Fed Jerome Powell akan dirilis pada Jumat, (1/12/2023). Dari dalam negeri, menurutnya terjadi keresahan pasar terhadap situasi perekonomian dan geopolitik global yang tengah tidak stabil, seperti inflasi dan suku bunga tinggi di Amerika Serikat (AS), dan China yang ekonominya melambat karena mengalami krisis properti. Kemudian tensi geopolitik yang meningkat seperti adanya perang antara Ukraina dan Rusia, serta konflik antara Israel dan pasukan Hamas di Gaza juga memicu keresahan pasar.(dtf/bnk)