Berharap Ada Kolom Suara Kosong dalam Kertas Suara Pemilukada
Catatan Juju Purwantoro, Advokat dan Presidium Forum AKSI (Alumni Kampus Seluruh Indonesia)
MAHKAMAH Konstitusi (MK) diharapkan kembali bisa memberikan putusan angin segar demokrasi dalam Pilkada 2024. Hal itu disebabkan sedang berlangsung permohonan uji materi UU Pilkada, pada 5 September 2024, yang meminta MK mengabulkan atau mensahkan adanya kolom suara kosong dalam kertas suara pemilukada.
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga, ke daerah.
Permohonan tersebut tidak hanya terkait konstitusionalitas surat suara kosong atau "blank vote" bagi calon tunggal saja.
Pilkada dengan lebih 2 (dua) orang calon pasang pun atau lebih harus dilindungi dengan eksistensi konstitusionalitasnya melalui surat suara kosong atau 'blank vote', sehingga dikategorikan sebagai suara sah.
Permohonan para Pemohon adalah supaya mengubah pasal-pasal terkait UU Pilkada, yakni Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang 'Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU'.
Selain itu, Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang 'Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU'.
Termasuk juga, Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang 'Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU'.
Guna mengakomodir adanya kecenderungan warga yang pergi ke tempat pemungutan suara (TPS), tetapi tidak ingin memilih pasangan calon yang sesuai aspirasinya, bisa saja pemilih mencoblos semua pasangan calon atau di luar kolom para calon.
Sesuai aturan yang ada, hal itu dikategorikan sebagai suara tidak sah. Apakah coblos semua calon atau coblos di luar calon, maka itu menjadi suara tidak sah. Guna menghindari pilihan suara yang tidak sah (terbuang sia-sia), maka permohonan tersebut agar menjadi suara sah adalah sangat rasional.
Bisa saja kandidat kepala daerah yang ada tidak sesuai dengan aspirasi masyarakatnya, karena ada kandidat yang tidak dipilih oleh parpol (partai politik) memiliki elektabilitas yang tinggi. Seharusnya mereka tetap bisa mencoblos surat suara kosong (secara sah) yang berbeda dengan suara tidak sah.
Dengan demikian, seandainya ada bentuk protes terhadap kandidat, rakyat tetap bisa memilih atau menyalurkan hak suaranya. Masyarakat pemilih, meskipun mereka yang mencoblos kotak kosong (blank vote), tapi tetap dihitung sebagai suara sah.
Jadi akan lebih 'fair dan demokratis', manakakala suara pemenang (calon terpilih) Pilkada adalah berapa pun suara terbanyak yang bisa mengalahkan 'blank vote'.
Selama ini kedaulatan rakyat dalam menentukan calon pemimpin daerahnya, seperti pilkada Jakarta, hanya dapat diusung dan dikuasai (diciderai) oleh para pemimpin partai politik. Parpol lebih suka menentukan dan memilih kader-kadernya sesuai kehendak dan kepentingannya. (*)