Moratorium Bea E-Commerce WTO Diperpanjang Dua Tahun, Diskusi Alot
Jakarta, FreedomNews - Moratorium Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap bea cukai atas transmisi digital mendapatkan penangguhan di menit-menit terakhir. Konferensi '13th Ministerial Conference' yang seharusnya berakhir pada 29 Februari 2024 telah diperpanjang satu hari. Hal ini dikarenakan diskusi yang berlangsung alot hingga kamis, 29 Februari 2024. Kemudian pada jam-jam terakhir, munculah kesepakatan untuk memperpanjang moratorium hingga pertemuan menteri selanjutnya dalam dua tahun, namun dengan masa berlaku yang sulit sehingga membutuhkan negosiasi yang lebih ekstensif pada saat itu.
“Beberapa negara mungkin menganggap ini sebagai peluang untuk mulai bekerja dalam membangun sistem tarif yang akan diterapkan pada tahun 2026,” jelas sumber yang dekat dengan pembicaraan tersebut, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu, 2 Maret 2024. Diketahui bahwa India, yang meminta konsesi di bidang pertanian, telah memblokir perpanjangan waktu tersebut. Namun, keputusan tersebut berbalik lantaran adanya permintaan dari Uni Emirat Arab selaku tuan rumah, sehingga keputusan perpanjangan waktu dua tahun menjadi satu-satunya hasil yang signifikan.
Sebagai catatan, hanya sedikit pakar perdagangan yang mengetahui seperti apa penerapan tarif digital dalam praktiknya. Hal ini karena moratorium diluncurkan pada 1998, untuk mendorong pertumbuhan internet yang masih baru. “(Namun bea masuk seperti itu akan) mempersulit perusahaan-perusahaan yang bergantung pada data dan layanan digital - yang pada dasarnya merupakan semua perusahaan di zaman sekarang ini,” jelas kepala kebijakan perdagangan di Dewan Industri Teknologi Informasi, sebuah kelompok industri di Wanshington, Naomi Wilson.
Sejauh ini, hanya Indonesia yang memiliki peraturan untuk memperbolehkan pengenaan bea masuk atas barang-barang digital. Tarif Indonesia untuk transmisi adalah nol, sejalan dengan moratorium. Namun, Indonesia mengatakan bahwa seiring banyaknya impor yang beralih ke pengiriman digital, negara telah kehilangan pendapatan tarif sebesar US$56 miliar antara tahun 2017 dan 2020, atau sekitar Rp879 triliun.
Indonesia juga menambahkan bahwa bea masuk digital akan membantu pengembang perangkat lunak dan penyedia konten lokal menjadi lebih baik, untuk bersaing dengan raksasa teknologi global. Kelompok Industri dari negeri 'Paman Sam' juga menyerukan agar larangan ini dibuat permanen, untuk mengakhiri ancaman berkelanjutan oleh beberapa negara untuk memblokir pembaruan guna mencoba memenangkan konsesi di tempat lain.
“Sungguh melegakan melihat moratorium ini bertahan,” jelas wakil presiden kebijakan perdagangan global di Dewan Perdagangan Luar Negeri Nasional, yakni kelompok yang mewakili perusahaan-perusahaan besar AS, Tiffany Smith. Smith juga mengatakan bahwa perdebatan yak tak berkesudahan mengenai moratorium tersebut menghalangi kemajuan agenda yang lebih luas dan melemahkan peran WTO sebagai forum perdagangan yang efektif.
Pakar perdagangan di lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies di Washington, William Reinsch, juga berpendapat bahwa jika moratorium tersebut dibatalkan, kemungkinan besar sekitar 140 negara yang mendukungnya akan setuju untuk memperbaharuinya sebagai bagian dari "inisiatif pernyataan bersama" WTO. "Hal ini akan memberikan sedikit kepastian bagi komunitas bisnis," jelas Reinsch. (dtf /inter/ekon)