Tidak Ada Air, Warga Gaza Mandi dan Cuci di Laut Mediterania yang Tercemar
Tak terasa perang, anak-anak berlaku seperti sedang dalam suasana rekreasi sekolah. “Anak-anak memperlakukannya seperti kita sedang dalam perjalanan sekolah.” Begitulah Andaleeb al-Zaq bersyukur dengan adanya laut, meski anginnya pun terasa asin. Namun, bagi Andaleeb, “perjalanan” ini adalah soal keberlangsungan hidup anak-anak terlantar akibat perang.
KELUARGA Andaleeb al-Zaq berjumlah 16 orang, mengungsi dari rumah mereka di Shujaiya, sebelah timur Kota Gaza tak lama setelah Israel mulai membom Jalur Gaza pada 7 Oktober. “Ini merupakan perubahan pemandangan, sisi lain dari kekacauan dan kekotoran sekolah, tempat tinggal kami,” kata pria berusia 48 tahun itu.
Mereka menuju ke selatan menuju pusat pemerintahan Deir al-Balah, dan melanjutkan perjalanan ke Sekolah Dasar Alif, yang dikelola oleh badan pengungsi PBB. “Semua ruang kelas sudah penuh dengan keluarga lain, sekitar 80 orang per kelas, jadi kami mendirikan tenda di halaman sekolah. Ada 8.000 orang berlindung di sana,” kata Andaleeb.
Warga Palestina memanfaatkan laut untuk mencuci pakaian dan mandi. Begitu pula Andaleeb al-Zaq mencuci pakaian keluarganya dengan air laut. Karena sekolah tempat mereka berlindung, tidak memiliki air bersih. Sekolah tersebut dekat dengan Laut Mediterania, dan karena kurangnya air bersih, maka sebagian keluarga dan anak-anak pergi ke laut untuk berenang, mandi dan mencuci pakaian.
Nampak pemandangan, gadis-gadis mencuci rambut mereka menggunakan sampo di Laut Mediterania sebelah timur Deir al-Balah di Jalur Gaza Tengah. Di tengah serangan udara Israel yang menargetkan sekelompok anak-anak di pantai barat Deir Al-Balah, menewaskan tiga orang dan melukai tujuh lainnya.
Israel memberlakukan pengepungan total di Jalur Gaza lebih dari sebulan yang lalu, setelah serangan Hamas pada 7 Oktober. Sejumlah bantuan telah diizinkan masuk ke wilayah kantong-kantong pengungsi tersebut melalui penyeberangan Rafah – Mesir. Namun Israel masih melarang masuknya bahan bakar. Akibatnya, satu-satunya pabrik desalinasi di Gaza tidak berfungsi karena tidak ada bahan bakar.
Jalur pantai yang telah diblokade selama 17 tahun oleh Mesir dan Israel, telah hancur. Lebih dari 10.300 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Infrastruktur dasar juga menjadi sasaran. Setidaknya 58 persen atau 212.000 rumah dari seluruh unit perumahan di wilayah tersebut telah rusak. Tanpa bahan bakar dan listrik, rumah sakit telah menggunakan generator bertenaga surya.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat bahwa antara tanggal 21 Oktober dan 1 November, hanya 26 truk yang membawa pasokan air dan sanitasi penting memasuki Jalur Gaza, dan mencatat bahwa jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penting bagi kelangsungan hidup 2,3 juta penduduk. “Kami tidak punya air, tidak ada sanitasi, tidak ada sistem pembuangan limbah,” kata Imm Mahmoud, seorang ibu yang tinggal di sekolah yang sama.
Tidak adanya sarana kebersihan dasar, baik orang dewasa maupun anak-anak tidak merasa nyaman. Ibu berusia 52 tahun itu telah mengungsi selama sebulan dan mengatakan dia tidak punya pilihan selain mencuci pakaian keluarganya di laut. Dia juga tahu, air laut Mediterania ini pun tercemar. “Anak-anak menderita diare, batuk dan pilek akibat polusi dan berenang di laut,” katanya.
Bahaya-Lingkungan-dan-Kesehatan-Serius
Sebelum perang pun, infrastruktur sanitasi tidak memadai dan tidak adanya pasokan listrik menyebabkan air limbah yang tidak diolah dibuang ke laut – antara 100 hingga 108 juta liter – dan menyebabkan munculnya penyakit yang menjadi penyebab utama kematian anak di Jalur Gaza.
Menurut Dewan Pengungsi PBB dari Norwegia, penutupan total instalasi pengolahan air limbah pada bulan Oktober telah menyebabkan lebih dari 130.000 meter kubik limbah yang tidak diolah dibuang ke Laut Mediterania setiap hari, sehingga menimbulkan bahaya lingkungan yang serius. Tiga jaringan pipa air utama di Jalur Gaza semuanya dikendalikan oleh Israel. Sejak 8 Oktober, jalur pipa dari Israel ke Gaza utara masih ditutup. Di selatan, Israel menghubungkan kembali pasokan air ke Khan Younis pada tanggal 15 Oktober tetapi mematikan pasokannya dua minggu kemudian. Dan di wilayah tengah Jalur Gaza, pihak berwenang Israel mengkonfirmasi akan mengalirkan kembali pasokan air pada tanggal 29 Oktober. Namun, ternyata tidak. Sedangkan air yang ada dari keran mengandung banyak klorin atau asin.
Khalil al-Degran, Dokter RS Martir al-Aqsa Deir al-Balah
Khalil al-Degran, seorang dokter dan pengawas darurat di Rumah Sakit Martir al-Aqsa Deir al-Balah, mengatakan ada “bencana lingkungan dan krisis kesehatan besar-besaran” yang disebabkan oleh membengkaknya populasi di Jalur Gaza Tengah akibat banyaknya keluarga yang mengungsi. Ada banyak kasus infeksi paru-paru dan flu usus akibat air yang tidak sehat.
“Ada rata-rata 70 orang yang tinggal di satu ruang kelas dalam kondisi yang tidak sehat. Akibatnya, banyak penyakit dan infeksi yang menyebar, seperti infeksi paru-paru dan flu usus akibat kepadatan penduduk. Kurangnya listrik dan air bersih hanya memperburuk keadaan. Kurangnya air bersih yang mengalir, beberapa pengungsi terpaksa menggunakan laut sebagai tempat untuk mencuci pakaian atau mandi, sehingga mempertaruhkan nyawa mereka di bawah pemboman Israel. Agresi ini harus segera dihentikan, dan penyeberangan perbatasan harus dibuka. Kami tidak memiliki pasokan medis untuk merawat orang-orang yang sakit, apalagi mereka yang terluka akibat serangan Israel,” tambahnya.
Keluarga pengungsi mengatakan mereka akan terus mandi di laut, dan mengatakan tidak ada pilihan lain. “Sekolahnya (tempat pengungsian, red) menjijikkan dan tidak ada air,” kata Nasser Zayed, 60 tahun.
“Saya turun ke laut untuk mandi setiap dua hari sekali. Jika tidak, saya akan menjadi seperti siswa abadi, menghabiskan seluruh waktu saya di ruang kelas. Toilet di sekolah berbau busuk. Sekolah secara umum berbau tidak sedap karena tumpukan sampah di mana-mana,” kata Rima Zaqqout, 17 tahun.
Keluarga Rima tiga kali mengungsi, setelah rumah mereka di Gaza Utara dihancurkan. Mereka tinggal bersama seorang bibi, kemudian paman mereka, namun kedua rumah tersebut juga rusak akibat pemboman Israel. Meski berbahaya, laut menjadi tempat istirahat bagi Rima dan saudara-saudaranya yang setiap hari melaut pada siang hari. “Kami membawa sampo untuk memandikan anak-anak. Kadang-kadang kami juga berenang. Kita sedang menjalani masa-masa yang sangat sulit,” katanya. (emj/alj)