Tolak RUU Kesehatan Cek Kosong Omnibus Law yang Menghukum Rakyat Miskin
_RUU sarat kepentingn oligarki dan liberalisasi industri kesehatan ini, dinilai sebagai cek kosong yang akan mengorbankan masyarakat miskin, termarjinalkan, termasuk perempuan, anak dan disabilitas. ___
Oleh:Iriani Pinontoan, Wartawan Senior Freedom News
Masyarakaat sipil yang tergabung dalam 44 aliansi menolak keras RUU Kesehatan Omnibuss Law, meskipun telah disetujui Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada sidang tingkat pertama . RUU sarat kepentingn oligarki dan liberalisasi industri kesehatan ini, dinilai sebagai cek kosong yang akan mengorbankan masyarakat miskin, termarjinalkan, termasuk perempuan, anak. dan disabilitas.
Pemerintah dan DPR dinilai tidak beretika, ceroboh dan tidak cermat dalam menyusun RUU Kesehatan. Salah satu nara sumber dari tiga nara sumber lainnya dari Aliansi Msyarakat Sipil, Sri Palupi bahkan dengan tegas mengatakan, tiga hal yakni, pertama soal cek kosong, kedua korban masyarakat miskin dan ketiga, liberalisasi dan komersialisasi indutri kesehatan bagi masyarakat terkait dengan hak atas kesehatan, saat Jumpa Pers Penolakan UU Kesehatan melalui virtual, Youtube, Rabu, 28 Juni 2023 di Jakarta.
Meskipun pemerintah menyampaikan berbagai hal terkait dengan janji- janji untuk transformasi kesehatan, dalam rangka memperluas layanan kesehatan dan juga meningkatkan kualitas kesehatan sampai ke desa-desa dan meningkatkan layanan kesehatan itu sebenarnya adalah cek kosong.
Karena, pada saat yang sama pemerintah dan DPR menghapus Mandatoring Spanding yaitu anggaran minimal wajib yang harus dialokasikan untuk sektor kesehatan dengan berbagai alasan.
Alasan yang sangat mengada-ngada misalnya adalah anggaran minimal yang adalah 5 persen dari APBN itu belum ada kajian yang valid padahal sudah jelas bahwa berbagai kajian 5 persen anggaran minimal itu adalah untuk keadilan dan untuk meningkatkan akses bagi perempuan dan anak, sangat jelas.
Studi bank dunia juga menyebutkan semakin besar anggaran untuk kesehatan, semakin tinggi usia harapan hidup rakyat. “Apakah pemerintah dan DPR mengabaikan fakta-fakta seperti itu?’ tegas Sri Palupi.
Dalam RUU Kesehatan DPR dan pemerintah hanya mempertimbangkan aspek ekonomi bukan aspek hak dari warga dan juga aspek pemerintah untuk memenuhi hak warga.
Kedua,lanjut Sri Palupi, selain RUU ini, cek kosong RUU juga potensinya menghukum rakyat miskin, atas kejahatan yang selama ini sebetulnya sudah dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
Mencabut atau menghapus mandatoring spanding maka risikonya akan ditanggung rakyat miskin atau rentan, termasuk perempuan dan anak, penyandang disabilitas dan rakyat di daerah terbelakang.
Salah satu alasan dari penghapusan mandatoring spanding adalah menyempitnya ruang fiskal.Padahal persoalan ruang fiskal ini adalah buruknya tata kelola pemerintahan yang berdampak pada menumpuknya utang yang tidak produktif dan maraknya korupsi yang terjadi di semua sektor, termasuk kesehatan.
Ketika buruknya tata kelola pemerintahan kenapa justru yang harus menanggung beban adalah rakyat miskin dan rentan termasuk perempuan, anak dan disabilitas. “Substansinya, RUU ini menghukum rakyat atas kejahatan yang tidak mereka lakukan, “tegas Sri Palupi
Ketiga RUU ini jelas menjadi instrumen untuk pemerintah dan DPR menjalankan liberalisasi dan komersialisasi layanan kesehatan itu sangat jelas dalam pasal-pasalnya.Indikasinya pemberdayaan dokter asing dan adanya penerbitan perizinan berusaha.Padahal RUU Kesehatan tidak seharusnya mengatur perizinan, termasuk kemudahan berusaha atau investasi di sekror kesehatan. Apalagi dokter-dokter asing yang seharusnya menjadi pengecualian, diberi karpet merah di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
RUU ini juga secara medis mengancam keselamatan warga dalam hal ini sebagai pasien karena RUU memberi ruang bagi pelanggaran etika oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan dan berpotensi meningkatkan mal praktik dengan korbannya lagi-lagi adalah masyarakat, lagi-lagi adalah warga.(*)