BRI-Liga 1, Pegadaian Liga-2, Ada Apa Sepakbola Kita?

Jakarta, FreedomNews: Rusuh dan ribut, belakangan terus menghiasi sepakbola kita. Hampir satu dari empat laga, di Liga-1 maupun Liga-2, terjadi tindakan-tindakan yang jauh dari sportivitas sepakbola, dan buntutnya harus dihukum karena melanggar kode disiplin.

Padahal kompetisi BRI Liga 1 dan Pegadaian Liga 2 adalah kompetisi yang sudah bertabur sponsor. Bukan hanya federasi (PSSI) lewat PT. LIB yang diberi kepercayaan untuk menggelar kompetisi, semua klub sudah juga dipercaya oleh sponsor.

Artinya kompetisi sepakbola kita sudah memenuhi persyaratan dasar berbisnis dengan baik.

Untuk bisa mencapai tingkat seperti ini, para pendahulu tertatih-tatih. Berdarah-darah, tidak sedikit dari mereka jadi bangkrut demi sepakbola, demi kompetisi dapat berjalan lancar.

Catatan M. Nigara

Pergeseran kultur?

Ada hal menyedihkan terkait daerah-daerah tertentu yang selama ini kultur masyarakatnya terbilang santun. Bahkan hampir seluruh tutur katanya sangat lembut.

Tiba-tiba sporternya menjadi sangat beringas. Tidak cukup mengeluarkan kata-kata makian, melemparkan apa saja ke dalam stadion karena marah. Lalu, sempat 'menculik' salah seorang ofisial lawan dari ruang pertemuan pers, dibawa kebelakang untuk dipukuli.

Pertanyaannya, sedang ada apakah dunia sepakbola kita saat ini?

Pelanggaran disiplin terjadi dan terjadi lagi, berulang-ulang. Pedihnya bukan mereka tidak tahu, tapi, patut dapat diduga seperti ada unsur kesengajaan. Mengapa bisa demikian? Rasanya kita perlu mendalaminya. Melibatkan para ahli, para psikolog umum wabil khusus Sport Psychology agar tidak kebablasan menjadi sesuatu yang merugikan kita semua.

Jika bukan antarpemain, pemain dengan perangkat pertandingan, perangkat pertandingan dengan ofisial. Ofisial dengan ofisial, atau pendukung dengan pendukung. Dan puncaknya pendukung dengan petugas keamanan.

Kerusuhan yang menimbulkan korban luka dan terjadi juga perusakan barang-barang. Beruntung semua masih, mudah-mudahan tidak meluas, terjadi di stadion saat pertandingan saja.

Sekali lagi, saya dan mungkin juga kita semua para penggila sepakbola nasional bertanya: Sedang ada apakah sepakbola kita saat ini? Tentu tidak mudah menjawabnya. Kita membutuhkan penelitian mendalam.

Sekedar contoh: Tahun 1960an, sempat terjadi geger nasional. Jika tidak keliru saat final Perserikatan, Persib Bandung vs Persebaya Surabaya.

Beruntung tidak terjadi hal-hal yang jauh dari itu, padahal sempat melibatkan kekuatan ABRI. Kita tahu di Jawa Barat dan Jawa Timur identik dengan kesatuan militer tertentu. Sekali lagi, kita bersyukur keributan hanya terjadi di Stasion Utama GBK. Setelah itu, semua aman-aman saja.

Di tempat yang sama, jika tak salah antara 1983-84, final 12 Besar Perserikatan. Persib yang dijagokan berhadapan dengan ayam Kinantan, PSMS Medan. Guinness book of record mencatat pertandingan amatir dengan jumlah penonton terbanyak di dunia.

Saat itu, kapasitas Stadion Utama GBK mencapai 99 ribu. Tribun seluruhnya penuh sesak, lalu sentel ban, jalur untuk pelari cabor atletik, dipadati hingga ke sisi lapangan permainan.

Djafar Umar, Sujendro, Djaja Suparman, dan Ketua Komisi Wasit PSSI, Syamsuddin Hadade, sebagai tim pengadil, tentu keberatan karena tidak ada jarak antara penonton dan lapangan. Tidak ada jaminan keamanan bagi pemain, ofisial, dan perangkat pertandingan.

Setelah terhenti lebih dari satu jam, akhirnya PSSI mau juga melanjutkan. Alhamdulillah meski dari 150 ribu penonton (data World Guinness Book of Record) 80 persen pendukung Persib dan tim maung Bandung, kalah, tidak terjadi apa pun.

Medsos

Pertanyaan berikutnya, mengapa saat ini bentrokan mudah sekali terjadi? Menurut Geoff Pearson, dosen senior hukum pidana Universitas Manchester dan pakar Hooliganisme (pendukung fanatik Inggris), catatan: Patut dapat diduga, telah ditiru oleh Bonek, Persebaya, menyebut perilaku “karnavalesque” dengan pelanggaran sebagai intinya.

“Saya pikir telah terjadi peningkatan perilaku antisosial dan gangguan-gangguan tingkat rendah pascapandemi secara lebih luas,” katanya.

“Ingat, memasuki lapangan sepakbola sambil mabuk merupakan pelanggaran. Melakukan nyanyian tidak senonoh juga merupakan pelanggaran pidana. Membuang botol plastik atau benda apa pun ke udara juga ilegal… ini lebih merupakan pelanggaran gangguan tingkat rendah yang kita lihat. Uniknya, mereka justru melakukan semua itu," katanya.

Tidak sedikit pakar yang mengatakan media sosial memiliki peran besar untuk memicu kegaduhan. Postingan dalam bentuk ajakan mengarah ke vandalisme secepat kilat memperoleh tanggapan. Dengan begitu, ketika para sporter yang berjiwa karnaval itu, datang ke dalam kelompok, mereka telah siap melakukan apa saja.

Dulu, suasana kegarangan benar-benar terjadi hanya di lapangan, dan suasana itu bisa tidak jadi terbangun karena berbagai kondisi. Misalnya karena kesigapan petugas atau karena faktor lain yang bisa mendominasi.

Sekarang, dengan adanya medsos, setiap individu telah terkondisikan sejak sebelum berada di stadion. Mereka telah dilengkapi dengan skenario-skenario.

Pergeseran Kultur

Menurut Michael Mudrick, asistem profesor Sport management dari York College of Pennsylvania, Amerika, kebebasan tanpa batas, membuat pata penggemar mampu mengekspresikan apa pun secara brutal. "Intimidasi, cyber bullying, sampai kekerasan fisik mudah dipicu," katanya.

Dalam domain online perkumpulan telah membangun harga diri kolektif baik untuk pro-sosial maupun anti-sosial. Setiap individu datang ke perkumpulan sudah dengan agenda tertentu yang diembuskan di media sosial.

Maka, ketika ada sesuatu yang sebelumnya sudah dibangun (bisa positif dan negatif) ledakan mudah terjadi. Jika ada individu yang tidak mau melakukannya, maka cyber bullying akan dialami. Bahkan bukan tidak mungkin akan ada tindakan fisik.

Sementara yang paling dominan melakukan kekerasan, akan dianggap sebagai tokoh. Pada akhirnya dianggap sebagai pahlawan mereka. Ini juga yang membuat mereka berlomba menonjolkan diri dan perbuatannya.

Dengan fakta itu, maka saatnya PSSI, klub, dan suporter bisa duduk bersama, tentu sebagai keluarga sepakbola Indonesia. Semua pihak duduk sejajar agar tidak timbul kesan satu pihak lebih superior dan pihak lain menjadi peserta yang terintimidasi.

Bicarakankah berbagai hal agar keributan apa lagi kerusuhan tidak lagi menjadi bagian dalam dunia sepakbola Indonesia, atau minimal kita dapat mendeteksi dan menguranginya jika tidak bisa kita hapus total.

Lepas dari itu, tim nasional U17 kita yang hanya sampai putaran grup, FIFA sungguh merasa senang atas penyelenggaraan Piala Dunia di Indonesia. Padahal, tidak sedikit juga para pendukung fanatik: Brasil, Argentina, Prancis, dan Jerman ikut menyaksikan partai demi partai secara langsung di stadion. Tapi, tak ada hal-hal yang membuat orang terkejut.

Jadi, jika kita, para penggila bola tanah air bisa menyenangkan FIFA dengan menjadi tuan rumah yang sangat baik, mengapa kita tidak bisa berbuat baik untuk sesama kita? Bahwa jika klub kita kalah ada rasa kecewa, sangat wajar. Tapi, hendaknya sampai di situ saja.

Atau jika klub yang kita dukung menang, mestinya kegembiraan pun sebatas kesenangan tidak harus menjadi alat untuk menyinggung para pendukung yang klubnya kalah.

Tidak mudah, pasti. Namun, jika kita sama bertekad untuk menjaga atmosfer positif sepakbola kita, maka kewajiban kita untuk menjadi pendukung yang baik.

Kasus-kasus yang menjadikan kita harus bermusuhan, wajib kita tanggalkan. Kesadaran bahwa kita bersaudara harus menjadi yang terdepan. Jangan sampai kesadaran kita muncul setelah ratusan korban meninggal seperti tragedi Kanjuruhan. Kepedihan Kanjuruhan harus menjadi pelajaran amat berharga untuk sepakbola kita.

Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk menjadi lebih baik. Setiap kita memiliki peran untuk membuat sepakbola menjadi lebih berprestasi. Perannya yang tentu berbeda-beda. Untuk itu, kita butuh perubahan, kesadaran, dan tekad kebersamaan. Semoga bermanfaat.

Bravo Sepakbola Indonesia, bravo PSSI kita!!!

M Nigara, Wartawan Sepakbola Senior