Catatan M. Nigara: Mengapa Jepang dan Korsel Lebih Suka Jumpa Indonesia di Perempat Final Piala Asia U23?
Jakarta, FreedomNews - ADA yang menarik dalam laga akhir Grup B Piala Asia U23, Korsel vs Jepang. Meski keduanya sudah lolos ke delapan besar, tapi partai yang digelar di Stadion Jassim bin Hamad itu, bak partai final.
Kedua kubu menampilkan permainan ekstrakeras. Biasanya tim yang telah lolos, di laga terakhir penyisihan grup akan menurunkan beberapa pemain pengganti. Hal ini dilakukan oleh banyak pelatih untuk menjaga kondisi pemain di laga perdelapan.
Tapi tidak dengan Korsel dan Jepang, mereka sungguh-sungguh bertarung dengan segenap kemampuan. Bahkan wasit asal Arab Saudi, Majed Alshamrani pun berulang kali terpaksa memberi peringatan keras pada kedua tim.
Ada dua persoalan yang sama-sama dituju oleh masing-masih pelatih. Hwang Sun Hong (Korsel) dan Go Oiwa (Jepang), keduanya menghindari Qatar dan lebih memilih bertemu Indonesia di perempat final.
Qatar seperti kita saksikan saat bertemu Indonesia dalam laga awal grup A. Kemenangan mereka 2-0 atas Garuda Muda dicederai oleh sikap wasit Nasrullo Kabirov (Tajikistan).
Kasat mata wasit yang di negaranya, kabarnya, sering bermasalah, benar-benar berat sebelah. Kesannya setiap langkah Kabirov, selalu menguntungkan tuan rumah.
Hal ini menjadi perhatian negara- negara peserta.
Jika bisa menghindari, lebih baik tidak bertemu dengan tim tuan rumah. Dan, tujuan kedua bisa bertemu Indonesia yang pasti masih dianggap lebih mudah untuk dikalahkan.
Benarkah lebih mudah? Pasti tidak akan semudah seperti sebelum 2019. Ya, data mencatatnya seperti itu. Dari 57 pertemuan, kita hanya 6 kali menang, 8 imbang, dan 43 kalah.
Pertemuan pertama kali di tahun 1953 di Jakarta dalam Friendly Match, kita kalah 3-5. Tapi 1962 dan 1968, kita berhasil membukukan kemenangan di laga Merdeka Tournament, 3-0 serta 4-2. Dua kali kita kalah dengan skor mencolok 0-6 dan 1-7, sementara kalah 0-4 beberapa kali, juga kalah 0-5. Ini adalah tim senior. Sementara data tim under 23, tidak tercopy dengan baik.
Yang tidak terdata, kita juga pernah mengalahkan Korsel di final Coca Cola Asia-Pasific U-15, di Jakarta 1989. Di semifinal kita menang 4-1 atas Cina dan menang 2-1 atas Korsel di final. Tapi jangan didalami, atas nama bangsa dan negara, kami wartawan saat itu tidak boleh menampilkan profil pemain secara utuh.
Lho, kok?
Ya, setelah kegiatan lewat beberapa saat, wartawan Hongkong membuka apa yang tidak boleh kami lakukan. Sedikitnya ada 5-6 pemain yang di data resmi tertulis 14 tahun, 6-8 bulan, sesungguhnya usianya 5-6 tahun lebih tua.
Saya sengaja tidak akan menuliskan nama mereka, karena saya yakin hal itu bukan kehendak mereka, tapi itu tadi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pedihnya, wartawan Hongkong menurunkan profil pemain terbaik Galakarya dari Koran Jawa Tengah. Turnamen itu dua tahun sebelum 1989. Jika saya tak keliru judulnya Anak 13 Tahun Sebagai Pemain Terbaik Antar Perusahaan. Di sana dimuat juga regulasi batas usia dasar seorang karyawan di Indonesia, Hongkong, dan Dunia.
Mereka memang sebel banget, jika saya tidak keliru tim U15 Hongkong digilas 7-0 oleh tim kita. Ya, secara teori anak usia 14 tahun akan sangat sulit beradu fisik dengan orang dewasa 21-22 tahun.
Beruntung sekali ini pemalsuan umur tidak bisa terjadi lagi. FIFA dan AFC mempersyaratkan tidak terbatas pada paspor dokumen resmi negara. Ada beberapa pemeriksaan fisik melalui mekanisme teknologi yang canggih. Secara teori sudah tak mungkin kecolongan lagi.
Kembali ke perdelapan besar Indonesia Vs Korsel. Ini akan menjadi ajang ujian besar bagi Shin Tae-yong, Rizky Ridho dan kawan-kawan. Saat sebelum ditangani STY, di kualifikasi Asia, kita kalah 0-4 (31/3/2015).
STY sendiri merasa senang timnya bertemu Korsel. Ada sesuatu yang bisa ia tunjukkan pada rekannya Hwang Sun-hong, apa persisnya?
Kita wajib menunggunya....
Bravo PSSI, bravo tim Indonesua U23 kita, bravo STY***
M.Nigara, wartawan sepakbola senior