Kewajiban Konstitusional Presiden Indonesia (2)
Konsekwensi logisnya, yaitu presiden Indonesia tidak boleh berat sebelah, baik terhadap keluarga, teman, ormas, orpol, bahkan terhadap lawan politik sekalipun. Konsekwensi lanjutannya, presiden hanya memihak ke kebenaran.
Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005-2013)
PRESIDEN Indonesia dalam sumpahnya, berikrar akan memenuhi “kewajiban” Presiden Republik Indonesia. “Kewajiban” akar katanya, “wajib”. Tapi, “wajib” adalah perkataan Arab yang merupakan sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas dalam dunia Islam.
Aktivitas yang berstatus hukum “wajib” harus dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat. Syariat Islam menetapkan, Muslim/Muslimah yang baligh, “wajib” shalat lima waktu sehari semalam, shaum dalam bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, dan berhaji bagi yang mampu.
Hukum “wajib” berdampak positif dan negatif bagi setiap umat Islam yang telah memenuhi syarat. Konsekuensi logisnya seseorang yang melaksanakan “kewajiban” akan memeroleh pahala. Dampak positifnya, dia akan masuk surga ketika di akhirat kelak. Namun, mereka yang tidak melaksanakan “kewajibannya”, ditetapkan sebagai berdosa. Dampak negatifnya, mereka akan masuk neraka ketika di akhirat nanti.
“Pahala” dan “dosa” ini, dalam ilmu menajamen disebut sebagai “reward and punishment”. Joko Widodo adalah presiden yang gemar memberikan penghargaan ke keluarga dan kroninya, tapi tidak mengenakan “punishment”. Sebab, kedua anaknya yang dilaporkan ke KPK, dihalangi proses hukumnya. Bahkan, Jokowi memaksakan mereka untuk menjadi walikota, gubernur, dan wakil presiden.
Presiden Berikrar atas Nama Allah
Perkataan "demi Allah" yang diucapkan, bermakna presiden sedang berikrar di hadapan Allah, beliau mengatasnamakan-Nya dalam menjalankan tugas sebagai presiden Indonesia. Pernyataan tersebut bermakna, presiden harus mengikuti seluruh ketentuan Allah SWT berkenaan dengan Tupoksinya sebagai Kepala Negara.
Aplikasinya, sebagai seorang muslim, presiden harus mengikuti dan melaksanakan ketentuan Al Qur'an dan As Sunnah mengenai kepemimpinan, pemerintahan, dan kenegaraan. Namun, sebagai seorang warganegara Indonesia, presiden harus melaksanakan tupoksinya sesuai konstitusi UUD 1945.
Apakah terjadi kontradiksi di antara tupoksi presiden menurut Al Qur'an dan As Sunnah dengan UUD 45 di pihak lain? Tidak. Sebab, empat dari 9 anggota Tim Perumus Pancasila dan UUD 45 adalah ulama.
Mereka adalah H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno. Maka itulah sebabnya, pasal 29 ayat 1 UUD 45 menyebutkan, "negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Pasal ini mengabadikan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Konsekwensi logisnya, tugas pertama presiden adalah memastikan, tidak boleh ada warganegara Indonesia yang tidak beragama. Aplikasinya, tidak boleh ada ideologi komunisme, kapitalisme, liberalisme dan isme-isme lain kecuali tauhid. Sebab, tauhid adalah inti dari seluruh agama langit. Bagaimana pelaksanaannya di masyarakat menurut UUD 45?
Pasal 29 ayat 2 UUD 45 menyebutkan bahwa: "negara menjamin kebebasan setiap warganegara memeluk agamanya dan melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya itu". Maknanya, tugas kedua presiden, memastikan, semua warga negara Indonesia rajin melaksanakan ibadahnya.
Jadi, setiap Muslim shalat berjamaah lima kali sehari semalam di masjid/mushalla terdekat. Orang nasrani pergi ke gereja setiap hari Ahad. Orang Hindu rajin ke pura. Penganut Budha ke vihara.
Presiden yang Berkinerja Tinggi
Presiden dalam sumpahnya juga berikrar akan melaksanakan tugas dengan “sebaik-sebaiknya”. Perkataan “sebaik baiknya”, menunjukan kinerja yang harus dicapai seorang presiden.
Kinerja presiden diukur dari prosentasi pelaksanaan program kerja, khususnya yang ditetapkan dalam APBN setiap tahun. Pada masa Orde Baru, visi, misi, renstra, program, dan kegiatan presiden disusun dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan MPR, setiap lima tahun.
GBHN, sejatinya adalah program kerja lima tahunan yang rasional, objektif, dan aplikatip. Sebab, materi GBHN disusun oleh para guru besar dan ahli di masing-masing profesi. Hal tersebut bisa terlaksana relatif baik karena anggota DPR/MPR adalah para dosen yang PNS, baik bergelar doktor maupun profesor.
Undang-undang pada orde reformasi, relatif buruk. Sebab, ia disusun oleh anggota DPR yang bukan guru besar dan/atau para ahli. Ini karena ASN tidak boleh menjadi anggota DPR/MPR. Dampak negatifnya, mayoritas UU pada era reformasi dibawa ke MK karena bermasalah.
Apalagi, sebanyak 318 anggota DPR berprofesi sebagai pebisnis sehingga orientasi mereka adalah bisnis. Itulah sebabnya, undang-undang Covid 19, Minerba, KPK, Cipta Kerja, Kesehatan, IKN, dan kereta api cepat Jakarta Bandung, tidak lain adalah proyek-proyek pesanan konglomerat.
Peneliti P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner, Defbry Margiansyah dalam hasil penelitiannya, menemukan, hal-hal yang mencengangkan. Sebab, secara sektoral, anggota DPR yang pebisnis tersebut paling banyak berkecimpung di sektor energi dan migas (15%).
Mereka yang berkecimpung di sektor teknologi, industri, manufaktur dan ritel, juga 15%. Sisanya, tersebar di sektor developer dan kontraktor (12%), perkebunan, perikanan, dan peternakan (11%). Terakhir, sektor keuangan dan perbankan, sebanyak 6%.
Defbry juga menemukan 116 afiliasi para pebisnis di DPR dengan pemegang kekuasaan. Peneliti LIPI ini bahkan, menyebutkan afiliasi anggota DPR tersebut dengan Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh. "Status hubungannya lebih banyak aktor utama, yaitu mereka yang menempati posisi di mereka yang memegang “material power”. Tapi, ada juga status hubungan anak, kerabat," tulis Defbry
Kinerja Presiden harus diaudit oleh Lembaga Negara yang lebih tinggi, yakni MPR. Namun, MPR sekarang bukan lembaga tertinggi negara. Sebab, UUD 2002 hasil amandemen menjadikan MPR sebagai lembaga tinggi negara, sejajar dengan presiden dan DPR.
Konsekuensi lanjutannya, MPR harus dikembalikan ke posisi semula sebagai lembaga tertinggi negara. Dampak positifnya, MPR bisa menetapkan, apakah presiden berkinerja baik atau tidak. Operasionalisasinya, MPR dapat memutuskan, memberhentikan presiden atau tidak seperti yang berlaku terhadap Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur.
Presiden yang Adil
Presiden dalam sumpahnya juga berikrar akan melakukan kewajibannya dengan “seadil-adilnya”. Adil adalah bahasa Arab yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti (1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran, dan (3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang.
Konsekwensi logisnya, yaitu presiden Indonesia tidak boleh berat sebelah, baik terhadap keluarga, teman, ormas, orpol, bahkan terhadap lawan politik sekalipun. Konsekwensi lanjutannya, presiden hanya memihak ke kebenaran.
Aplikasinya, presiden tidak boleh bertindak sewenang-sewenang seperti yang dilakukan Soekarno, Soeharto, dan Jokowi. Sebab, Jokowi menangkap para ulama dan aktivis yang mengeritiknya. Tapi, beliau membiarkan sekutunya yang komunis dan oligarki membuat keonaran dalam berbangsa dan bernegara. (*)