Akan Muncul Parlemen Jalanan Memaksa Jokowi Mundur

Tampak Jokowi dan kekuatan oligarkinya akan tetap memaksakan untuk hasil rekayasa angka kemenangannya. Mengira semuanya bisa diredam dengan alat kekuatan yang masih dalam kendalinya.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PEMILIHAN Presiden (Pilpres ) adalah sebuah seruan dan pilihan ketika warga negara (rakyat) untuk memilih, memutuskan, dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Esensi Pilpres adalah kuasa rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara.

Pilpres bukan sekadar hitung-hitungan elektoral sehingga seolah-olah penguasa terlibat langsung dalam penghitungan suara Pilpres dengan segala cara boleh mengesahkan kemenangannya tanpa pedulikan rambu-rambu konstitusi dan etika dalam berdemokrasi.

Untuk menghindari adanya rekayasa kecurangan, maka ada dua yang utama dari sejumlah syarat tersebut, ialah birokrasi pemerintahan yang netral dan penyelenggara pemilu yang kompeten dan berintegritas.

Sayangnya, pada Pemilu 2024 dua syarat di atas diterabas, ditabrak, dilindas dengan rekayasa politik pragmatis asal menang.

Rekayasa kecurangan dengan segala cara sudah terlihat secara jelas pada tahap sebelum, saat pemungutan suara, bahkan paska pemungutan suara dengan telanjang carut-marut proses dengan berbagai peristiwa dan ternyata angka kemenangan salah satu Paslon sudah ditentukan berapa angkanya.

Dipertontonkan pula betapa mudahnya penyelenggara negara menerabas netralitas. Dan, birokrasi pemerintah secara semena-mena dilibatkan, bahkan secara terang-terangan, termasuk juga dalam proses pemenangan Paslon yang didukung penguasa.

Presiden Joko Widodo, tampak jelas dengan kekuasaan dan kuasanya berperan sebagai Tim Sukses kemenangan putranya, Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto, paslon nomor urut 02.

Sepanjang proses Pilpres kali ini tak henti-hentinya dan tanpa rasa malu Jokowi menerabas semua rambu-rambu aturan/konstitusi menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada Paslon nomor 02 – Gibran sebagai Cawapresnya.

Tidak peduli dengan etika demokrasi dengan manuver cawe-cawenya. Terciptalah gerakan-gerakan senyap dan terang-terangan yang diinisiasi pucuk penguasa dan dieksekusi dengan masif oleh para aparat-aparat di bawahnya.

Jokowi seperti tidak sadar dan menyadari rekayasa itu terpantau dengan kekuatan IT yang sudah super canggih mampu mendeteksi server Sirekap dari negara asing (Alibaba) sebagai penentu angka kemenangannya.

Kompetensi dan integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu berantakan. Dan, Pilpres terkesan hanya aksesoris belaka.

Modus kecurangan terbongkar tumpah-ruah dari tempat pemungutan suara (TPS) dan Sirekap KPU yang amburadul. Masuk ke kanal-kanal pelaporan pemilu maupun ke akun berbagai media sosial masing-masing.

Demo, protes, dan macam reaksi kemarahan rakyat muncul di mana-mana. Menganggap Pilpres saat ini sangat binal liar, bahkan kesan kuat KPU dan Bawaslu lumpuh total.

Tidak sedikit pakar dalam dan luar negeri menilai Pilpres 2024 di Indonesia kali ini bukan tidak legitimate tetapi hasilnya cacat dan ditolak oleh sebagian besar rakyat.

Setelah sukses membuka pintu lebar untuk penjajahan dan menyerahkan kedaulatan digitalnya dalam konteks Pemilu 2024, ke pihak asing, ini sangat berbahaya sekaligus bisa menjadi kekuatan yang berbalik arah menerjang Jokowi.

Tampak Jokowi dan kekuatan oligarkinya akan tetap memaksakan untuk hasil rekayasa angka kemenangannya. Mengira semuanya bisa diredam dengan alat kekuatan yang masih dalam kendalinya.

Jokowi kali ini salah kalkulasi politiknya. Akan muncul parlemen jalanan menuntut paksa Jokowi harus mundur baik-baik atau dengan kekuatan people power rakyat akan memaksa Jokowi mundur. Untuk menghindari keadaan lebih memburuk. (*)