Anak Songong Produk Pelanggar Etika
Inilah dampak pemaksaan dari praktik politik dinasti yang membabi-buta. Role model para pejabat pemburu jabatan untuk memuaskan syahwat berkuasa harus tampil totalitas, malah terjerembab di got dan kubangan comberan.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DALAM percapakan sehari-hari songong sering diartikan sombong, suka meninggikan diri, dan suka merendahkan orang lain. Dalam KBBI songong artinya adalah tidak tahu adat. “Arti songong adalah sombong atau tinggi hati. Asal kata songong dari bahasa gaul anak-anak remaja.”
Dalam waktu tidak kurang dari 24 jam "songong" langsung merajai media sosial. "Songong" dibahas nitizen sebanyak 13.500 lebih. Topik ini melampaui tagar #debat Cawapres.
Banyak nitizen yang menyayangkan sikap Cawapres Gibran Rakabuming Raka yang seakan-akan paling pintar dan menguasai materi Debat Keempat Cawapres di Jakarta Convention Center, Ahad (21/1/2024).
Seperti ingin tampil lebih prima dari cawapres lainnya yang pasti lebih senior dalam keilmuan dan jam terbangnya di belantara politik.
Tentor Timses yang memandu Gibran dalam persiapan masuk dalam debat cawapres ini ada kesan terlalu memaksakan diri agar Gibran harus bisa tampil prima, yang muncul justru kesan anak idiot atau songong.
Tampilan tingak-tinguk seakan-akan mencari barang hilang untuk meng-counter Cawapres Machfud MD adalah contoh paling vulgar atas kesombongan, songong, dan idiotnya.
Bagi Timses atas kejadian tersebut sangat berat untuk mengembalikan citra Gibran yang memang masih dalam keterbatasan kemampuannya yang sangat minim (dan, bahkan kosong) untuk masuk dalam dunia politik yang sangat ganas dan keras.
Rentetan stigma hitam, busuk, dan negatif terus menerpanya dari sebutan “anak haram konstitusi”, lahir sungsang sampai anak songong, dan sangat mungkinkah akan muncul stigma lainnya karena kebodohan dan ketololannya akan muncul di kemudian hari.
Stigma dengan predikat anak "songong" sangat dekat dengan kalimat tokoh komunis Stalin tentang "useful idiot" (si dungu yang bermanfaat).
Inilah akibat anak yang masih ingusan dipaksakan untuk menempati posisi sebagai Cawapres yang sangat tidak logis dan melanggar nilai-nilai kepatutan dan hanya akan merusak harga diri bangsa dan kerusakan negara.
Ada saudara kandung dari "useful idiot" (si dungu yang bermanfaat) yaitu "fellow traveller" (kawan seperjalanan) suka pasang badan kelompok ini sebenarnya sama-sama idiot dan tolol.
Bisa jadi bahwa saudara kandung ini ada pada peran Tim Suksesnya karena harus berperan hanya sebagai kawan seperjuangan atau seperjalanan.
Modal aksinya hanya kesetiaan total tanpa reserve asal pasang badan, tugasnya adalah membuat skenario asal-asalan dengan semangat membabi-buta.
Inilah dampak pemaksaan dari praktik politik dinasti yang membabi-buta. Role model para pejabat pemburu jabatan untuk memuaskan syahwat berkuasa harus tampil totalitas, malah terjerembab di got dan kubangan comberan.
Dusta, bohong, licik, dan menipu itu sudah menjadi menu hariannya sebagai kawan seperjalanan dan seperjuangan.
Mereka beternak para idiot, tolol dan dungu bersekongkol sebagai peliharaan para bandar dan bandit politik yang harus terus berkuasa secara absolut ... bagi kehancuran bangsa dan NKRI.. (*)