Andai Pemilu/Pilpres Tanpa Jokowi?
Atau setidaknya, ada kesadaran kolektif dan keberanian dari pada ketua partai politik saat ini untuk melakukan koreksi tegas, dan melakukan terobosan hukum agar meminta Presiden supaya mundur atau cuti dari jabatannya. Baik secara yang “soft” maupun dengan aturan hukum yang memaksa.
Oleh: Anton Permana, Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute
IKLIM demokrasi di negara kita saat ini sedang mengalami turbulensi kuat, dampak dari kepungan awan cumulonimbus kekuasaan yang menggumpal di akhir musim hujan yang seharusnya mulai reda (masa jabatan).
Banyak kejadian, adegan, dan atraksi politik beberapa bulan terakhir ini yang membuat kita mulai muak dan pesimis terhadap masa depan kehidupan berdemokrasi di negara ini. Banyak tokoh yang sebelumnya kita anggap hebat, pintar, tiba-tiba kelihatan bodoh dan patah-patah lidahnya membuat pembenaran dari sebuah abstraksi kesusilaan nalar logika.
Pilihan untuk berdemokrasi adalah hasil konsensus suci dari para pendiri bangsa (negara berkedaulatan rakyat), serta kembali diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh para pejuang reformasi. Namun, saat ini seakan dihentakkan kepada ubin keras kenyataan sifat dasar kekuasaan bernama “otoritarianisme”.
Di dalam negara demokrasi, hukum adalah pilar utama dan etika moral adalah cahaya nilai yang sejatinya menerangi lorong gelap kekuasaan. Begitu juga dengan nilai transparansi dan kebebasan berpendapat adalah tolak ukur bahwa penyelenggaraan negara oleh para subjek pelakunya bersifat jujur dan bebas dari konspirasi kejahatan. Ketika ada kritikan perbedaan opini dibalas opini, ketika ada perbedaan pendapat dibalas dengan pendapat. Haram hukumnya menggunakan tangan kekuasaan untuk membungkam kebenaran.
Begitu juga hendaknya, ketika negara kita masuk pada fase perhelatan demokrasi bernama Pemilu dan Pilpres. Dimana ini adalah momentum sakral dalam menentukan proses rekruitmen kepemimpinan nasional yang akan melanjutkan estafet kekuasaan dan roda pemerintahan ke depan.
Sebagai negara demokrasi dengan jargon “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), memberikan pesan bahwa seharusnya kemurnian suara pilihan rakyat dalam memilih pemimpinnya harus bebas dari segala bentuk kejahatan elektoral. Baik dalam proses awal, maupun proses perhitungannya, hingga proses penetapannya.
Putusan MK dengan merubah norma hukum dalam sebuah Undang-Undang, yang menjadikan Gibran Rakabuming Raka “melenggang” maju menjadi Cawapresnya Prabowo Subianto, telah meluluh lantakkan nalar logika hukum dan nurani akademis konstitusi negeri ini.
Bukan hanya semata Gibran anak kandung Presiden Joko Widodo, dan ponakan Ketua MK Anwar Usman. Namun secara Yuridis Formil, MK yang seharusnya menjadi benteng terakhir konstitusi telah mencoreng hitam jidatnya sendiri. MK yang seharusnya berperan sebagai “negatif legislator” telah melakukan “abuse of power” melampaui kewenangannya. Itu belum lagi kita bicara azas “conflict of interest” dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang bersih dari KKN.
Maksudnya di sini adalah, sudah tercatat banyak fakta kejadian atraksi dari para penyelenggara pemerintahan hari ini, atas nama kekuasaan melakukan “cawe-cawe” pada proses penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres. Bahkan sejak awal, pihak KPU nya pun banyak melakukan blunder kebijakan seperti dugaan diskriminatif terhadap seleksi partai politik yang lolos menjadi peserta Pemilu, hingga kembali MK yang berulang kali tanpa lelah menolak gugatan tentang Presidential Threshold yang jelas mengebiri hak kedaulatan rakyat yang seharusnya dijunjung tinggi sebuah negara yang mengaku berdemokrasi.
Artinya, dari semua rangkaian peristiwa hukum ini, wajar muncul berbagai macam asumsi, dugaan dan kecemasan akan nasib demokrasi di negara ini. Ditambah lagi dengan isu intimidasi aparat keamanan dan penggunaan infrastruktur kekuasaan seperti mobilisasi perangkat desa minggu kemaren, dalam mendukung pasangan calon tertentu yang saat ini masih menjadi bahagian dari kekuasaan.
Muncul rasa ketidakpercayaan masyarakat. Akankah Pemilu/Pilpres nanti akan bisa berjalan Jurdil dan berkualitas sesuai amanah konstitusi? Bagaimana memisahkan dan menjamin bahwa Presiden Jokowi tidak cawe-cawe menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan anak kandungnya? Baik yang maju jadi Cawapres Gibran, maupun upaya meloloskan partai politik yang dipimpin anak bungsunya Kaesang Pangarep?
Secara etika dan moralitas, kalau Jokowi itu adalah seorang negarawan sejati, tentu pilihan mundur dari jabatan Presiden adalah sebuah opsi dan cara terhormat dan gentleman. Agar kepercayaan masyarakat tetap tumbuh, dan apapun hasil Pemilu/Pilpres mendapatkan legitimasi kuat dari rakyat.
Secara ketatanegaraan, kekuasaan Presidensial di Indonesia menjadikan kekuasaan Presiden itu sangat full power. Apalagi kalau partai politiknya sudah disandera permasalahan hukum. Maka lumpuhlah trias politika yang menjadi ruh utama negara demokrasi itu.
Dengan kekuasaan Presidensial yang sangat kuat itu, menjadikan sifat dasar seorang Presiden itu sangat menentukan wajah demokrasi di negara kita. Sebab pedang kekuasaan di tangannya sangat “rawan” disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Semua tombol kekuasaan dan kewenangan ada di tangannya. Yang mengikatnya hanya nilai moral, integritas, dan spritual keagaman semata.
Bahkan konstitusi dan hukum pun dengan mudah bisa dikendalikannya. Makanya, situasi dan kondisi inilah yang sangat membahayakan nasib bangsa dan negara ini kedepan. Bahkan lagi, mohon maaf, seandainya Presiden saat ini memerintahkan KPU langsung menetapkan pasangan calon Prabowo – Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden tanpa Pilpres pun bisa. Toh siapa yang berani melawan?
Maksudnya, kalau dibiarkan, bisa-bisa negara Indonesia ini bergeser dan berubah menjadi negara dinasti, negara otoriter, negara total absolute, yang hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Rakyat dan hukum hanya jadi objek politik. Negara berubah menjadi entitas baru ibarat organisasi swasta yang dimiliki segelintir elit kekuasaan “berbaju negara”. Arah ke sana semakin tampak nyata.
Untuk itulah, kita semua sangat berharap, seandainya Presiden Jokowi mau berlapang dada, mau mengundurkan diri, agar ada jaminan Pemilu/Pilpres 2024 nanti berjalan dengan jujur, adil, bersih, dan berkualitas. Meski banyak yang sinis dan pesimis beliau mau. Bahkan ada yang menganggap yang akan terjadi justru sebaliknya.
Atau setidaknya, ada kesadaran kolektif dan keberanian dari pada ketua partai politik saat ini untuk melakukan koreksi tegas, dan melakukan terobosan hukum agar meminta Presiden supaya mundur atau cuti dari jabatannya. Baik secara yang “soft” maupun dengan aturan hukum yang memaksa.
Saya yakin, mayoritas rakyat pasti akan mendukung penuh turun bersama.
Namun apapun itu, sebagai warga negara yang cinta negeri ini baik/baik saja, punya kewajiban memberi peringatan kepada mereka. Biarkanlah rakyat memilih Pemimpinnya sesuai dengan hati nuraninya. Biarkan para aparatur negara, para penyelenggara pemilihan seperti KPU, Bawaslu murni menjadi penyelenggara yang independent tanpa intimidasi dan cawe-cawe kekuasaan.
Sesuai judul tulisan kita di atas, Pemilu dan Pilpres tanpa Jokowi selaku Presiden akan lebih baik dan fair bagaimanapun bentuknya. Apakah mengundurkan diri atau minimal cuti. Agar ada jaminan, tidak terjadi upaya penyalahgunaan kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan anak-anaknya dalam kontestasi politik.
Kita tunggu sikap gantleman dan kenegarawanan seorang Ir Joko Widodo terhadap bangsa dan negara ini. Hhmmmm…. (*)