Apakah Presiden Boleh Berkampanye?

Idealnya, presiden harus mampu memisahkan peran sebagai kepala negara yang netral dengan peran politiknya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepresidenan dan proses demokrasi tetap terjaga.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

DALAM kunjungannya ke Bali, 3 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan atas dukungannya kepada Made Muliawan Arya, Calon Gubernur Bali. Made Muliawan adalah Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Bali yang dipimpin oleh Presiden.

Sorenya, pada hari yang sama, Presiden Prabowo mengunjungi kediaman mantan presiden Joko Widodo di Solo. Mereka makan siang di angkringan di sebuah restoran. Di saat yang sama, di restoran yang sama, hadir pula pasangan Calon Gubernur Jawa Tengah Achmad Luthfi dan Taj Yasin.

Beberapa hari kemudian muncul foto mereka berdua bersama dengan Presiden Prabowo. Ada pesan pada foto itu, isinya ditafsirkan sebagai dukungan Prabowo kepada Achmad Luthfi dan Taj Yasin untuk memenangkan Pilkada Jawa Tengah.

Peristiwa di atas memunculkan persoalan apakah presiden boleh berkampanye mendukung salah seorang calon kepala daerah? Pertanyaan ini sebetulnya sudah muncul pada masa pemilihan presiden yang lalu.

Saat itu, Presiden Joko Widodo tanpa tedeng-aling-aling berkampanye untuk kemenangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Jokowi tidak sedang membela partainya saat itu, ia membela anaknya. Namun kedua peristiwa di atas perlu dibedakan.

Kasus kampanye Presiden Prabowo murni muncul dari problema kompleksitas politik, sementara kampanye mantan Presiden Jokowi adalah tindak kriminal karena jelas menggunakan fasilitas dan keuangan negara. Ada cukup banyak aturan yang melarang penggunaan fasilitas dan keuangan negara untuk tujuan politik partisan.

Artikel ini membatasi diri untuk membahas peran presiden, kompleksitas politik, serta pro dan kontra seputar keterlibatan presiden dalam kampanye politik.

Kepala Pemerintahan dan Kepala Daerah

Presiden memiliki dua peran utama dalam sistem politik di banyak negara, termasuk Indonesia: sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah pemimpin eksekutif yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan, manajemen administrasi, serta memastikan kesejahteraan rakyat.

Sebagai kepala negara, presiden itu melambangkan persatuan bangsa dan berdiri sebagai simbol negara di tingkat domestik maupun internasional. Namun, ketika masa pemilihan, pertanyaan sering muncul: apakah presiden boleh berkampanye untuk kandidat dari partainya, terutama dalam pemilihan kepala daerah?

Dalam perannya sebagai kepala pemerintahan, presiden tentu terikat pada afiliasi politik, terutama jika ia berasal dari partai politik tertentu yang turut mendukungnya hingga terpilih sebagai pemimpin negara. Dalam konteks ini, wajar jika presiden memiliki kepentingan untuk mendukung kandidat yang berasal dari partainya agar dapat bekerja sejalan dengan visinya.

Hal ini dapat memfasilitasi kesinambungan kebijakan, terutama di tingkat daerah, di mana kepala daerah yang memiliki pandangan politik serupa dengan presiden dapat membantu mewujudkan kebijakan nasional secara efektif.

Namun, sebagai kepala negara, presiden juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga netralitas dan memelihara persatuan bangsa. Kepala negara seharusnya bersikap inklusif dan tidak memihak satu kelompok politik secara eksplisit.

Tindakan yang terlalu politis dari seorang presiden dapat menimbulkan persepsi bahwa ia lebih mengutamakan kepentingan partai daripada kepentingan bangsa secara keseluruhan. Presiden Prabowo diketahui sangat mendukung persatuan dan kesatuan bangsa.

Kampanye dan dukungan presiden kepada salah satu kandidat dapat memicu perpecahan di masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki afiliasi politik yang berbeda.

Kebebasan Presiden untuk Berkampanye

Pada dasarnya, tidak ada undang-undang yang secara eksplisit melarang presiden untuk berkampanye. Dalam konteks demokrasi, kebebasan berekspresi merupakan hak setiap warga negara, termasuk presiden.

Sebagai pemimpin yang memiliki basis dukungan politik, presiden juga memiliki hak untuk dapat mendukung kandidat dari partainya sendiri. Dalam hal ini, ada beberapa argumen yang mendukung keterlibatan presiden dalam kampanye politik.

Kebebasan Berpolitik. Presiden, meskipun menjabat sebagai kepala negara, adalah individu yang memiliki hak politik. Ia adalah bagian dari partai yang mendukungnya, dan karenanya wajar jika ia merasa berkewajiban untuk mendukung kandidat dari partai yang sama. Hak untuk berkampanye sejalan dengan prinsip kebebasan berpolitik yang dijamin dalam demokrasi.

Kepentingan Kesinambungan Kebijakan. Salah satu alasan presiden berkampanye adalah untuk memastikan kesinambungan kebijakan yang ia perjuangkan. Kepala daerah yang berasal dari partai yang sama diharapkan akan mendukung visi dan misi presiden, serta melaksanakan program-program pembangunan yang sejalan dengan rencana pemerintah pusat. Hal ini akan membantu pencapaian target pembangunan nasional secara lebih efektif.

Menjamin Dukungan Politik. Dalam sistem politik yang multipolar, dukungan dari berbagai level pemerintahan sangat penting untuk menjamin efektivitas kebijakan. Seorang presiden mungkin merasa perlu untuk memastikan bahwa kepemimpinan di tingkat daerah didukung oleh kandidat yang memiliki visi yang sejalan. Oleh karena itu, presiden memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa pemimpin daerah berasal dari koalisi politik yang sama.

Meski memiliki beberapa alasan kuat untuk berkampanye, keterlibatan presiden dalam kampanye politik juga memicu beberapa kontroversi dan argumen yang menentangnya. Berikut adalah beberapa alasan yang mendasari penolakan terhadap keterlibatan presiden dalam kampanye.

Netralitas Kepala Negara. Sebagai simbol persatuan bangsa, presiden diharapkan untuk netral dan tidak menunjukkan keberpihakan terhadap partai tertentu selama masa pemilihan. Jika presiden secara terbuka mendukung salah satu kandidat, ia dapat kehilangan wibawa sebagai kepala negara yang harus mempersatukan seluruh rakyat, bukan hanya konstituen dari partai tertentu. Sikap yang tidak netral ini berpotensi mengundang polarisasi di masyarakat.

Penyalahgunaan Kekuasaan. Presiden adalah pejabat dengan kekuasaan eksekutif yang sangat besar, dan menggunakan posisinya untuk berkampanye dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

Ada kekhawatiran bahwa presiden akan menggunakan aparat (seperti polisi, birokrasi, TNI) dan sumber daya negara (seperti fasilitas dan anggaran pemerintah), untuk mendukung kampanye kandidat dari partainya. Hal ini tidak hanya tidak adil bagi kandidat lain, tetapi juga menimbulkan masalah etika dan akuntabilitas publik.

Mengaburkan Pemisahan Fungsi. Keterlibatan presiden dalam kampanye berpotensi mengaburkan pemisahan fungsi antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat sulit membedakan kapan presiden bertindak atas nama negara dan kapan ia bertindak atas nama partai politik. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan peran yang dapat merugikan proses demokrasi dan legitimasi pemilu itu sendiri.

Potensi Konflik Kepentingan. Presiden yang secara aktif berkampanye juga dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai pemimpin negara, presiden memiliki kewajiban untuk melayani semua rakyat tanpa pandang bulu, tetapi keterlibatannya dalam kampanye bisa menunjukkan keberpihakan dan mendiskreditkan kelompok politik lainnya. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap presiden dan lembaga negara secara keseluruhan.

Pengalaman Internasional dan Pandangan Hukum

Di berbagai negara, praktik presiden atau kepala negara yang berkampanye untuk kandidat dari partainya sendiri memiliki variasi dalam aturan dan praktik. Di Amerika Serikat, misalnya, presiden memiliki hak untuk berkampanye bagi partainya, tapi terdapat batasan ketat mengenai penggunaan fasilitas negara dan pendanaan kampanye.

Presiden dilarang menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan kampanye, dan setiap kegiatan kampanye harus dibiayai oleh partai atau komite kampanye.

Di Indonesia, peraturan tentang netralitas presiden dalam kampanye tidak sepenuhnya jelas. Undang-undang memang melarang aparatur sipil negara (ASN) untuk terlibat dalam kampanye politik, tetapi tidak ada aturan eksplisit yang mengatur netralitas presiden dalam konteks yang sama. Meski demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kerap mengingatkan agar presiden menjaga netralitas, terutama dalam hal penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan politik.

Dampak Terhadap Demokrasi

Keterlibatan presiden dalam kampanye juga menimbulkan dampak bagi demokrasi, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, keterlibatan presiden dapat meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat posisi partai di tingkat lokal. Namun, di sisi lain, hal ini dapat mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi fairness dan persaingan yang adil.

Jika presiden terlalu aktif berkampanye, hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam kompetisi politik dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu.

Demokrasi yang sehat membutuhkan proses pemilu yang adil, transparan, dan kompetitif. Keterlibatan presiden sebagai sosok yang memiliki kekuasaan besar dalam kampanye politik berpotensi mengancam prinsip-prinsip ini, terutama jika ia tidak bisa membedakan perannya sebagai kepala negara dengan perannya sebagai tokoh politik.

Oleh karena itu, diperlukan batasan-batasan yang jelas dan penerapan prinsip etika yang ketat agar keterlibatan presiden tidak merusak tatanan demokrasi.

Kesimpulan: Haruskah Presiden Berkampanye?

Pertanyaan tentang apakah presiden boleh berkampanye untuk kandidat dari partainya adalah pertanyaan yang kompleks, dengan argumen yang kuat di kedua sisi. Di satu sisi, sebagai kepala pemerintahan dan anggota partai politik, presiden memiliki hak untuk mendukung kandidat dari partainya guna menjamin kesinambungan kebijakan dan efektivitas pemerintahan.

Di sisi lain, sebagai kepala negara, presiden memiliki tanggung jawab untuk menjaga netralitas, keadilan, dan persatuan bangsa.

Untuk menjaga keseimbangan antara kedua peran ini, mungkin diperlukan aturan yang lebih jelas dan ketat terkait keterlibatan presiden dalam kampanye politik. Prinsip transparansi, etika politik, dan batasan penggunaan fasilitas negara harus ditegakkan supaya proses demokrasi tetap berjalan dengan baik.

Idealnya, presiden harus mampu memisahkan peran sebagai kepala negara yang netral dengan peran politiknya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepresidenan dan proses demokrasi tetap terjaga.

Dengan demikian, apakah presiden boleh berkampanye? Jawabannya bukanlah sekadar "boleh" atau "tidak boleh", tetapi lebih pada "bagaimana" dan "sejauh mana" keterlibatan presiden itu dilaksanakan, dengan tetap menjaga integritas proses demokrasi dan kepercayaan masyarakat.

Demokrasi bukan hanya tentang hak, tetapi juga tentang tanggung jawab dan menjaga keadilan bagi seluruh rakyat. (*)