Gibran Rakabumi Raka Menjadi Simbol Perlawanan Melinial
Tanpa disadari oleh para pakar dan senior tersebut telah membesarkan Gibran Rakabuming Raka, sampai pada titik kulminasi hujatan makian berputar menjadi empati bagi milenial terhadap Gibran, dianggap sebagai kawan senasib dan seperjuangan kaum milenial.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
TERLEPAS dari perdebatan soal Putusan 90 Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebuah kesalahan hakim hakim MK. Tetapi putusan MK itu menjadi final dan tidak bisa dibatalkan.
Bukan sekali ini saja skandal di MK terjadi. Sejarahnya MK memang bukan Makamah Konstitusi tetapi Makamah Keuangan, sogok-menyogok hal yang biasa. Mungkin kita masih ingat skandal korupsi Patrialis Akbar. Proses hukum terhadap mantan Hakim Konstitusi (MK) Patrialis Akbar itu berakhir dengan dijatuhi vonis 8 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Kemudian Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar yang Menggurita. Akil Mochtar diganjar hukuman seumur hidup, karena menerima suap dan gratifikasi terkait penanganan belasan sengketa pilkada di MK, serta tindak pidana pencucian uang.
Bahkan, menurut jurnalis senior Harian Kompas yang menulis buku "Akal-Akal Akil", yakni Budiman Tanuredjo, kasus korupsi Akil merupakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan di Indonesia. Belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua MK masuk penjara gara-gara terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan uang sampai ratusan miliar rupiah.
Dalam sejarahnya memang MK penuh skandal dan kasus putusan MK yang terjadi kali ini bukanlah masalah korupsi, tetapi MK telah melakukan penambahan norma baru yang bukan wewenang MK, karena itu masuk ranah pembuat UU: Legislatif.
Terlepas dari persoalan Putusan 90 itu, MK mendapat hujatan dan caci-maki yang ditimpahkan oleh Gunawan Mohammad, Eros Djarot, Eep Syaifulloh Fatah, Rocky Gerung, Butet Kartajasa, Panda Nababan, Masiton Pasaribu, dan banyak lagi buzer-buzer yang dahulu mendapat rezeki dari lapak Joko Widodo, berbalik arah seperti Denny Siregar dan kawan-kawan.
Dari kajian yang kami lakukan terhadap beberapa milenial di tiga kota, yaitu Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya, justru hujatan para senior yang merendahkan martabat Gibran Rakabuming Raka tersebut menjadi energi yang membesarkan Gibran.
Bayangkan sekekas Gunawan Mohammad, Rocky Gerung, Eros Djarot, Eep Syafulloh Fatah, Butet Kartajasa yang melakukan penghinaan, meremekan kemampuan, belum mampu menjadi wapres, tidak punya rekam jejak kemampuan menjadi cawapres.
Tanpa disadari oleh para pakar dan senior tersebut telah membesarkan Gibran Rakabuming Raka, sampai pada titik kulminasi hujatan makian berputar menjadi empati bagi milenial terhadap Gibran, dianggap sebagai kawan senasib dan seperjuangan kaum milenial.
Jadi anggapan para senior yang meremehkan kemampuan Milenial itu justru menjadi perlawanan.
Tanpa disadari oleh orang-orang tua itu telah membesarkan Gibran Rakabimuming Raka, dan tokoh muda ini telah dijadikan simbol oleh anak milenial untuk melakukan gerakan perlawanan pada para senior.
Hasil Sensus Penduduk 2020 telah menunjukkan bahwa penduduk Indonesia didominasi Generasi Z. Total terdapat 74,93 juta atau 27,94% dari total penduduk Indonesia. Potensi Generasi Z ini tentu ke depan akan berkembang dan membesar.
Inilah gambaran kesembronoan para senior yang hanya mampu mencaci-maki tetapi tidak mampu memberi solusi untuk menyelamatkan negeri ini.
Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 maka Indonesia menjadi negara tanpa pintu darurat.
Bagaimana Putusan MK melebihi UUD yang tidak bisa diubah, ini semua akibat dari UUD 2002 dan Hakim Konstitusi MK itu kekuasaannya melebihi dari lembaga apapun, termasuk kedaulatan rakyat sebab putusannya tidak bisa diubah walau salah.
Sebagai bangsa, jika nantinya Gibran Rakabuming Raka menjadi Presiden, maka inilah kesalahan pada mereka yang selama ini melakukan hujatan dan hinaan pada Gibran.
Kekacauan, kerusakan tata kelola negara ini disebabkan digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002, dan Pancasila diganti dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme, sehingga bangsa ini telah terjebak pada neo kapitalisme dengan proxy demokrasi, disembah sebagai agama baru.
Padahal, pendiri negeri ini sudah mengetahui dan mempelajari semua keadaan tersebut dengan masyarakat yang bermacam-macam suku, agama, dan golongan, tidak ada yang lebih baik dari Pancasila.
Oleh sebab itu, tak ada perubahan jika hanya mengusung keadilan sosial berdasarkan kesetaraan. Ini jelas merupakan kebohongan mana mungkin keadilan sosial diletakan pada sistem Liberalisme, Kapitalisme, omong kosong Pancasila itu kebih luas daripada hanya sekedar kesetaraan.
Marilah kita sebagai bangsa membangun kesadaran untuk kembali pada UUD 1945 dan Pancasila demi menyelamatkan bangsa dan negara ini. (*)