Bargaining Politik Jokowi – Mega Jegal Anies Baswedan
Ataukah Mega terpaksa bargaining politik dengan Jokowi untuk menyelamatkan kader-kader PDIP yang bernasalah hukum, seiring sejalan dengan berat hati batal mengusung Anies dalam Pilkada Jakarta 2024.
Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI
DEMI mencegah pertumpahan darah sesama rakyatnya, Bung Karno rela mengorbankan dirinya dalam peristiwa 1965. Kini, Megawati yang anak biologis Bung Karno di usia senjanya tengah diuji, sanggupkah melawan Joko Widodo dan oligarki sembari merelakan kader-kader PDIP bermasalah hukum sekaligus memberikan mandat ke Anies Baswedan untuk maju pada Pilkada Jakarta 2024?.
Satu-satunya alasan Megawati Soekarno Putri tidak mengusung Anies Baswedan dari PDIP untuk pilgub Jakarta adalah karena tekanan Jokowi. Pasalnya, Jokowi melakukan bargaining, jika Mega mengusung Anies, maka Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto dan beberapa kader PDIP bermasalah hukum lainnya termasuk yang ikut pilkada di beberapa daerah, akan dijebloskan ke penjara.
Jokowi masih punya kekuatan meski lengser kurang dari dua bulan. Jika Mega nekad usung Anies, maka agenda pilkada PDIP di beberapa daerah akan berantakan. Paling krusial ada target Hasto Sekjend PDIP yang akan dioperasi pada level penangkapan.
Hasto yang berperan besar dalam merekomendasikan calon kepala daerah dari PDIP, sejak lama memang sudah menjadi incaran KPK dan Kejagung. Sebut saja kasus Harun Masiku, DJKA dll, Hasto menjadi beban terberat bagi Mega dan PDIP.
Mega dalam pilihan yang sulit, begitu dilematis. Dalam satu sisi sudah mengambil jalan oposisi namun masih tersandera politik oleh Jokowi.
Di lain sisi Mega menyadari betul, bahwasanya hanya Anies yang memiliki kekuatan akar rumput yang bisa menang pilkada Jakarta melawan calon gubernur boneka yang diusung rezim Jokowi (baca: 12 partai politik brekele).
Mega tengah diuji karakter dan integritasnya. Memilih antara mengusung atau menjegal Anies yang linear dengan takluk atau melawan pengaruh dan tekanan Jokowi. Mega dihadapkan pada pilihan realitas politik yang sangat menentukan masa depan konstitusi dan demokrasi di Indonesia melalui politik pilkada Jakarta.
Akhirnya sikap oposisi PDIP akan diuji dalam menentukan fenomena Anies. Figur Anies yang telah menjadi musuh besar dan utama bagi Jokowi dan oligarki sehingga segala cara dilakukan dengan menjegal Anies untuk memegang peranan penting dan strategis dalam jabatan publik.
Akankah Mega dengan PDIP membangun kolaborasi dengan Anies untuk melawan Jokowi dan oligarki yang juga telah menghianatinya?.
Rakyat hanya tinggal menunggu sejarah yang akan ditulis Mega sendiri, menjadi pahlawan atau penghianat sebagaimana Jokowi dan oligarki yang kini ditentangnya. Sanggupkah hati nurani Mega bicara demi kepentingan konstitusi dan demokrasi yang sejati?
Ataukah Mega terpaksa bargaining politik dengan Jokowi untuk menyelamatkan kader-kader PDIP yang bernasalah hukum, seiring sejalan dengan berat hati batal mengusung Anies dalam Pilkada Jakarta 2024.
Akhirnya, peta politik memang berubah. PDIP lebih memilih usung kader sendiri, Pramono Anung – Rano Karno sebagai pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta 2024. Bukan Anies – Rano. (*)