Bonanza Panggung Sejarah Dewan Perwakilan Daerah
“Banyak titik kesepahaman saat kami berdialog dengan Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Dialog yang diagendakan 30 menit, berkembang hingga dua jam”.
Oleh: Tamsil Linrung, Calon Pimpinan DPD RI 2024-2029
EPISODE transisi pemerintahan adalah bonanza di panggung sejarah bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Limpahan potensi mandat konstitusi, adalah kekuatan tanpa batas, infinity power bagi DPD mengukir ulang kontribusi. Mengambil peran sentral dalam menavigasi. Menorehkan kisah monumental untuk ibu pertiwi, memperkuat tatanan arsitektur demokrasi.
DPD harus naik kelas, bukan lagi sebagai figuran dan ornamen politik yang asik dengan diri sendiri. Tetapi harus tampil sebagai aktor utama yang berani melampaui batasan tembok-tembok birokrasi. Memperjuangkan otonomi, dan menjadi motor penggerak demokrasi substansial yang menjawab espektasi dari seantero negeri.
Strategi politik kelembagaan DPD adalah tidak terperangkap pada dikotomi koalisi dan oposisi. DPD harus berada di posisi penting sebagai solidarity maker di antara berbagai ketegangan yang rentan mengancam stabilitas demokrasi.
Di bawah bendera “partai daerah” yang membingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DPD bisa bekerjasama dengan semua elemen bangsa. Mengambil peran mediasi dalam kerangka artikulasi aspirasi. DPD mempromosikan dialektika konstruktif, menawarkan solusi jangka panjang yang bertumpu pada kepentingan daerah yang hakiki.
DPD mengemban tugas untuk memastikan bahwa setiap daerah, tak peduli seberapa kecil atau terpencil wilayahnya, memiliki representasi yang setara dan berimbang dalam formulasi kebijakan nasional. DPD menyadari, dalam sistem presidensial yang dinamis seperti di Indonesia, seringkali ada risiko bahwa aspirasi dari penjuru negeri kurang berdengung di kancah politik pusat.
Ada dua kemungkinan. Karena belum masuk skala prioritas dalam teropong pemerintah pusat. Kedua, terjadi karena ketidaktahuan. Tidak ada input informasi. Permasalahan tidak sampai di Jakarta karena bureaucracy barrier atau disebabkan oleh problem komunikasi. Akses terbatas. Realitas-realitas teknis seperti itu sering membuat Pemda “mati kutu”. Lalu mengeluh.
Kita harus membuka mata untuk kepentingan bangsa. Fakta-fakta itu tidak bisa dikesampingkan. Karena itu, ijtihad politik DPD sebagai lembaga tinggi negara yang punya akses langsung kepada masyarakat daerah dan kewenangan konstitusional di pusat, adalah proaktif melakukan improvisasi peran mediasi dan agregasi. Termasuk berdialog dengan pemerintah pusat.
Di dalam buku “Paradigma Baru, Ijtihad Senator Menata Arsitektur Demokrasi”, saya mengulas secara mendalam bagaimana gagasan improvisasi peran DPD untuk memperkuat positioning, dan juga peran dalam spektrum kebangsaan. Buku paling baru yang saya tulis ini, akan segera beredar.
Alhamdulillah, kabar baiknya, dalam dialog dengan Presiden terpilih, Bapak Prabowo Subianto dengan kami selaku calon pimpinan DPD, Sultan B Najamuddin Calon Ketua DPD, Calon Wakil Ketua masing-masing GKR Hemas, Yorris Raweyai, dan saya sendiri Tamsil Linrung, banyak titik kesepahaman ke mana navigasi arah bangsa ini ke depan.
Presiden terpilih, Prabowo Subianto berharap dan mengajak agar ke depan DPD menjadi lembaga negara yang lebih kuat. Terutama dalam peran dalam mensejahterakan rakyat sebagaimana juga keinginan itu menjadi agenda utama pemerintahan mendatang. Presiden terpilih menawarkan, harus ada pertemuan antara Presiden dengan DPD RI yang terjadwal secara rutin minimal dua kali dalam setahun.
Pertemun itu bentuk konkret bagaimana dua lembaga tinggi negara, lembaga kepresidenan dan kabinetnya, bersinergi, bahu-membahu dengan DPD untuk membahas agenda percepatan untuk perwujudan kesejahteraan rakyat. Pak Prabowo berujar, “Saya berharap, membantu saya bukan sebagai pribadi. Tapi sebagai Presiden untuk memberikan masukan membangun perpolitikan yang efesien”.
Sebagai kilas balik, saya dan pak Prabowo memang lama bersama di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Beliau terpilih secara aklamasi dalam Munas HKTI ke-7. Didapuk sebagai Ketua Umum 2010-2015. Saya diminta menjadi salah satu Ketua Dewan Pimpinan Nasional. Kami dilantik di Aula Kementerian Pertanian waktu itu. Ingatan beliau kuat. Beliau masih ingat moment itu dan berulang kali menyampaikan terima kasih. “Terima kasih mas Tamsil”, berkali-kali beliau ucapkan itu.
Pertemuan, tukar pikiran kami dengan Presiden tepilih, Prabowo Subianto berjalan hangat. Beliau sangat terbuka. Kami berdiskusi hingga dua jam. Meskipun sebelumnya diagendakan hanya 30 menit saja. Banyak isu yang mengemuka. Semua bermuara pada tujuan nasional, rakyat harus sejahtera.
Pertemuan dengan Presiden terpilih, adalah salah satu manifestasi dari upaya DPD merevitalisasi peran, mengoptimalkan kontribusi untuk negeri. DPD menjaga keseimbangan agar suara-suara daerah tetap diperhitungkan dalam proses demokrasi.
Membawa isu-isu daerah untuk didialogkan dengan pemerintah. Dalam konteks Pak Prabowo Subianto, beliau berulang kali secara terbuka menyampaikan Indonesia ini negara besar. Harus dikelola secara bersama oleh semua elemen bangsa.
Dalam duduk bersama dengan pemerintah ke depan, seperti harapan Presiden terpilih, DPD ingin memastikan bahwa kepentingan lokal mewarnai dinamika politik dan kebijakan nasional. Bagi kita, setiap jengkal wilayah di republik ini tentunya harus diperhitungkan sebagai bagian dari NKRI yang terimplikasi oleh kebijakan di Jakarta.
Dengan menyadari posisi politik DPD saat ini, DPD secara kelembagaan maupun secara person bagi setiap senator, wajib hukumnya membangun komunikasi dengan berbagai pihak. Terutama pimpinan-pimpinan lembaga negara yang punya kewenangan strategis guna mensupport penguatan DPD.
Salah satu elemen penting yang bisa men-support penguatan DPD adalah Presiden, oleh karena itu sehingga dibutuhkan komunikasi intensif agar DPD bisa mengambil peran lebih optimal lagi untuk memperjuangkan kepentingan daerah.
Membangun kesepahaman dan berkolaborasi pastinya tidak menegasi prinsip check and balances, sehingga DPD secara kelembagaan dapat memberikan masukan sekaligus pengawasan secara konstruktif kepada pemerintah. Agar program-program yang terkait kedaerahan bisa mempercepat kesejahteraan rakyat.
DPD juga bisa menjadi jembatan komunikasi pemerintah pusat dengan daerah untuk merumuskan format otonomi daerah yang seimbang. Apalagi di tengah pergeseran pola relasi pemerintah pusat dengan daerah dari sentralistik menjadi desentralistik. Kekuasaan tidak lagi hanya berada di tangan pemerintah pusat, tetapi juga berpencar ke daerah-daerah.
Dalam situasi dinamis ini, pemerintah pusat butuh “mata” dan “mulut” yang langsung bertatap muka dan berdialog dengan rakyat di daerah. Peran itu, kekuatan itu, telah lama disematkan sebagai mahkota DPD. Mandat konstitusi. Namun, mungkin karena mahkota itu ada di kepala, kita jadi sulit melihatnya. Bahkan tidak menyadari keberadaannya.
Kita berharap, Kekuatan dua lembaga tinggi negara dapat disinergikan menjadi infinity power yang menggerakkan kesejahteraan. Karena itulah manifestasi bonanza panggung sejarah Dewan Perwakilan Daerah RI. (*)