Catatan untuk Professor Rochmat Wahab: Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam
Sebagai dedengkot Nahdlatul Ulama, Prof. Rochmat adalah orang lembut yang selama ini tidak banyak dikenal sebagai tokoh sentral bangsa kita. Namun, kehadirannya kemarin dan pidatonya telah membuat landskap perjuangan kaum perubahan semakin jelas, ideologis dan plural.
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
DARI semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy Channel Youtube). Bukan berarti pidato tokoh-tokoh lainnya seperti Jumhur Hidayat, Prof. Eggi Sudjana, Prof. Din Syamsuddin, Jenderal Purn Fachrul Rozi, Mayor Jenderal Purn Soenarko, Kiai Besar FPI Sobri Lubis, dan lainnya kurang hebat, namun secara relatif saya harus mencatat pentingnya pidato Prof Rochmat ini.
Ada 3 alasan untuk melihat lebih jauh pidato Prof. Rochmat tersebut. Pertama, Prof Rochmat telah menjelaskan keterkaitan Hakim Konstitusi dengan neraka. Tentu saja ini urgent diangkat dalam isu Putusan hakim pada Senin, 22 April 2024. UU Kehakiman, merujuk pada UUD 1945, menyebutkan bahwa keputusan hakim dimulai dengan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Tuhan Yang Maha Esa, dalam terminologi Islam adalah Allah Subhana Wa Ta'ala. Sehingga, makna berdasarkan Ketuhanan YME tersebut menghubungkan hakim dengan penciptaan-Nya serta ajaran-Nya yang harus diikuti.
Dalam pidatonya Prof Rochmat menyebutkan ada dua tugas manusia di muka bumi, yakni sebagai hamba dan sebagai pengemban amanah menjaga bumi (Khalifatullah fil Ard). Hakim harus menjaga keseimbangan bumi, jangan merusak bumi ini. Ini merupakan intropeksi bagi semua anak bangsa, khususnya umat Islam, yang baru selesai melakukan refleksi diri pada bulan Ramadhan.
Sebagai catatan tambahan, mengaitkan keilahian juga sebelum ini telah dilakukan Megawati Soekarnoputri dalam tulisannya di Kompas, dengan mengutip istilah keagaaman "qonaah", terkait dirinya sebagai sahabat pengadilan MK (Amicus Curiae).
Menurut Prof. Rochmat, dalam Islam ada 3 golongan hakim. Dua golongan pasti masuk neraka. Hanya satu golongan masuk surga.
Golongan yang masuk surga adalah hakim yang mumpunyai ilmu atau berkapasitas (profesional) dan sekaligus memutuskan berdasarkan kebenaran. Sedangkan hakim lainnya, yang masuk neraka, adalah hakim berilmu atau profesional tapi culas alias curang. Hal ini, menurutnya, terjadi karena banyak hal, diantaranya disogok maupun ditekan. Golongan lainnya hakim bodoh, yang akhirnya membuat keputusan salah.
Alasan kedua, Prof. Rochmat sebenarnya seorang Kiai Besar. Merujuk Wikipedia, istrinya adalah cucu Kiai Wahab Chasbullah, pendiri ormas terbesar Nahdlatul Ulama (NU). Dia sendiri pernah menjadi Ketua PWNU Yogyakarta dan malang melintang diorganisasi kemahasiswaan NU sejak mahasiswa.
Kehadiran Prof. Rochmat dalam demontrasi kemarin tentu melengkapi klaim pluralitas Islam di Indonesia. Jika Prof. Eggi dan Kiai Sobri Lubis saja, misalnya, orang-orang menganggap mereka hanya sebagai representasi kaum militan.
Padahal dalam teori totalitas militanisme sebuah gerakan, keikutsertaan tokoh-tokoh "non-militan" merupakan faktor kunci sebagai ukuran dalamnya kemarahan rakyat. Ditambah lagi dua orang tokoh cawapres yang merasa teraniaya dalam isu kecurangan adalah tokoh utama NU, yakni Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Sudah seharusnya ada tokoh NU dalam sebuah demontrasi akbar.
Prof. Rochmat sepanjang sejarahnya selama ini dikenal sebagai tokoh yang lembut. Yang berpikir penuh kalkulasi. Sehingga keputusan atau keterlibatan dia dalam sebuah demontrasi besar tersebut menunjukkan tingkat tragis yang dialami bangsa ini.
Pada pidatonya kemarin, selain urusan neraka yang dikaitkan dengan keberadaan hakim konstitusi, Prof. Rochmat mengaitkan Jihad Fisabilillah pada keterlibatan aksi di depan MK kemarin. Kosa kata Jihad biasanya keluar dari mulut ustad kelompok militan garis keras. Namun, kemarin itu keluar dari mulut Prof Rochmat sendiri, yang dikaitkannya dengan kelengkapan pilar Islam.
Hal ini menunjukkan adanya anomali besar dalam perjalanan bangsa kita. Suatu kecemasan yang merasuk jiwa Prof. Rochmat tersebut.
Alasan ketiga, pentingnya pidato Prof. Rochmat adalah bangsa ini di persimpangan jalan. Sebagai tokoh pendidikan, yakni anggota Majelis Wali Amanah UPI Bandung dan Professor di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), analisis Prof. Rochmat pastinya bertumpu pada kualitas sumber daya manusia (human capital). Selain itu, seorang pendidik, biasanya berpikir analisis "long term". Prof. Rochmat mengatakan bahwa saat ini Indonesia akan menjadi bangsa progresif atau sebaliknya, mundur.
Statemen seperti ini adalah sebuah assesment berbahaya. Sebab, semua kita tahu hampir 79 tahun merdeka kita terjebak pada bangsa ber IQ rendah, atau rerata 78,49 (lihat World Population Review 2024), di bawah Myanmar, Kamboja, dan Vietnam, serta terjebak/dijebak dalam "pengemis bansos". Dengan demikian, kebangkitan bangsa ini diperlukan sekarang, hanya saatnya sekarang ini, yakni melalui spirit perubahan. Sebuah langkah membelokkan arah bangsa ke depan.
Menurut Prof. Rochmat, harus lebih banyak hakim MK yang mengambil putusan benar. Jika secara teori hakim masuk neraka dua kali lipat dibandingkan masuk surga, dengan dorongan kaum idealis, seharusnya yang masuk surga tersebut lebih banyak 2 kali lipat. Dengan demikian bangsa ini akan selamat nantinya.
Penutup
Prof. Rochmat Wahab, tokoh pendidikan, telah merujuk pendapat Rasulullah SAW, bahwa secara teoritis 2/3 hakim masuk neraka. Hal ini berdasarkan penggolongan hakim dalam Islam, yakni sepertiga yang masuk surga adalah yang berpengetahuan atau profesional dan memutuskan dengan kebenaran. Sedangkan lainnya, pintar tapi culas serta hakim bodoh.
Aksi demonstrasi Jum'at Akbar di depan MK kemarin merupakan panggilan Jihad Fisabilillah sebagai tanggung jawab keimanan manusia menjaga bumi dari kerusakan. Khalifatullah fil ard.
Sebagai dedengkot Nahdlatul Ulama, Prof. Rochmat adalah orang lembut yang selama ini tidak banyak dikenal sebagai tokoh sentral bangsa kita. Namun, kehadirannya kemarin dan pidatonya telah membuat landskap perjuangan kaum perubahan semakin jelas, ideologis dan plural.
Semoga saja para hakim MK memikirkan teriakan orang-orang idealis, seperti Profesor Rochmat, sebagai bagian spiritual dalam pengambilan putusan hakim agar KPU melakukan pemungutan suara ulang, sehingga kita menemukan pemimpin bangsa secara hakiki.
Namun, jika Hakim MK culas atau bodoh, biarlah mereka nantinya menjadi penghuni neraka jahannam. (*)