Cawe-Cawe Jokowi dan Prabowo dalam Pilkada Menjadi Ancaman Demokrasi

Dengan demikian, meskipun kita menghargai niat baik dari mantan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo, kita harus ingat bahwa kehadiran mereka dalam Pilkada seharusnya tidak menghambat proses demokrasi yang adil dan terbuka.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DALAM suasana politik yang semakin dinamis menjelang Pilkada 2024, muncul sebuah fenomena yang patut kita cermati dengan seksama, yaitu keterlibatan mantan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto dalam dinamika politik lokal.

Meskipun niatnya untuk memberi dukungan atau kontribusi dalam pembangunan daerah tidak bisa dipandang negatif, ada bahaya yang tersembunyi jika pengaruh mereka tidak dikelola dengan hati-hati. Keterlibatan aktif kedua tokoh besar ini dalam kontestasi Pilkada berpotensi menjadi ancaman bagi prinsip-prinsip demokrasi yang telah kita bangun selama ini.

Salah satu konsep yang perlu diingat adalah bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan yang bebas dan adil, tetapi juga pada kuatnya norma-norma yang mendasari kehidupan politik.

Sebagai contoh, dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dijelaskan bahwa penguatan demokrasi tidak hanya bergantung pada institusi formal seperti pemilu, tetapi juga pada norma yang melibatkan pengakuan terhadap lawan politik, kesediaan untuk berkompromi, dan penghormatan terhadap aturan main.

Ketika mantan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo terlibat langsung dalam Pilkada, apalagi dengan memberikan dukungan politik yang kuat, ada potensi untuk menciptakan polarisasi yang lebih tajam di kalangan masyarakat.

Pendekatan yang penuh dengan ambisi politik dapat mengarah pada konsolidasi kekuasaan yang berlebihan, menggerogoti ruang bagi calon-calon daerah yang lebih independen dan berpotensi lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Hal ini bukan hanya merusak kualitas pemilihan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap integritas proses demokrasi.

Kita juga harus menyadari bahwa demokrasi bukan hanya tentang menang dan kalah dalam pemilu, tetapi tentang menjaga agar semua pihak merasa diwakili dan dihargai.

Ketika tokoh-tokoh besar ini terlibat terlalu dalam dalam politik lokal, mereka bisa menutupi peluang bagi pemimpin-pemimpin baru yang bisa membawa perubahan positif dengan pendekatan yang lebih inklusif dan dekat dengan akar rumput.

Keterlibatan mereka, meski beralasan baik, dapat memberi kesan bahwa politik hanya dimainkan oleh segelintir elit, yang akhirnya merusak fondasi demokrasi yang sejati.

Dalam konteks ini, kita perlu memperkuat kesadaran kolektif untuk menjaga kebebasan dan independensi politik daerah, serta memastikan bahwa Pilkada tidak hanya menjadi panggung bagi tokoh-tokoh besar, tetapi juga memberi ruang bagi demokrasi yang sejati.

Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif semua lapisan masyarakat, bukan hanya elit politik yang saling berkompetisi untuk memperpanjang pengaruhnya.

Dengan demikian, meskipun kita menghargai niat baik dari mantan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo, kita harus ingat bahwa kehadiran mereka dalam Pilkada seharusnya tidak menghambat proses demokrasi yang adil dan terbuka.

Ke depan, mari kita jaga agar demokrasi kita tetap hidup dan berkembang, dengan memberi ruang bagi pemimpin-pemimpin daerah yang benar-benar berasal dari dan untuk rakyat. (*)