Cerita Petugas KPPS Tentang Kecurangan Pilpres Bermodus C-6

Sebagai penutup, ada lagi cerita seorang pemuda. Dia mengatakan, lurah setempat meminta dia mencoblos paslon 02 dua kali dengan janji duit. Si Pemuda menolak dengan santun. Dia selama ini tidak pernah menunjukkan pilihannya paslon 01.

Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News

MALAM tadi, sehabis sholat ‘isya, saya bincang-bincang dengan seorang petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di salah satu kelurahan di Medan. Tapi, maaf, tidak bisa saya sebutkan nama kelurahan dan nama petugas KPPS dimaskud.

Intinya, pencurangan Pilpres 2024 harus diakui sangat TSM (terstruktur, sistematis dan masif). Segala cara dilakukan. Termasuk menggunakan C-6 (undangan pencoblosan) yang sengaja tidak disampaikan kepada pemilih maupun C-6 yang masih saja dikirimkan kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia.

Pertama, si petugas menjelaskan tentang C-6 seseorang yang digunakan oleh orang lain pada pagi hari pada hari pemungutan suara. Ini ketahuan saat si pemilik asli C-6 itu, seorang wanita, kemudian datang dengan menunjukkan KTP. Dia menggunakan KTP karena tidak pernah menerima C-6.

Oleh petugas KPPS, Ibu itu tidak diperbolehkan mencoblos karena C-6 dia telah digunakan oleh seseorang yang diduga orang bayaran. Hebatnya, kepala lingkungan (semacam ketua RT/RW) tempat Ibu tersebut bermukim mengarahkan wanita itu untuk mencoblos di TPS lain. Dan bisa.

Si petugas mengatakan bahwa modus C-6 itu dilakukan di mana-mana. Karena memang efektif dan mudah. Kelihatannya modus C-6 ini dijadikan cara mencoblos ilegal di seluruh Indonesia.

Yang kedua, si petugas KPPS bercerita tentang segerombolan anak muda, sekitar 25 orang, yang sejak pagi berkumpul di depan TPS. Anak-anak muda itu sudah mencoblos di satu TPS lain setelah mereka mencoblos di TPS sendiri.

Saya sendiri melihat anak-anak muda itu. Sangat mencurigakan. Dan benar. Mereka ini adalah “pencoblos bayaran” yang berpindah dari satu TPS ke TPS lain. Mereka menggunakan C-6 orang lain. Cara ini paling enak. Karena C-6 tidak dicocokkan dengan KTP.

Petugas KPPS mengatakan, seorang diantara anak muda itu keceplosan bahwa “Saya dikasih seratus ribu, Bang, untuk nyoblos Prabowo.”

Yang ketiga, petugas KPPS menceritakan tentang kerja keras aparat kelurahan untuk Prabowo. Mereka mendatangi warga, mengarahkan mereka sambil kasih hadiah atau intimidasi. Warga difasilitasi untuk mencoblos Prabowo.

Sebagai penutup, ada lagi cerita seorang pemuda. Dia mengatakan, lurah setempat meminta dia mencoblos paslon 02 dua kali dengan janji duit. Si Pemuda menolak dengan santun. Dia selama ini tidak pernah menunjukkan pilihannya paslon 01.

Si lurah menyangka dia anak muda yang suka Gibran. Begitulah kelakuan si lurah. Tampaknya hampir semua lurah dan kepala desa dibebankan untuk memenangkan si anak.

Terakhir, ada satu cerita lagi. Juga tentang C-6, menyambung kisah di atas tadi. Seorang relawan mengatakan bahwa dia dan teman-temannya berhasil menangkap seorang petinggi pemkot yang menggunakan C-6 dan kemudian datang ke TPS lain dengan menunjukkan KTP. Kebetulan ada yang melihat wajah si petinggi pemkot itu. Maklum karena dia pejabat, banyak yang kenal.

Pagi tadi, si relawan bilang, si petinggi tak bisa tidur. Dia tahu konsekuensinnya. Laporannya sudah sampai ke Timnas.

Cerita-cerita di atas menunjukkan dukungan kekuasaan yang TSM pada Prabowo. Orang tahulah bahwa semua ini demi Putra Mahkota.

Harus diakui bahwa logistik mereka tidak tanggung-tanggung. Bansos dan cuan tersedia banyak plus berbagai perangkat lain. (*)