Debat dan Kontrol Emosi Capres

Anies lalu menutup: “Kekuasaan atau jabatan itu bukan sekedar bisnis. Bukan pula sekedar uang”. Sebuah pernyataan yang menjadikan Prabowo semakin emosional. Sampai-sampai mata bergerak tanpa juntrungan. Dan lidah diulurkan bagaikan kelakuan anak kecil.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Diaspora Indonesia dan Imam di Kota New York

DALAM surah As-Sajadah disebutkan: “dan kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang mengikuti petunjuk kami, dalam keadaan sabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami”.

Ayat ini menjadi salah satu rujukan utama ketika umat Islam membicarakan isu kepemimpinan. Bahwa salah satu karakter pemimpin yang ditekankan di ayat tersebut adalah “lammaa shobaruu”. Bahwa pemimpin itu memiliki kesabaran yang tinggi dan konstan. Sabar menghadapi tantangan. Juga sabar menangkal godaan.

Sabar itu adalah fenomena kejiwaan. Ketika mental seseorang tetap stabil, tidak goyah, tidak emosional pada saat menghadapi situasi yang dianggap kurang berpihak dan bersahabat itulah sabar. Fenomena kejiwaan itu akan terekspresi di dalam bahasa kehidupan manusia, dalam kata-kata dan karakter.

Debat perdana capres lalu telah menjadi platform yang baik bagi masyarakat untuk menilai dan mengukur tingkat kesabaran calon pemimpinnya. Mengukur tingkat kemampuan setiap calon untuk mengendalikan emosinya pada saat-saat menghadapi pertanyaan atau pernyataan yang mungkin dianggap kurang bersahabat.

Pada sisi ini oleh banyak kalangan, bahkan yang tidak mendukung sekalipun, mengakui bahwa Anies Baswedan telah tampil dengan kematangan jiwa dan pengendalian emosi yang sangat matang. Bahkan ketika harus merespon dengan fakta dan kenyataan yang pahit terhadap capres lain, Anies melakukan itu dengan sabar, santun dan senyuman.

Hal yang sangat kontras yang kita lihat dari capres Prabowo Subianto. Justeru emotional instability (ketidak-stabilan emosi) itu sangat tampak. Jangankan ketika dikritik atau dihadapkan kepada pertanyaan atau pernyataan yang agak kritis. Bahkan, di saat berbicara tentang dirinya sendiri intonasi suara itu tiba-tiba berubah karena emosi sedang tersentuh.

Misalnya ketika mengatakan: “Saya tidak punya apa-apa. Saya siap mati untuk negara ini”. Dia menyampaikan itu dengan emosi yang tinggi.

Emosi Prabowo semakin tampak tidak terkontrol ketika giliran Anies diminta menanggapi dirinya tentang situasi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Anies seperti yang dirasakan oleh masyarakat luas, bahkan menurut data indeks demokrasi memang sedang tidak baik-baik saja.

Tentu kritikan demokrasi ini bersentuhan langsung dengan kepemimpinan Joko Widodo. Salah satu yang disoroti Anies adalah UU IT yang kerapkali dipakai untuk meredam dan menerkam mereka yang dianggap kritis.

Prabowo yang selama ini ingin tampil sebagai “pembela Jokowi” tampaknya tidak tahan emosinya mendengar kritikan Anies terhadap situasi kehidupan berdemokrasi di tanah air. Karenanya ketika diminta memberikan tanggapan balik atas pernyataan Anies, Prabowo mulai dengan mengatakan: “Anies ini berlebihan”. Dia seolah ingin mengatakan jika kritikan kepada pemerintahan Jokowi itu tidak pantas dan harus dikoreksi.

Prabowo kemudian melanjutkan dengan memamerkan apa yang dianggap sebagai kebaikannya di masa lalu pada Anies. Bahwa Anies itu bisa menjadi calon Gubernur karena dia yang mencalonkan. Seolah ingin mengatakan: “sayalah orang yang berjasa. Dan anda harus tunduk dan patuh kepada saya”.

Bahkan lebih jauh pembelaan Prabowo kepada Jokowi lebih tajam: “Mas Anies, Mas Anies… Kalau Jokowi itu tidak demokratis, anda tidak akan terpilih jadi Gubernur”. Mendengar ini para pendukung Prabowo bersorak dan bertepuk tangan seolah berhasil membungkam Anies Baswedan.

Anies yang dengan penuh kesabaran itu tetap mendengar dengan senyuman apa yang disampaikan Prabowo. Tapi tiba-tiba dia menjawab dengan jawaban yang mungkin “beyond their expectation” (di luar sangkaan mereka). Anies memulai dengan poin-poin yang relevan dengan isu yang dibicarakan (demokrasi). Bahwa dalam tatanan demokrasi, oposisi itu menjadi sangat penting dan terhormat.

Namun Anies ingin menyampaikan bahwa dia memilki pendirian dan tidak bisa diintimidasi dengan apapun dan oleh siapapun. Kerenanya, Anies melanjutkan: “Hanya saja tidak semua orang tahan dan berani menjadi oposisi”. Pada tataran ini semua sudah paham siapa yang dimaksud oleh Anies.

Namun untuk mengimbangi kevulgaran Prabowo Subianto yang menyebut jasa dan nama Anies, dia melanjutkan: “Dan Pak Prabowo tidak tahan jadi oposisi”.

Bahkan tajam saat merespon, Anies dengan gagah berani menyebutkan atau tepatnya mengulangi pengakuan Prabowo alasan tak tahan jadi oposisi. Ternyata karena ketika berada di luar kekuasaan dia tidak bisa berbisnis.

Anies lalu menutup: “Kekuasaan atau jabatan itu bukan sekedar bisnis. Bukan pula sekedar uang”. Sebuah pernyataan yang menjadikan Prabowo semakin emosional. Sampai-sampai mata bergerak tanpa juntrungan. Dan lidah diulurkan bagaikan kelakuan anak kecil.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah betapa pentingnya kesabaran dan kemampuan “emotional control” (kontrol emosi) dari seorang pemimpin. Jika calon tersebut tidak sabar dan kurang mampu mengontrol emosi, maka bisa dibayangkan ketika telah memangku kekuasaan kelak. Ketika dipuji dia akan terbang ke langit. Namun, ketika dikritik dia akan merana dan memperlihatkan perilaku aneh.

Tapi yang paling berbahaya dan rakyat perlu sadari adalah bahwa pemimpin yang tidak mampu mengontrol emosi akan cenderung menjadi penguasa yang otoriter ke depan.

Debat pertama ini telah berhasil menampakkan hal yang sesungguhnya dari setiap calon. Walaupun pendukung Prabowo mencoba mencari pembenaran bahwa sikap marah dan emosi Prabowo itu menandakan “keaslian” atau “apa adanya” tentang Prabowo. Tapi, kita katakan bukankah santun, ramah, dan tersenyum “apa adanya” itu lebih baik daripada marah-marah dan emosional “apa adanya”?

Situasi ini membuat banyak nitizen yang menyimpulkan kalau pada acara debat kali ini para calon tidak memakai podium. Karena menurut mereka khawatir kalau podium itu jadi pelampiasan emosi seperti di masa-masa lalu… hehe! (*)