Dilema Pilpres dan Chaos
Apakah bisa diselesaikan dengan kompromi politik? Rakyat pasti tidak akan bisa menerima sebuah kompromi politik di mana Jokowi dan Prabowo, dua pelaku kecurangan, tetap berkuasa. Kompromi semacam itu akan dianggap mengkhianati republik dan demokrasi.
Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif KAMI
MASALAHNYA kecurangan itu telah, masih, dan akan terjadi. Ketika Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menang satu putaran atau masuk ke putaran kedua, di tengah kecurangan itu, apakah rakyat bisa menerima?
Kecurangan yang dimaksud bukan kecurangan dalam penghitungan suara saja. Kecurangan yang lebih substansial adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat negara. UUD 1945 dan berbagai undang-undang mewajibkan aparat untuk netral.
Namun Presiden Joko Widodo sebagai pimpinan tertinggi mengatakan bahwa ia akan memihak dan berkampanye untuk capres yang didukungnya. Secara diam-diam ia meminta menteri-menterinya untuk menambah suara, polisi diperintahkan untuk menakut-nakuti dan menggalang suara, ia juga melipatkan anggaran bansos dan membagikannya sendiri.
Semua kecurangan rezim Jokowi itu telah terekam secara digital di podcast Bocor Alus TEMPO dan berbagai media sosial. Apa yang akan terjadi bila pasangan Prabowo - Gibran menang satu putaran atau maju ke putaran kedua? Apakah rakyat bisa menerima?
Inilah dilema yang dihadapi oleh bangsa ini. Bila hasil pilpres itu diterima, maka hal itu sama saja dengan mengesahkan kecurangan. Orang-orang curang menang dan berkuasa. Dan tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk curang lagi di kemudian hari.
Kecurangan pemilu adalah pintu yang membuka kejahatan-kejahatan negara yang lainnya. Maka dipastikan dalam lima tahun ke depan Indonesia akan kental diwarnai oleh kejahatan-kejahatan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Adakah jalan hukum yang adil untuk mengatasi dilema yang dihadapi rakyat? Hal itu terkait kepada tingkat kepercayaan rakyat yang sudah sangat rendah terhadap Mahkamah Konstitusi setelah kasus “Paman Anwar Usman”. Lain dari itu Mahkamah Konstitusi cenderung menganggap tugasnya hanya menyangkut sengketa penghitungan suara.
Ketika kepada mereka disampaikan bukti-bukti kecurangan aparat itu, mereka cuma mengrundel, katanya, “Apakah sudah dilaporkan ke Bawaslu? Apa kata Bawaslu?“ MK dalam hal ini (pura-pura) naif, memangnya apa yang bisa dilakukan Bawaslu untuk mencegah para jenderal itu mencurangi pemilu? Lagipula ada ribuan kasus kecurangan, bagaimana Bawaslu menanganinya dalam jangka waktu 3 bulan?
Dilema pilpres ini tidak memiliki jalan keluar hukum maupun politik. Seharusnya ada seorang kepala negara yang bisa memutuskan pembatalan pemilu atau pemilu ulang. Tetapi kita menganut sistem presidensial di mana jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan berada di tangan seorang presiden.
Dapatkah rakyat percaya kepada Presiden Jokowi sementara dialah konduktor utama dari semua kecurangan pilpres?
Dilema pilpres itu dengan cepat akan menuju jalan buntu politik. Di negara demokrasi kebuntuan semacam ini dipecahkan melalui 4 jalan.
Pertama, seperti yang telah dikatakan di atas, dilema pilpres ini diselesaikan secara moral dengan menyerahkan permasalahan kepada kepala negara. Sebagai simbol pemersatu bangsa, kepala negara akan mencari jalan keluar terbaik, dan bila kepala negara telah memutus semua wajib mematuhinya.
Tapi, dalam situasi sekarang saya tidak percaya bahwa dilema pilpres bisa diselesaikan dengan moral. Ada dua alasan, pertama figur kepala negara sebagai simbol persatuan dan moral sudah tidak ada.
Jokowi selama hampir satu dekade ini selalu menjalankan maunya sendiri, ia tidak pernah mau mendengar aspirasi rakyatnya. Kedua, rezim penguasa saat ini sangat tidak menghargai moral. Percuma bicara moral dengan mereka.
Apakah bisa diselesaikan dengan kompromi politik? Rakyat pasti tidak akan bisa menerima sebuah kompromi politik di mana Jokowi dan Prabowo, dua pelaku kecurangan, tetap berkuasa. Kompromi semacam itu akan dianggap mengkhianati republik dan demokrasi.
Kemungkinan ketiga adalah penyelesaian melalui panggung DPR. Masalahnya DPR selama ini dianggap telah menjadi budak rezim Jokowi. Rakyat akan sulit percaya lembaga tersebut dapat memberikan putusan yang adil.
Bila ketiga cara di atas tidak dimungkinkan, maka jalan terakhir adalah street showdown. Seperti terjadi 1966 dan 1998, chaos menyeruak. Kalau hal itu terjadi, tidak ada yang dapat mengalahkan rakyat. (*)