Dua Putaran atau Pemilu Ulang?

Semakin didzolimi, semakin leluasa paslon AMIN menjemput mandat presiden dan wakil presiden. Insyaa’ Allah, begitulah politik bandul perubahan yang akan terjadi, saat etika dan kehormatan melawan kekuasaan yang mabuk. Aamiin.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI

ARTIKEL ini menjadi persfektif paling manis dan penuh kasih sayang dari penulis, sepanjang tradisi kritis terhadap tabiat bengis rezim selama ini. Dilakukan lebih karena tidak ingin Jokowi dan kroni lambat laun menjadi “Firaun and the gang” milenial.

Allah subhanahu wa ta’ala kemungkinan besar masih memberikan kesempatan sebelum benar-benar menghancurkan rezim Joko Widodo. Kekuasaannya akankah meneruskan kedzoliman atau berusaha memperbaiki konstitusi dan demokrasi yang terlanjur dirusaknya?

Jokowi dan pemerintahan yang sudah mencapai klimaks kejahatannya, hanya tinggal soal waktu untuk mendapatkan hukumannya saja, baik di dunia maupun di akherat.

Pasalnya, selain mengingkari nilai-nilai Ketuhanan dan mengabaikan kemanusiaan, pada akhir masa jabatannya Jokowi masih berbugil-ria cawe-cawe pilpres untuk anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang berdampak menjadikannya sebagai pesta demokrasi paling dipenuhi teror dan horor terdahsyat sepanjang berlangsungnya pemilu era reformasi.

Rakyat hanya menunggu momentum yang tepat soal pemakzulan Jokowi dalam sisa-sisa jabatannya, atau setidaknya mengakhiri kekuasaannya dengan begitu nista dan hina. Namun, sebelum itu semua, Jokowi dan kroninya masih punya peluang untuk selamat, minimal tidak menambah kejahatan beruntunnya dan sedikit-sedikit sembari meraih simpati rakyat yang mungkin bisa meringankan hukumannya. Itupun kalau rakyat mau.

Oleh karena itu, cobalah rezim ini untuk bisa sekali saja menjadi manusia-manusia yang sebenarnya, walau hanya untuk sekali dan sebentar saja. Jangan hancurkan konstitusi dan demokrasi yang akan berdampak massal bagi keterpurukan negara dan bangsa. Jangan jadikan pilpres untuk berkuasa dan hidup selama-lamanya di dunia. Ada pikiran, ucapan dan tindakan yang terbatas usia, waktu dan tentu saja sejarah yang menuliskan catatan sebaik dan seburuk apa kiprahnya.

Jadi ini kesempatan yang tak datang dua kali, akan disaksikan dunia dan peradaban manusia. Sanggupkan rezim minimal KPU kerasukan roh kebaikan untuk melaksanakan pilpres yang jujur dan adil, termasuk tegas pada kecurangan dan kejahatan pemilu.

Rezim tinggal pilih, ingin mendapatkan hidayah atau musibah. Berani menganggap diri, keluarga, dan kelompoknya merasa penguasa, atau mengakui ada dan sesungguhnya Allah Yang Maha Kuasa. Ayo cepat, tepat, dan akurat, KPU pilih dua putaran atau pemilu ulang?

Atau mau yang jauh lebih buruk dan mengerikan dari keduanya. Salam sayang buat rezim, karena masih yakin seburuk-buruknya dan sejahat-jahatnya kelakuan pemerintahan pasti masih ingin kebaikan dalam kehidupannya maupun kematiannya.

Bandul Perubahan

Kecurangan dan kejahatan pemilu yang terstruktur, sistematik dan masif, sesungguhnya hanya akan terus membangun kesadaran rakyat betapa rezim kekuasaan nyata-nyata begitu bobrok dan dzolim. Semakin suara AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) dimanipulasi, semakin besar dan kuat gelombang perubahan datang.

Distorsi kekuasaan apalagi yang tidak dilakukan rezim Jokowi? Kebohongan mana lagi yang tidak dilakukan rezim Jokowi? Penghianatan seperti apa lagi yang tidak dilakukan rezim Jokowi? Kejahatan dan kebiadaban yang bagaimana lagi yang tidak dilakukan rezim Jokowi?

Satu hal yang pasti yang tidak bisa dibeli atau dimiliki rezim Jokowi. Bahkan, dengan intimidasi, ancaman dan teror, geliat perubahan di negeri ini tak bisa dibendung. Sekalipun rezim Jokowi memiliki kewenangan yang tak terbatas dan memiliki infrastruktur politik yang luas dan kuat, ia tetap tidak akan kuasa menutupi kelemahan dan kebobrokan pemerintahannya.

Konstitusi bisa dimanipulasi dan demokrasi bisa dikebiri, ada yang tidak bisa dibungkam rezim tirani yakni kesadaran kritis dan jiwa pembebasan. Rezim Jokowi boleh merasa kuat dan berkuasa atas negeri ini, tapi ada satu fundamental yang berjarak dan menjauhinya, yaitu kebenaran dan keadilan.

Sebagian besar TNI/Polri, partai politik, MK, KPU/Bawaslu, media dan lembaga survei itu, semua dalam kendali rezim baik karena kesadaran ataupun terpaksa. Uang, jabatan, dan mungkin demi keselamatan pribadi dan keluarga banyak yang membunuh hati nurani dan akal sehatnya.

Berdusta, khianat, mencari muka dan menjilat lidah sendiri kerap mewarnai para pemangku kepentingan publik dan yang bersumpah melayani rakyat. Mereka yang tidak sedikit memarjinalkan nilai-nilai, moral dan agamanya sendiri.

Dalam konspirasi jahat dan di bawah naungan kekuasaan mudharat yang bertujuan memuaskan syahwat duniawi. Rezim yang identik sebagai pemerintahan gagal dan merusak sendi-sendi dasar negara. Ingin mengakhiri dua periode sekaligus melanggengkan kekuasaan dengan mulus melalui pilpres 2024.

Bagaimanapun caranya, berapapun biayanya dan apapun caranya mempertahankan kekuasaan menjadi wajib hukumnya bagi rezim Jokowi. Tak peduli membangun politik dinasti, masa bodoh dengan merampok uang negara dan kekayaan alam. Dalam tujuan rezim Jokowi yang penting terus berkuasa dan kaya, jika perlu sampai mati dan hingga tujuh turunan.

Bukan sekedar kecurangan, pilpres 2024 telah menjadi ajang kejahatan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif. Begitu brutal dan barbar rezim Jokowi menipu rakyat dan mrnghalalkan segala cara demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Terlalu mencolok dan begitu telanjang mempertontokan kemiskinan aturan dan etika di hadapan rakyat. Rezim Jokowi justru bangga dan tiada kemaluan memamerkan perilaku kekuasaan yang begitu rendah, hina dan nista.

Kecurangan-kecurangan hingga kejahatan-kejahatan pemilu dibangun dengan kerangka politik yang terlihat kokoh dan kuat, tapi sebenarnya sangat rapuh, kotor sekaligus menjijikan. Terkesan memadukan orkestrasi para bajingan, bromocorah dan psikopat politik. Penjahat dan pembunuh berdarah dingin rezim otoriterian yang membangun kostruksi pemikiran, narasi dan tindakan hipokrit.

Rezim Jokowi seolah-olah tak bisa dikalahkan, pilpres 2024 dijadikannya sekonyong-konyong permainan, persekongkolan dan judi dari skenario kekuasaan secara terbuka dan terselubung. Ada pula pesta dan kesenangan, ada juga tipu daya, konflik dan penderitaan rakyat yang menghiasi pseudo demokrasi dan inkonstitusional dalam pilpres 2024.

Suap, pencurian suara melalui SIREKAP yang direkayasa hingga tindakan represif untuk tujuan kekuasaan dilakukan rezim mulai dari Istana, lembaga pemerintahan dan aparatnya, dari kertas dan saat pencoblosan hingga perhitungan kental dengan rekayasa dan penggelembungan suara. Pemilu tak terhindar dan sesak diselimuti kriminalitas penyelenggara negara.

Pengumuman hasil pilpres 2024 begitu prematur dan cacat hukum. Dirancang Istana, diumumkan lembaga survei melalui quick count dan dikelola KPU dengan Sirekap.

Curk tanpa malu lagi dan cukup minta maaf karena banjir pencurian suara. KPU sungguh tanpa morariltas, ketiadaan kapasitas dan integritas. Rezim Jokowi seperti merasa sudah memenangkan pertarungan pilpres melawan gelombang perubahan rakyat.

Suara rakyat dihina dan dihargai rendah melalui politik uang dan sembako, kedaulatan rakyat dilecehkan, aspirasi dan mandat perubahan rakyat dimutilasi rezim. Ada kekerasan psikologis dan pekosaan hukum yang direkayasa rezim terhadap tuntutan perubahan.

Pemimpin perubahan yang dipercayakan kepada paslon AMIN, tidak akan bergeser sedikitpun apalagi sampai jatuh oleh kekuasaan status quo. Kemenangan hasil hitung cepat paslon yang menjadi boneka rezim hanya “psy war”, sementara dan kamuflatif.

Upaya menjegal suara AMIN sebagai limpahan dukungan rakyat tak selamanya bisa dibendung rezim. Setiap penjegalan AMIN memenangkan pilpres 2024 menjadi ekivalen dengan upaya menutup-nutupi kebobrokan dan kedzoliman rezim selama dua periode dan merupakan langkah terakhir menyiapkan keselamatan rezim Jokowi pasca berkuasa.

Rezim Jokowi pada akhirnya harus menerima kenyataan pahit pada waktunya, kecurangan dan kejahatan pemilu justru sudah menjadi antiklimaks dari strategi melanggengkan kekuasaannya melalui paslon capres-cawapres boneka besutannya.

Kecurangan dan kejahatan pilpres sudah terlanjur menjadi konsumsi publik, sebuah sequel sindikat pemilu yang dilakukan rezim dan semakin mengkokohkan gerakan pemakzulan Jokowi, setidaknya pemilu tanpa Jokowi.

Semakin kentara kecurangan dan kejahatan pemilu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif, semakin menjadi-jadi kekuatan gelombang perubahan yang menjadi keinginan dan tuntutan rakyat.

Semakin didzolimi, semakin leluasa paslon AMIN menjemput mandat presiden dan wakil presiden. Insyaa’ Allah, begitulah politik bandul perubahan yang akan terjadi, saat etika dan kehormatan melawan kekuasaan yang mabuk. Aamiin.

Ketika etika dan kehormatan menjadi panduan dalam menghidupkan konstitusi dan demokrasi, maka tak ada ruang bagi tumbuhkembangnya kepemimpinan yang otoriterian. (*)