Dulu Memuji, Sekarang Membenci Jokowi

Mungkin saja sosok asli Jokowi termasuk kategori orang sederhana. Tapi, untuk memimpin sebuah negara besar seperti Indonesia yang memiliki latar belakang masyarakat yang beragam, tidak cukup dipimpin orang sederhana saja.

Oleh: Tjahja Gunawan, Wartawan Senior

DARI sekian banyak pendukung yang kecewa dengan Joko Widodo adalah Goenawan Mohamad atau biasa dipanggil GM. Budayawan sekaligus pendiri Majalah Tempo itu mengaku kecewa dengan sikap Jokowi yang dinilai ingin memperpanjang masa jabatannya dengan merestui pencalonan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto pada Pemilu 2024.

"Ya sangat berat. Berat sekali. Bukan karena saya memuja Jokowi. Karena mengharapkan sebenarnya, Indonesia punya pemimpin yang bisa diandalkan kata-katanya," ujar GM sebagaimana dilansir Kompas.com (3/11/2023).

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi swasta, GM mewek seperti layaknya anak kecil. Kekecewaan dan penyesalan GM ini dinilai sangat terlambat karena selama sembilan tahun Jokowi menjadi presiden kehidupan demokrasi mengalami kemunduran, demikian juga dalam penegakan hukum. Sementara rakyat miskin dan angka pengangguran semakin bertambah banyak.

Walaupun dalam wawancara itu, GM sempat menangis namun suara tangisan tersebut tidak bisa mengubah apapun. Sebagai seorang tokoh pers dan budayawan, seharusnya GM tidak sampai bersikap memuja berlebihan terhadap seseorang apalagi terhadap pejabat dan pemimpin.

Sosok seperti GM seharusnya bisa mengambil jarak dengan kekuasaan, bukan malah menurunkan levelnya menjadi relawan Jokowi. Saat masih memuja-muji Jokowi, konten yang kerap diposting GM di medsos mirip dengan buzzer bayaran. Menyedihkan!

GM dan sejumlah tokoh lain yang selama ini memuja-muji Jokowi, seharusnya ikut bertanggung jawab atas kemunduran bangsa ini. Ketika pertama kali Jokowi maju sebagai capres pada tahun 2014, banyak masyarakat yang terbius dengan pesona palsu orang Solo ini. Mereka banyak menaruh harapan pada Jokowi untuk menjadikan Indonesia lebih baik dan bebas KKN dengan mengusung konsep Revolusi Mental.

Gagal Dilaksanakan

Akhirnya Revolusi Mental dan janji-janji kampanye Jokowi pada Pilpres 2014 maupun 2019, tidak berjalan optimal alias gagal dilaksanakan. Revolusi Mental cuma jargon di atas kertas yang dalam pelaksanannya nihil. Alih-alih mental bangsa Indonesia menjadi lebih baik, praktik korupsi justru berlangsung semakin marak.

Praktik korupsi berlangsung di hampir semua institusi kenegaraan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Misalnya, kasus korupsi proyek BTS Kementerian Kominfo melibatkan menteri, oknum pejabat BPK dan pengusaha swasta yang menjadi rekanan proyek tersebut.

Saat maju di panggung politik nasional, Jokowi sengaja dicitrakan sebagai sosok orang biasa yang lugu dan sederhana. Dia bukan berasal dari kalangan ningrat dan juga bukan orang partai, apalagi pimpinan parpol.

Dengan latar belakang itulah, Kemudian Tim Pencitraan Jokowi membuat beragam produk dan konten media yang membuat seolah-olah Jokowi sebagai orang "bawah" dari kalangan sipil yang memiliki potensi untuk memimpin bangsa ini.

Pada akhirnya sebagian publik pun makin kesengsem dengan sosok Jokowi. Sehingga tidak heran ketika itu gorong-gorong pun dijadikan sebagai salah satu objek pencitraan Jokowi. Tidak hanya itu, Jokowi juga dijadikan sebagai sosok "Sang Penemu" Mobil Esemka.

Namun celakanya, produk kendaraan tersebut ternyata tidak bisa diwujudkan sesuai janjinya. Dan, akhirnya, mobil Esemka berubah jadi "mobil ghoib". Padahal, mobil Esemka yang dijanjikan Jokowi ini menjadi pemberitaan massif di berbagai media mainstream.

Fabrikasi pencitraan terhadap sosok Jokowi sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membius rakyat Indonesia. Padahal, sosok pemimpin ideal yang dilekatkan pada Jokowi oleh tim yang ada di belakang layar, tidak lebih dari upaya untuk menutupi berbagai kelemahan Jokowi sendiri.

Sejak 2014 sampai sekarang, saya tetap menilai Jokowi tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin negara ini. Dia tidak memiliki kapasitas untuk menjadi seorang leader yang mumpuni.

Bagi saya, sosok seperti Jokowi menjadi Walikota Solo atau Gubernur Jawa Tengah sudah lebih dari cukup. Namun, karena ada kekuatan besar oligarki, akhirnya Jokowi dipaksakan ke Jakarta menjadi Gubernur DKI kemudian menjadi Presiden RI selama dua periode. Akhirnya, masyarakat sekarang merasakan sendiri produk-kebijakan yang dibuat Jokowi lebih banyak berpihak dan membela kepentingan oligarki ketimbang kepentingan rakyat Indonesia.

Proyek infrastruktur yang selama ini sering didengungkan buzzer bayaran dan diberitakan media mainstream, ternyata banyak dibiayai utang luar negeri. Apalagi proyek ambisius kereta api cepat Jakarta-Bandung, hampir sebagian besar dibiayai utang dari China.

Sementara proyek mercusuar pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Penajang Paser Utara, Kalimantan Timur, dibebankan pada APBN. Memang kita butuh pembangunan infrastruktur tapi seharusnya ada skala prioritasnya. Yang terjadi selama ini, proyek strategis nasional dijalankan hanya karena untuk kepentingan pencitraan Jokowi sendiri.

Tidak heran kalau kemudian Jokowi semakin dijauhi oleh para pengikut dan pemujanya. Puncaknya, ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membuat putusan untuk meloloskan Gibran Rakabumi Raka sebagai Cawapres, para pendukung Jokowi termasuk Ketua Umum dan para kader PDIP meluapkan kekecewanya kepada Jokowi.

Mungkin saja sosok asli Jokowi termasuk kategori orang sederhana. Tapi, untuk memimpin sebuah negara besar seperti Indonesia yang memiliki latar belakang masyarakat yang beragam, tidak cukup dipimpin orang sederhana saja.

Tapi butuh pemimpin yang cerdas dan memiliki leadership serta pengalaman dalam berorganisasi secara mumpuni. Rekam jejak juga menjadi salah satu persyaratan penting untuk bisa memimpin Negara Republik Indonesia. (*)