Gerakan Tidak Memasang Foto Gibran, Upaya Mengawal Pemerintahan Baru Tanpa Anasir Jokowi

Kehadiran Anies tidak hanya memberikan harapan, tetapi juga pengingat bahwa perjuangan untuk perubahan masih jauh dari selesai. Gerakan yang menolak memasang foto Gibran adalah awal dari perjalanan panjang untuk membangun kembali demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DENGAN berakhirnya kekuasaan Joko Widodo, eskalasi perlawanan rakyat terhadap Jokowi dan anasir-anasirnya ternyata semakin meningkat, meskipun begitu juga muncul harapan besar untuk perubahan yang nyata di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.

Keraguan masyarakat terhadap Prabowo harus dijawab dengan langkah konkrit bahwa dia tidak berada di bawah bayang-bayang Jokowi. Salah satu langkah simbolis yang mencerminkan harapan ini adalah gerakan untuk tidak memasang foto Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden di kantor-kantor pemerintahan.

Ini merupakan pesan tegas bahwa bangsa ini menolak politik dinasti dan intrik keluarga yang telah menjadi ciri khas era Jokowi. Prabowo memang diharapkan membawa angin segar bagi rakyat yang merindukan kepemimpinan yang bersih, tanpa terjebak dalam bayang-bayang keluarga Jokowi.

Kebohongan-kebohongan yang diwariskan Jokowi selama masa jabatannya masih membekas di benak rakyat. Janji untuk meningkatkan kesejahteraan melalui proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan tol, ternyata lebih banyak hanya bisa menguntungkan para oligarki ketimbang rakyat kecil.

Rakyat tetap terbebani dengan biaya tinggi, sementara janji untuk menekan utang negara malah berubah menjadi utang yang terus membengkak. Jokowi juga berjanji memperkuat pemberantasan korupsi, namun di bawah kepemimpinannya, KPK malah dilemahkan, dan berbagai skandal korupsi besar tidak pernah terungkap sepenuhnya.

Politik dinasti adalah pengkhianatan terbesar dari janji-janji Jokowi. Dari awal, dia bersumpah tidak akan membawa keluarganya ke ranah politik. Namun, faktanya, Gibran kini menjabat sebagai wakil presiden.

Gerakan tidak memasang foto Gibran di kantor-kantor pemerintahan adalah bentuk perlawanan terhadap pengingkaran janji ini, serta sebuah tanda bahwa rakyat menolak politik dinasti yang melekat pada nama Jokowi.

Di tengah kondisi ini, peran Anies Baswedan dalam penegakan demokrasi di era Prabowo menjadi semakin penting. Sebagai figur yang sejak awal mengedepankan perubahan dan integritas, Anies mampu menjadi penyeimbang yang krusial.

Anies telah lama dikenal sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan demokrasi dan pemerintahan yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan serta transparansi. Dalam era baru ini, kehadiran Anies di pentas politik akan memperkuat upaya menjaga demokrasi tetap hidup, memastikan kebijakan yang dibuat tidak kembali pada praktik lama yang korup dan nepotis.

Tapi, di balik itu, ancaman terbesar datang dari para penjilat Jokowi yang kini berusaha mendekati Prabowo. Mereka, yang dulu setia mengabdi kepada Jokowi, kini mencari perlindungan di bawah pemerintahan baru.

Para oportunis ini berharap bisa tetap bertahan dan berlindung di bawah kekuasaan Prabowo, meruak citra kepemimpinannya dan berpotensi mengaburkan misi perubahan yang diusung. Jika Prabowo tidak hati-hati dalam memilih orang-orang di sekelilingnya, pemerintahannya bisa berakhir seperti sebelumnya – dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mencari keuntungan pribadi.

Di sinilah pentingnya peran tokoh seperti Anies, yang dapat menjadi suara kritis dalam menegakkan demokrasi dan mencegah pemerintahan baru dari terseret ke dalam pola lama. Anies dan gerakan perubahannya akan menjadi patner konstruktif dalam membangun demokrasi.

Kehadiran Anies tidak hanya memberikan harapan, tetapi juga pengingat bahwa perjuangan untuk perubahan masih jauh dari selesai. Gerakan yang menolak memasang foto Gibran adalah awal dari perjalanan panjang untuk membangun kembali demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.

Selamat datang perubahan untuk mengawal pemerintahan baru dari bahaya anasir-anasir Jokowi yang merusak demokrasi. (*)