Hak Prerogatif Presiden dan Kemubaziran Grand Coalition

Grand coalition hanya menjadi sebuah kemubaziran ketika presiden, dengan kekuasaan yang telah dimiliki, sebenarnya sudah mampu untuk menjaga stabilitas politik dan menjalankan pemerintahan dengan efektif.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)

KOALISI besar atau grand coalition yang dibangun oleh Prabowo Subianto memiliki pengaruh yang bersifat struktural ke dalam sistem politik Indonesia.

Faktor struktural dalam politik Indonesia itu merujuk pada elemen-elemen yang secara mendasar membentuk dan mempengaruhi dinamika politik di negara ini, termasuk institusi, aturan, dan pola relasi kekuasaan yang telah tertanam dalam sistem politik (Hadiz, 2020).

Faktor struktural ini bisa berupa konstitusi, sistem hukum, distribusi kekuasaan antar lembaga, hingga aliansi politik yang tercipta berdasarkan kebutuhan untuk menjaga stabilitas kekuasaan.

Grand coalition merupakan salah satu faktor struktural tersebut, di mana koalisi besar antara partai-partai politik diciptakan bukan hanya sebagai aliansi pragmatis untuk memenangkan pemilu, tetapi juga sebagai upaya mempertahankan stabilitas pemerintahan dengan melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan.

Dalam praktiknya, grand coalition telah menjadi bagian dari struktur politik Indonesia, membentuk bagaimana presiden dan partai-partai bernegosiasi, mempertahankan pengaruh, dan memastikan dukungan politik di parlemen, meski sering kali harus melalui kompromi-kompromi yang mengurangi efektivitas pemerintahan.

Grand coalition memiliki kelebihan utama dalam menciptakan dukungan politik yang luas dan mengurangi resistansi terhadap kebijakan pemerintah (Slater 2018).

Dengan melibatkan banyak partai dalam pemerintahan, koalisi besar dapat meminimalkan potensi konflik politik di parlemen dan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan penting dapat berjalan tanpa hambatan berarti. Tapi, di sisi lain, grand coalition juga membawa kekurangan signifikan, terutama dalam hal efektivitas pengambilan keputusan.

Dengan banyaknya pihak yang terlibat, seringkali keputusan itu harus melewati proses negosiasi panjang dan kompromi yang berlebihan, yang pada akhirnya dapat mengurangi kecepatan serta kualitas kebijakan yang dihasilkan.

Lebih dari itu bahwa koalisi besar ini rentan terhadap politik sandera, di mana kasus hukum dan kepentingan pribadi digunakan sebagai alat pertukaran politik, mencederai penegakan hukum dan menciptakan ketidakpastian (Mietzner 2021). Selain itu, grand coalition berpotensi melemahkan mekanisme check and balance dalam pemerintahan.

Ketika hampir seluruh partai politik masuk ke dalam koalisi, fungsi oposisi yang seharusnya menjadi pengawas terhadap jalannya pemerintahan menjadi sangat lemah atau bahkan juga tidak ada sama sekali.

Ketidakadaan oposisi yang kuat menyebabkan pemerintah kurang mendapatkan pengawasan dan kritik yang sehat, yang berakibat pada turunnya kualitas akuntabilitas. Hal ini dapat membuka jalan bagi munculnya pemimpin yang otoriter, karena minimnya resistansi yang signifikan dari parlemen atau lembaga pengawasan lainnya.

Akibatnya, kekuasaan presiden cenderung tidak terkontrol yang bisa menimbulkan risiko terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengevaluasi secara konstitusional apakah grand coalition memang diperlukan atau justru merupakan kemubaziran, terutama dengan mempertimbangkan bahwa hak prerogatif presiden sudah cukup kuat untuk memimpin tanpa perlu bergantung pada aliansi besar tersebut (Liddle, 2019; Hadiz, 2020).

Hak Prerogatif Presiden

Presiden Indonesia memiliki hak prerogatif yang sangat kuat yang memberikannya kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dengan efektif dan mandiri.

Hak prerogatif presiden ini tidak muncul begitu saja, melainkan berasal dari konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan besar pada presiden untuk mengelola negara. Tujuan dari hak ini adalah memastikan presiden memiliki keleluasaan untuk memimpin, khususnya dalam menjaga keberlanjutan pemerintahan dan menavigasi tantangan-tantangan besar yang akan dihadapi negara.

Hak-hak prerogatif ini memberikan landasan yang kokoh bagi presiden untuk mengambil keputusan-keputusan strategis tanpa perlu terhambat oleh dinamika politik yang sering kali kompleks.

Hak prerogatif presiden mencakup kewenangan penting, seperti mengangkat dan memberhentikan menteri, mengeluarkan peraturan pemerintah, serta menetapkan kebijakan nasional. Kewenangan-kewenangan ini memberikan presiden kendali penuh dalam menyusun kabinet dan memastikan agar roda pemerintahan berputar sesuai dengan visinya (Liddle 2019).

Lebih dari itu, presiden memiliki hak prerogatif untuk mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, yang menunjukkan betapa kuat posisi yang dimiliki presiden dalam mengelola negara.

Selain itu, dalam sistem presidensial Indonesia, presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan legitimasi ini merupakan sumber otoritas yang sangat kuat. Presiden tidak hanya berperan sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai kepala negara, yang membawa mandat besar dari rakyat untuk memimpin dan menentukan arah kebijakan.

Dengan mekanisme ini, presiden hanya bisa diganti melalui pemilu atau karena sudah menjabat dua periode. Presiden tidak bisa dijatuhkan oleh lembaga apapun (MPR misalnya). Karena pemilihan langsung dan hak prerogatif yang melekat pada posisinya, presiden juga memiliki kekuasaan yang sangat kuat untuk menjalankan pemerintahan secara efektif.

Kekuasaan ini tidak hanya memungkinkan presiden untuk bertindak dengan cepat dan tegas dalam menghadapi krisis, tetapi juga untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas politik, bahkan ketika menghadapi tekanan dari pihak oposisi.

Presiden tidak perlu khawatir apa-apa, berdasarkan UUD 1945 Hasil Amandemen kekuasaannya hanya bisa dicabut melalui pemilihan langsung.

Lain daripada itu, kestabilan politik tidak hanya bergantung pada dukungan politik yang luas dari berbagai partai, tetapi lebih pada kemampuan presiden untuk memanfaatkan hak-hak prerogatif yang ada.

Dengan kewenangan yang diberikan, presiden dapat menetapkan kebijakan yang tepat waktu dan merespons tantangan nasional dengan langkah yang strategis. Sehingga, meskipun ada oposisi yang kritis, presiden tetap memiliki instrumen yang cukup untuk menjaga kestabilan politik, selama hak-hak tersebut digunakan dengan bijaksana dan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Kemubaziran Grand Coalition

Banyak yang berpendapat bahwa grand coalition – koalisi besar yang melibatkan banyak partai – dapat membantu menciptakan stabilitas politik dan memperkuat dukungan terhadap presiden. Tapi, pelajaran dari sejarah Indonesia menunjukkan bahwa argumen ini tidak sepenuhnya akurat.

Periode demokrasi parlementer 1950-1959 sering kali dijadikan contoh untuk menggambarkan ketidakstabilan politik, terutama karena terjadi pergantian 11 perdana menteri dalam kurun waktu tersebut. Namun, jika kita melihat lebih dalam, pergantian ini merupakan bagian dari mekanisme politik yang sehat dan sah.

Pergantian kepemimpinan kabinet saat itu terjadi melalui proses parlementer yang sesuai dengan aturan main demokrasi. Pergantian perdana menteri adalah refleksi dari perubahan dinamika politik yang berlangsung secara damai, bukan indikasi ketidakstabilan politik yang sebenarnya (Feith 1962).

Stabilitas politik tidak harus berarti tidak adanya pergantian kepemimpinan, tetapi lebih pada kemampuan untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan secara demokratis dan menjaga legitimasi di mata rakyat.

Pada periode tersebut, meskipun sering terjadi pergantian kabinet, kehidupan sosial dan politik tetap berjalan dengan baik, dan demokrasi terus berfungsi. Ini menunjukkan bahwa politik yang dinamis tidak berarti tidak stabil, melainkan sebuah proses adaptasi dan respon pada perubahan tuntutan politik di masyarakat.

Dalam konteks sekarang, grand coalition yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas seringkali berakhir dengan kompromi yang berlebihan, yang justru mengurangi efektivitas pemerintahan.

Grand coalition menempatkan presiden dalam posisi di mana ia harus terus-menerus bernegosiasi dengan banyak pihak, yang dapat memperlambat proses pengambilan keputusan. Padahal, dengan hak prerogatif yang dimiliki, presiden sebenarnya sudah memiliki kekuasaan yang cukup untuk memastikan kestabilan politik, bahkan tanpa dukungan penuh dari berbagai partai dalam koalisi besar.

Dampak dari grand coalition dapat dilihat pada era pemerintahan Jokowi, di mana koalisi besar berubah menjadi politik sandera. Dalam situasi ini, kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota koalisi sering kali dijadikan alat pertukaran politik.

Alih-alih menegakkan hukum secara konsisten, beberapa kasus hukum dijadikan alat tawar untuk mempertahankan loyalitas partai-partai dalam koalisi. Praktik seperti ini menciderai penegakan hukum dan menciptakan ketidakpastian hukum yang sangat merugikan. Ketika hukum digunakan sebagai alat transaksi politik, rasa keadilan publik terganggu, dan kepercayaan terhadap institusi hukum menurun (Mietzner 2021).

Lebih dari itu, rasionalitas politik juga mengalami kerusakan serius akibat praktik ini. Akal sehat menjadi korban dari pertukaran kepentingan yang tidak mengindahkan nilai-nilai dasar demokrasi. Bukannya memprioritaskan kepentingan rakyat dan pengambilan keputusan yang rasional, politik justru diwarnai oleh kepentingan kelompok dan kalkulasi jangka pendek.

Dalam keadaan seperti ini, rasionalitas dan integritas politik sulit dipertahankan, dan yang muncul adalah politik yang penuh dengan kompromi dan tawar-menawar yang mengabaikan kepentingan nasional.

Jika grand coalition terus dipaksakan, dikhawatirkan akan terjadi stagnasi dalam pengambilan keputusan penting yang justru dapat menghambat kemajuan negara. Di tengah kebutuhan akan kecepatan dan ketegasan dalam kebijakan – terutama dalam menjaga stabilitas kawasan yang dinamis dan penuh tantangan – kompromi berlebihan dapat menyebabkan hilangnya momentum bagi kebijakan yang diperlukan.

Lebih jauh lagi, dengan melibatkan begitu banyak pihak dalam pengambilan keputusan itu, stabilitas kawasan yang diharapkan bisa tercapai justru dapat terganggu oleh tarik-menarik kepentingan yang rumit.

Dengan hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden, keputusan-keputusan penting dapat diambil lebih cepat dan tepat, yang pada akhirnya memungkinkan Indonesia untuk tetap stabil di tengah dinamika politik kawasan yang semakin kompleks.

Grand coalition hanya menjadi sebuah kemubaziran ketika presiden, dengan kekuasaan yang telah dimiliki, sebenarnya sudah mampu untuk menjaga stabilitas politik dan menjalankan pemerintahan dengan efektif.

Oleh karena itu, yang paling penting adalah bagaimana presiden menggunakan hak-hak prerogatif tersebut dengan bijaksana, untuk menjaga keseimbangan antara efektivitas pemerintahan dan kestabilan politik. (*)