"In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa ke Depan
Dalam kondisi "power to power conflict" atau keterbelahan rakyat saat ini, SBY meyakini, di dalam pidatonya kemarin, bahwa Prabowo adalah pemimpin besar selevel Tuhan yang mampu membawa perbaikan. Perbaikan itu termasuk membuat pemilu yang bersih ke depan.
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
SUSILO Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa kehadiran Gibran Rakabuming Raka, menyebutkan "In Bapak Prabowo, We Trust". Semboyan ini telah menyejajarkan Tuhan dengan Prabowo Subianto. Oleh karena semboyan aslinya adalah "In God We Trust", sebuah semboyan yang dimiliki Amerika sejak seabad lalu.
Wikipedia (https://en.m.wikipedia.org/wiki/In_God_We_Trust) menuliskan bahwa 90% masyarakat Amerika Serikat, merujuk jejak pendapat Gallup, CNN dan USA Today, 2003, (telah) menyetujui penggunaan coin atau uang mereka dengan semboyan "In God We Trust" tersebut.
Sebelum tahun 1959, Wiki mencatat bahwa semboyan Amerika adalah "E pluribus unum" (Out of many, one) dengan lambang Burung Elang, yang mungkin mirip-mirip Bhinneka Tunggal Ika dan Burung Garuda di Indonesia.
Hal di atas menunjukkan pengakuan rakyat Amerika bahwa mereka telah dipersatukan Tuhan, sebagai sumber moral, bukan burung apalagi manusia. Pesan Trust atau kepercayaan rakyat di sana, sebagai sebuah bangsa bertumpu pada moralitas, dalam hal ini merujuk agama mereka.
Kepercayaan atau "trust" sebagai rujukan dan perekat sebuah society atau bangsa memang dapat disematkan kepada sosok atau individual. Dalam sejarah kenabian, maupun suku-suku pedalaman, telah diperlihatkan bahwa nilai-nilai yang dianut maupun dirujuk oleh masyarakat bersumber pada pemimpin mereka.
Di sisi lain, rujukan itu dapat juga berupa ajaran, baik agama, ideologi maupun tradisi yang turun temurun. Ajaran-ajaran Jawa, misalnya, Tut Wuri Handayani, Sugih Tanpa Bondo, Tepo Seliro, dll, merupakan ajaran turun-temurun alias tradisi, yang tidak merujuk pada sosok.
Dalam ajaran Marxisme, misalnya lagi, tidak dikenal dominasi antara manusia. Mereka mengenal determinisme masyarakat, di mana peran individual hanyalah konsekwensi derivatif dari komunal.
Penempatan sosok Prabowo selevel dengan Tuhan dalam pandangan SBY cukup menarik untuk dikaji. Pertama, klaim SBY bahwa dari perjalannya ke belasan kabupaten, rakyat mencintai Prabowo. Lalu apakah mencintai itu berarti menempatkan Prabowo selevel dengan Tuhan? Kedua, SBY mengingatkan kita agar jangan menyakiti rakyat yang ingin Prabowo memimpin bangsa kita. Apakah dengan demikian Prabowo bisa selevel dengan Tuhan?
Pengkultusan manusia yang dilakukan SBY terhadap Prabowo saat ini akan berpotensi pada 3 hal: pertama, pengkultusan adalah penyakit anti demokrasi. SBY sebagai bapak demokrasi di era lalu, harusnya SBY tidak memberi kesan pengkultusan individual. SBY harus konsisten bahwa manusia hanyalah makhluk Tuhan saja yang bisa dikritik.
Kedua, SBY berpotensi mengecilkan makna protes rakyat yang mengutuk pemilu curang. Protes sosial atas pemilu curang, saat ini, bukanlah kasus biasa. Perasaan rakyat yang terluka saat ini sudah menganga terlalu besar.
Saat ini memang kekecewaan rakyat lebih tertuju pada Joko Widdodo, tapi sebagai kaum demokrat, harusnya SBY membuka ruang dialog bahwa kecurangan itu juga dinikmati oleh Prabowo. Ketiga, SBY ingin menunjukkan bahwa dirinya mem-back up total Prabowo sebagai manusia selevel Tuhan. Hal tersebut menunjukkan adanya kesan "jilat-menjilat" dalam politik bagi-bagi kekuasaan. Sebuah penurunan makna kekuasaan untuk rakyat.
Luka Rakyat dan Perubahan
Kemenangan Prabowo dengan proses pilpres curang saat ini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Tapi, apapun hasilnya, luka rakyat atas kecurangan itu bukan masalah kuantitatif yang bisa dihitung sebagai residu. Kemarahan rakyat telah bergelombang besar, khususnya dari kalangan kampus, sebagai pusat moral bangsa kita.
Dalam kondisi "power to power conflict" atau keterbelahan rakyat saat ini, SBY meyakini, di dalam pidatonya kemarin, bahwa Prabowo adalah pemimpin besar selevel Tuhan yang mampu membawa perbaikan. Perbaikan itu termasuk membuat pemilu yang bersih ke depan.
Namun, SBY tidak menyinggung bahwa ada luka saat ini di hati rakyat. SBY juga tidak menyinggung bagaimana bisa membuat pemilu bersih dari kepemimpinan pemilu curang?
Padahal, dalam teori rekonsiliasi konflik, di mana SBY terlibat dalam penyelesaian konflik Ambon, Aceh, Poso, dan lainnya di masa lalu, penyelesaian sebuah konflik sosial harus dimulai dengan sebuah pengakuan adanya rakyat terluka. Adanya kecurangan dan manipulasi pilpres. Bukan sok menang sendiri. Sok menang sendiri atau merasa paling benar, bahkan hanya akan memendam dendam yang berkepanjangan.
Kita tentu tidak bisa berharap pada Jokowi dan rezimnya dalam mengobati luka rakyat. Namun, jika rezim ke depan juga memelihara luka tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pergolakan rakyat akan terus berlangsung. Inilah kesalahan terbesar SBY yang tidak membuat ruang refleksi dan dialog.
Seandainya kekuasaan berpindah secara "paksa" dari Jokowi kepada Prabowo ke depan, dengan model kepemimpinan angkuh yang sama, maka rakyat harus mencari jalannya sendiri.
Pengorganisasian rakyat dalam tema-tema perubahan harus terus dilanjutkan oleh para kalangan masyarakat sipil (civil society), baik kalangan kampus, buruh maupun keagamaan. Penggalangan dan pengorganisasian rakyat inilah satu-satunya jalan untuk mengimbagi kekuatan dan kekuasaan yang menindas ke depan. Harus ditanamkan dalam diri rakyat bahwa rezim ke depan adalah rezim curang, tanpa moral.
Penutup
SBY telah menyematkan semboyan "In Prabowo We Trust". Merujuk semboyan aslinya, "In God We Trust", SBY berusaha mengkultuskan Prabowo dan bahkan sejajar Tuhan.
Rakyat harus terus berjuang mengorganisir dirinya membangun kekuatan alternatif. Sebab, era ke depan situasinya mungkin sama buruknya dengan era Jokowi di mana kekuasaan adalah Tuhan.
Mari kita terus berjuang. (*)