Independensi Survei Litbang Kompas Dipertanyakan (Bagian 1)
Oleh karena itu, ia menyimpulkan tentu hal ini menjadi bagian dari intimidasi, intervensi, represi, bahkan upaya kolusi dengan cara memaksa. "Ini terjadi saat ini. Dan ini tidak hanya berlaku mungkin di Kompas saja, hampir semua lembaga survei," pungkas Hanifa.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News
AKHIRNYA, Peneliti Senior Litbang Kompas Bestian Nainggolan buka suara. Ia membantah bahwa Litbang Kompas dibayar kubu pasangan calon (paslon) tertentu ketika merilis hasil temuan survei terbaru.
Berdasarkan survei terbaru, paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, unggul jauh dibandingkan dua paslon lainnya, Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD.
Prabowo – Gibran berada di urutan pertama dengan perolehan elektabilitas 39,3 persen, sedangkan Anies – Muhaimin 16,7 persen dan Ganjar – Mahfud dengan 15,3 persen. Bestian juga menegaskan bahwa Litbang Kompas melakukan survei secara independen.
"Iya ini banyak sekali dipertanyakan masyarakat. Dan kami bersyukur, kami merasa senang karena kita tahu bahwa para pemilih, masyarakat, audiens kami, memperhatikan apa yang menjadi bagian dari komitmen kami untuk menunjukkan kepada publik bahwa ini loh hasil dari survei yang kami lakukan secara independen," ujar Bestian dalam program Satu Meja, seperti dikutip siaran KompasTV pada Kamis (14/12/2023).
"Dikatakan secara independen dari segi pembiayaan, Harian Kompas yang membiayai secara total, bukan dari kubu nomor 2, bukan dari kubu nomor 1, bukan dari kubu nomor 3. Dan juga bukan dari kepentingan-kepentingan lain. Itu yang pertama," sambungnya.
Bestian menjelaskan, Litbang Kompas selama ini menggunakan metode yang telah teruji ketika melaksanakan survei di lapangan.
Bahkan, kata dia, Litbang Kompas juga menggunakan teknologi yang membuat segala pembuatan survei di daerah jadi terpantau. Dia menyebutkan, aplikasi tersebut biasa digunakan lembaga-lembaga survei, termasuk Litbang Kompas, untuk menekan human error.
"Dengan demikian, kita tahu nih siapa yang sedang wawancara, di mana, dan kapan waktunya itu. Berapa menit itu untuk pertanyaan sejumlah yang kita tanyakan. Enggak mungkin dia misalnya dalam waktu singkat langsung berubah warnanya. Ada problem di sana," tutur Bestian.
Sayangnya, dalam berita di Kompas.com ini tidak dijelaskan secara terbuka kapan riset tersebut dilakukan. Mengapa Bestian tak membuka waktu survei itu? Apa karena memang perlu ada yang ditutup-tutupi?
Namun, dalam tulisan OPINI Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), berjudul “Survei Litbang Kompas Terkait Elektabilitas Capres 2024 Sangat Bias dan Sulit Dipercaya: Kompas Terkontaminasi atau Terintimidasi?” (Freedom News, 15/12/2023) disebut, Survei dilakukan pada 29 November sampai 4 Desember 2023, melibatkan 1.364 responden di 38 provinsi.
Tetapi, hasil survei Kompas itu cukup mengejutkan. Bukan karena siapa yang menang atau kalah. Bukan karena menang berapa besar. Meskipun semua itu tentu saja juga bisa menjadi pertanyaan besar.
Namun, menurut Anthony, yang menjadi masalah adalah lompatan kenaikan atau penurunan hasil survei dari periode sebelumnya (27/7 – 7/8/2023) yang membuat kening berkerut, memaksa orang berpikir keras dan bertanya-tanya, bagaimana bisa, atau di mana masuk akalnya.
Hasil survei Kompas menunjukkan elektabilitas Anies Baswedan turun (dari 19,2 persen) menjadi 17,4 persen, Prabowo Subianto naik (dari 31,3 persen) menjadi 39,7 persen, dan Ganjar Pranowo anjlok (dari 34,1 persen: tertinggi saat itu) menjadi hanya 18 persen.
Bagaimana bisa dalam empat bulan elektabilitas seseorang bisa turun dan naik begitu besarnya? Elektabilitas Ganjar turun 16,1 persen dari 34,1 persen setara turun 47,2 persen! Apakah mungkin?
Dilihat per wilayah, hasil survei Kompas mengundang tanda tanya lebih besar. Dalam empat bulan, Anies kehilangan suara 13,9 persen, atau 32,7 persen dari Agustus 2023, di Jakarta, dan 28,33 persen di Banten. Apakah mungkin?
Pada Agustus 2023, Anies diperkirakan menang mutlak di Jakarta dengan elektabilitas 42,5 persen. tetapi kini dibuat harus bersaing ketat bersama semua calon. Di Banten, semua calon pada Agustus 2023 masih bersaing ketat, tetapi per Desember 2023 Prabowo melenggang sendirian tanpa lawan, dengan lonjakan suara dari 37 persen menjadi 50 persen.
Masih menurut Anthony, elektabilitas Prabowo di Pulau Jawa melonjak tajam dalam empat bulan. Di Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta elektabilitas Prabowo melonjak lebih dari 50 persen, dan di Jawa Timur melonjak 45 persen. Apakah mungkin?
Apakah lonjakan suara Prabowo di Pulau Jawa mau memberi kesan dan pesan, faktor Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo sangat penting? Seolah-olah, faktor Gibran bisa menyapu bersih suara Ganjar dan Anies secara nasional, baik di Pulau Jawa dan luar Jawa!
Padahal, perlu dicatat, Prabowo belum mempunyai pasangan wakil presiden pada survei Agustus 2023. Deklarasi pasangan Prabowo – Gibran baru dilakukan pada Rabu, 25 Oktober 2023. Ironis, bukan?
Di Bali dan Nusa Tenggara (Barat dan Timur) yang awalnya dikuasai Ganjar dengan elektabilitas 42,7 persen kemudian dikuasai Prabowo dengan elektabilitas 57,8 persen, naik dari 36,6 persen. Luar biasa. Kenaikan elektabilitas sebesar 21,2 persen ini setara dengan kenaikan 57,9 persen dari survei Agustus 2023.
Sekali lagi, publik bertanya, bagaimana mungkin dalam empat bulan hasil survei Kompas bisa akrobatik, mengundang tanda tanya besar, secara kasat mata sangat bias dan sulit dipercaya.
Karena itu, publik mencurigai, hasil survei Kompas ini seolah-olah ada misi untuk melambungkan suara Prabowo, guna memastikan menang mutlak pada putaran pertama pilpres 2024. Sebagai konsekuensi, elektabilitas calon presiden lainnya harus turun drastis. Terutama suara Ganjar yang pada survei Agustus 2023 memperoleh elektabilitas tertinggi, yaitu 34,1 persen.
Penurunan elektabilitas Ganjar yang sulit diterima akal sehat sepertinya ingin memberi kesan dan pesan, Ganjar akan gugur di putaran pertama. Elektabilitasnya dihabisi. Sebelumnya, elektabilitas Anies sudah “dihabisi” sejak awal!?
Oleh karena itu, untuk menepis kecurigaan, dan sekaligus sebagai tanggung jawab Kompas kepada publik, publik menuntut Kompas menjelaskan secara transparan pertanyaan publik terkait dengan pelaksanaan survei pada kedua periode ini, Agustus dan Desember 2023.
Ketua Umum DPP Nasional Corruption Watch (NCW), Hanifa Sutrisna menoyoroti jarak atau gap elektabilitas antara Ganjar – Mahfud dengan Prabowo – Gibran, serta Anies – Muhaimin (AMIN) pada survei Litbang Kompas yang dirilis beberapa waktu lalu.
"Jadi berdasarkan data informasi yang kita terima terkait dengan data Litbang Kompas. Ini hasil Litbang Kompas ini, ini anomalinya luar biasa," jelas Hanifa dalam YouTube Nasional Corruption Watch (NCW) bertajuk 'Pers Dibungkam: KKN Merajalela', seperti dilansir Ahad (17/12/2023).
"Tidak mungkin hasil Litbang Kompas sebelumnya itu gap-nya cuma satu (sampai) dua persen dan yang paling besar itu adalah antara Ganjar ke Prabowo. Prabowo ke Anies, ini gap-nya besar kalau ke paslon nomor 1," lanjutnya.
Ia pun mempertanyakan metode apa sebenarnya yang digunakan oleh Litbang Kompas, terkait hasil survei terbarunya. Apakah metode yang digunakan sudah berubah atau belum.
"Kalau seandainya belum ada perubahan yang signifikan, tidak akan terjadi gap atau penurunan yang luar biasa terhadap pemilih Ganjar dan AMIN," ujarnya.
Hanifa pun membeberkan dirinya sempat mendapat satu pesan penting terkait kebenaran di balik hasil survei Litbang Kompas. Isi pesannya terkait adanya campur tangan penguasa dalam hasil survei tersebut.
"Masuklah satu barang, mengatakan bahwa kepala Litbang Kompas ditelepon oleh jenderal bintang tujuh, supaya mengeluarkan hasil survei seperti ini," ungkap dia.
Oleh karena itu, ia menyimpulkan tentu hal ini menjadi bagian dari intimidasi, intervensi, represi, bahkan upaya kolusi dengan cara memaksa. "Ini terjadi saat ini. Dan ini tidak hanya berlaku mungkin di Kompas saja, hampir semua lembaga survei," pungkas Hanifa.
Perbedaan keduanya sangat tipis, hanya 0,6 persen. Anies yang diusung oleh Koalisi Perubahan berada di peringkat ketiga dengan angka 17,4 persen, sedangkan Ganjar yang diusung PDIP bertengger di urutan kedua dengan 18 persen. (*)