Indonesia Telah Berubah

Inilah peradaban yang membalik fase spiritual progresif dari: Arupa (ilahiah) menuju arupadatu (nalar), menjadi rupadatu (kebendaan) dan berakhir di kamadatu (nafsu). Peradaban dari nafsu keserakahan, zaman uang, kalasuba dan kalabendu.

Oleh: Yudhie Haryono, Presidium Forum Negarawan

TAK perlu lagi catatan prestasi. Tak perlu lagi jumlah ijazah. Tak perlu lagi sertifikat dan piala. Tak perlu lagi moral dan etika. Tak perlu kejeniusan. Hanya perlu kelicikan dan uang. Ya, hanya uang. Inilah syarat jadi pemimpin dan pejabat politik, pejabat publik di Indonesia.

Dari tesis ini, kita berarti sudah mengalami shifting paradigm (pergeseran paradigma). Ini adalah perubahan besar dalam pandangan dunia, konsep dan praktik tentang cara kerja atau pencapaian sesuatu.

Perubahan dari zaman di mana etika, kinerja dan prestasi itu penting menjadi tidak dibutuhkan sama sekali. Semua jadi masa lalu, hanya kenangan. Sudah dimusiumkan.

Kita tahu, pergeseran paradigma bisa terjadi dalam berbagai konteks. Begitu pula di kancah politik. Munculnya ribuan pejabat publik yang ditangkap oleh KPK karena KKN adalah bukti otentik lahirnya komunitas penyembah uang: mereka hidup dari, oleh dan untuk uang.

Dimulai dari nyogok saat daftar, mark up projek, komersialisasi posisi, industrialisasi projek, rente birokrasi, pakai jasa buzzer, meneguhkan negara rentier dan diakhiri KKN secara TSM (berjamaah).

Tentu ini sebuah transformasi besar negara dan perilaku elit politik Indonesia. Ini juga merupakan perubahan mendasar yang menggoncang dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan lama dalam ekonomi, politik dan perilaku masyarakat.

Transformasi besar ini dikuatkan oleh berbagai hal seperti perubahan ekopol (ekonomi politik), banjir virus, kekecewaan pada institusi dan agensi lama, peperangan, bencana alam, paregreg dan juga revolusi teknologi. Yang terakhir tentu paling dominan.

Tentu saja, transformasi besar ini melahirkan arsitektur, agensi dan pola yang benar-benar berbeda dari wujud asalnya. Ya, kita hidup dalam masa transformasi ipoleksosbudhankam dan kegelisahan yang luar biasa.

Setiap hari gambaran tentang konflik, pembelahan, disparitas, kemiskinan, bencana alam, banyak pengangguran, perang, demonstrasi, radikalisme dan terorisme disorotkan ke kehidupan kekinian kita.

Ketika semua menjadi tradisi kenegaraan yang diciptakan selama pergeseran paradigma berakar pada rasa takut dan sakit; benci dan rindu; dendam dan pembalasan, maka situasinya menjurus limbo: tak ada pencapaian positif.

Ya, saat lingkungan berubah, ekopol pun ikut berubah. Salah satu perubahan yang paling umum terjadi adalah gerakan KKN, yang terkadang dapat mencakup atau memunculkan feodalisme dan keluargaisme akut. Orang bekerja untuk dirinya saja: dari national interest ke personal interest. Dari positif ke negatif.

Kita bisa sebut prosesnya adalah "transformasi negatif". Dari usaha pencarian subtansi hidup bernegara (via reformasi) menjadi penemuan kepalsuan hidup bernegara (via reasingisasi). Singkatnya: dari majikan menjadi budak, dari merdeka menjadi terjajah, dari berdaulat menjadi terjerembab.

Proses transformasi negatif ini terjadi sebagai akibat internalisasi ide-ide pembusukan yang diadopsi oleh pemimpin dan warga negara.

Proses transformasi negatif bisa tediri dari tiga tahap: 1)Tahap invensi, yakni proses di mana ide negatif diciptakan dan dikembangkan; 2)Tahap difusi, yakni proses di mana ide negatif dipaksakan kehadirannya dalam bernegara; 3)Tahap konsekuensi, yakni hasil transformasi negatif sebagai akibat pengadopsian ataupun penolakan dalam bernegara.

Timbulnya tranformasi negatif dalam bernegara bukanlah tanpa sebab tetapi dipengaruhi oleh ragam faktor. Misalnya faktor disfungsi kepemimpinan, penghancuran kebudayaan, pelemahan identitas kebangsaan, akulturasi penduduk yang militeristik, neokolonialisasi, reproduksi kejumudan dan kejahiliyahan.

Dalam sejarahnya, transformasi negatif selalu melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan; agama; ideologi dan gerakan sosial.

Modelnya sirkular, simultan, sistemik dan kosmik. Karenanya ia hadir di mana saja dan kapan saja serta oleh siapa saja. Banyak aturan yang saling bertabrakan satu sama lain; tidak punya karakter; hobinya kekerasan, kepalsuan, dan tindak kejahatan yang menjadi santapan sehari-hari.

Kesucian, intelektualisme dan akhlak baik merosot drastis; ego sektoral merajalela; hidup demi gairah dan nafsu birahi semata; kebohongan akan digunakan untuk mencari nafkah; orang terpelajar kelihatan lucu dan aneh; orang kaya yang akan berkuasa; banyak perubahan tidak diinginkan yang akan terjadi.

Inilah peradaban yang membalik fase spiritual progresif dari: Arupa (ilahiah) menuju arupadatu (nalar), menjadi rupadatu (kebendaan) dan berakhir di kamadatu (nafsu). Peradaban dari nafsu keserakahan, zaman uang, kalasuba dan kalabendu.

Akankah ini akan berlangsung satu dua abad? Mari kita saksikan seksama bersama. (*)