Jangan-Jangan KPU Bakal Bernasib Sama Seperti MK

Tetapi KPU malah membuat tafsir baru, bahkan menyalahi tradisi debat pada Pilpres 2019. Karena itu, jangan salahkan jika publik curiga bahwa KPU telah diintervensi, sebagaimana terjadi pada MK, yang kemudian berhasil meloloskan Gibran menjadi Cawapres.

Oleh: Yarifai Mappeaty, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Makassar

UNDANG-Undang Pemilu Nomor 7/2017, jelas-jelas memerintahkan KPU untuk melaksanakan debat Cawapres sebanyak 2 kali. Tetapi, entah, KPU abai. Malah mengubah format debat Capres dan Cawapres untuk Pilpres 2024. Debat khusus Capres dan Cawapres ditiadakan.

Kekecewaan pun menyeruak di ruang publik, karena merasa kehilangan ruang dan kesempatan melongok secara jernih isi kepala masing-masing Cawapres, khususnya pada Gibran Rakabuming Raka. Padahal, format debat pada Pilpres 2019, ada sesi khusus debat antar Cawapres, meski hanya sekali.

Mengapa Gibran? Sebab isi kepalanya sejauh ini belum pernah terlihat. Bahwa ia Walikota Solo, benar. Tetapi itu tak cukup sebagai ukuran. Sebab, memangnya Gibran bisa menjadi walikota, jika dirinya bukan ibnu Joko Widodo? Dengan kata lain, pencapaiannya, lebih karena fasilitas yang diperolehnya, lantaran dirinya adalah anak dari seorang Presiden Republik Indonesia.

Lain halnya dengan Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Kapasitas dan kapabilitasnya sudah tidak diragukan lagi. Kiprah keduanya di republik ini memiliki catatan panjang. Rekam jejaknya tergurat dengan jelas sepanjang usia era reformasi. Ada debat atau tidak, mungkin publik tak terlalu peduli. Tetapi karena perintah Undang-Undang, maka debat itu, mau tak mau, tetap harus dilaksanakan.

Sebaliknya, publik ingin melihat bagaimana Gibran berdebat sebagai Cawapres yang disebut paling intelektual itu. Apa benar intelektualitasnya mengalahkan Muhaimin yang doktor dan Mahfud yang profesor? Jadi penasaran. Sebab pasangan Prabowo Subianto itu, meminjam Rocky Gerung, jangankan punya tanda pernah berpikir, bukti pernah bersekolah saja, masih menjadi kontroversi.

Mengapa ditiadakan? Padahal sebenarnya, debat khusus Cawapres itu adalah momentum bagi Gibran untuk menunjukkan kapasitas intelektualnya sebagai pemegang ijazah, baik S1 dari University of Bradford, maupun S2 dari University of Technology Sydney (UTS).

Sebagai pemegang ijazah sekolah berbasis English speaking, publik tentu ingin menyaksikan Gibran nyerocos dengan Bahasa Inggris. Paling tidak, ia bisa bilang, “Don’t worry Mr. Prabowo, Gibran here.” Mungkin semenjak itu, publik tidak lagi meragukan ijazahnya. Untuk itu, Gibran mestinya mengajukan keberatan karena debat khusus Cawapres ditiadakan.

Namun tak kalah seru adalah percakapan di kalangan komunitas warung kopi, sarat dengan nada sarkastik dan nuansa satire. Misalnya, KPU dinilai terlalu merendahkan kapasitas intelektual dari seorang Gibran. Ada pula berceloteh menyebut KPU terlalu protektif pada Walikota Solo itu, jangan sampai jatuh pingsan, jika melakoni debat sendirian tanpa Prabowo bersamanya.

Tetapi KPU berdalih bahwa yang ingin ditunjukkan dalam debat, adalah kerja sama tim. Capres dan Cawapres tampil bersama, tidak terpisah. Namun dalih tersebut terkesan belepotan karena tidak subtantif. Memangnya kekompakan Capres-Cawapres bisa diukur dengan cara begitu? Nehi!

Justeru yang harus didorong adalah melaksanakan perintah UU Pemilu Nomor 7/2017 pasal 1 sepenuhnya. Menurut penjelasannya, tiga kali debat Capres dan dua kali debat Cawapres. Capres dan Cawapres di sini, dua subjek berbeda yang diantarai kata “dan”. Artinya, debat dilakukan secara terpisah, tidak bersama. Untuk memahami ini, tak perlu menjadi Sarjana Hukum.

Mengapa Undang-Undang memerintahkan begitu? Agar kita memiliki ruang dan kesempatan lebih luas untuk bisa menakar wawasan seorang Capres dan Cawapres. Jika Capres dan Cawapres tampil bersama, maka ruang dan kesempatan itu tereduksi. Substansi debat letaknya di situ. Lagi pula, kita tentu enggan memilih kucing dalam karung, bukan?

Tetapi KPU malah membuat tafsir baru, bahkan menyalahi tradisi debat pada Pilpres 2019. Karena itu, jangan salahkan jika publik curiga bahwa KPU telah diintervensi, sebagaimana terjadi pada MK, yang kemudian berhasil meloloskan Gibran menjadi Cawapres.

Timbul pertanyaan, apakah format debat itu diubah untuk meringankan beban Gibran yang tak punya tradisi debat?

Kian menarik, soalnya, kubu Paslon 02 yang diendorse Jokowi, tampak paling getol mendukung debat khusus Cawapres ditiadakan. Sedangkan Paslon 01 dan 03, keberatan. Hal ini makin menegaskan bahwa yang paling berkepentingan terhadap debat khusus Cawapres ditiadakan, adalah Paslon 02.

Eskalasi penghalalan segala cara untuk memenangkan Paslon tertentu, tampaknya makin meningkat. Hari ini, debat khusus Cawapres ditiadakan. Besok dan seterusnya, entah apa lagi. Jangan-jangan KPU pun bakal bernasib sama dengan MK. (*)